Ciuman Pertama Aruna

IV-11. Makanan Penutup



IV-11. Makanan Penutup

0"Saya," Aruna terbata, "saya, ingin melanjutkan kuliah," suaranya bergetar, antara senang dan buncahan semangat yang mengalir di dadanya.      

"Aku pikirkan dulu ide itu," satu kalimat yang langsung mematahkan semangat membara yang hampir meledak menjadi lompatan kebahagian.     

Dia yang mendengar kalimat tersebut tidak memprotes dengan mengujarkan kata-kata, akan tetapi ekspresi wajahnya tak dapat lagi ditutup-tutupi. Gelisah dan layu seketika. Mendorong seorang perempuan yang menyadari kegelisahannya untuk ikut bersuara.      

"Berilah istrimu kepercayaan," oma Sukma menghaturkan kalimat bujukan yang tak kalah menghanyutkan dibandingkan ekspresi yang meresahkan Aruna.      

Mahendra yang detik ini memangku kaki kanannya di atas kaki kiri terlihat memijat pelipis, "Aku setuju dengan tidak menjadikan istriku terus terkurung di rumah ini, tapi aku tidak bisa buru-buru mengambil keputusan. Ini bukan perkara mudah bagiku, kecuali Aruna siap di buntuti puluhan ajudan ketika dia keluar rumah dan kuyakin dia tidak akan setuju," anak mata lelaki tersebut melirik istrinya.      

Keterheningan merajalela seketika.      

Tidak ada yang bisa membantah kemauan Mahendra. Lelaki yang paling gigih sekaligus sangat bertanggung jawab terhadap keselamatan istrinya. Keputusannya mutlak di mata siapapun secara rasional, menjadikan yang lain hanya bisa terdiam.      

"Aku setuju denganmu," suara berat menjadi lonceng pembuka. Tetua Wiryo mengangkat minumannya lalu menegak zat cair tersebut dengan santai di hadapan tiap pasang mata yang menegang, "Apapun keputusannya, aku mendukungmu. Aku hanya tidak ingin," dia yang bicara melirik Aruna, "Ada yang menduga, bahwa pria yang sudah bau tanah ini otoriter dan kaku. Keselamatan adalah poin utama yang tidak boleh diabaikan oleh siapapun, terlebih perempuan yang berharga," ia meletakkan gelas di atas meja dengan tegas.     

"Sejujurnya aku tidak pernah berniat mengurung siapapun, hanya saja sesuatu yang berharga kadang tidak rela diperlihatkan pada orang lain, sebab sangat berharga mereka harus aman walaupun tidak nyaman," Monolog penutup Wiryo membuat tubuh perempuan hamil membeku, menunduk. Aruna tidak bisa berkata-kata selain menunggu komentar yang lainnya.      

Gayatri yang sangat paham dengan perasaan Aruna, mencoba menyuarakan pendapatnya, "Aruna sangat berbakat-"     

"Aku tahu," Mahendra melibas kalimat mommy-nya.      

"Kau pasti setuju, dia harus menyelesaikan kuliah," dia mencoba peruntungan lagi.      

"Tidak ada yang tidak setuju, terlebih aku," Hendra kembali mematahkan kalimat Gayatri yang sejujurnya ingin menghibur Aruna.      

Sedangkan perempuan yang menjadi pokok pembicaraan hanya mampu menelan salivanya, menghembuskan nafas bahkan tak berani dia lakukan. Aruna tak ingin berbicara atau mengganggu ketegangan yang terjadi detik ini. Bukan karena dirinya tidak ingin protes atau tak berdaya untuk mempertahankan keinginannya.      

Baby di perut dan luka pada punggungnya.     

Dua alasan yang sangat kuat bagi lelaki bermata biru, dimana di dalam isi kepalanya pasti dipenuhi kenangan terburuk tentang istrinya yang berlumuran darah dan hampir kehilangan nafas. Dan Aruna sadar akan hal tersebut.      

.     

.      

"Bagaimana kalau kita berdansa, lagunya sangat indah," celetuk Aruna tiba-tiba selepas sekian menit berlalu dalam kebekuan, membuat orang-orang disekitarnya terbangun dan menyadari bahwa malam ini mereka berada di tengah nuansa hangat yang sempurna.     

Aruna berdiri, menarik telapak tangan besar yang tampak enggan mengikuti kemauan istrinya. Tapi bukan putri Lesmana kalau dia tidak bisa memaksa Mahendra. Dan begitulah akhirnya, lelaki tersebut mengikuti langkah kaki mungil menuju altar kosong di hadapan panggung.      

Perempuan hamil dengan dress putih yang memanjang hingga lutut, meminta suaminya menanggalkan jas yang terpasang kaku membungkus tubuh.      

Herry bergerak cepat menerima pakaian resmi model Eropa yang terlepas dari bahu bidang tersebut. Menyisakan kemeja yang sewarna dengan milik Aruna, dan menjadi simbol putih yang bersih di malam ini.      

"Sejujurnya, aku tidak bisa berdansa. Kau tahu -kan?" Aruna mendongak ketika berupaya meminta tangan kiri Mahendra memeluk pinggangnya.      

"Tanggalkan alas kakimu," mata biru meredup mengamati wajah yang tersenyum cerah kepadanya.      

"Punggung kakimu akan diinjak dua orang sekaligus," sela Aruna. Mempertanyakan, apakah mungkin Hendra siap menggendong 2 orang sekaligus.      

"Tak masalah,"     

Musik yang berubah syahdu, lampu gemerlap, dan udara yang berhembus halus. Aruna meletakkan kedua telapak kakinya di atas punggung sepatu Mahendra. Berayun mengikuti irama musik yang mengalun.      

"Kau pakai cincin pemberianku?" Suara parau lelaki bermata biru di antara gerakan dansa menuntun wanitanya.      

"Tentu saja, aku sangat menyukainya," Dia menjawab dengan ringan.      

"Berikan aku ciumanmu sebagai hadiah balasan," Entah terdorong oleh alunan musik syahdu atau terhipnotis netra coklat yang memancarkan kehangatan, ia membuat permintaan yang mengejutkan.      

"Disini?" Ada mata melebar, mempertanyakan sesuatu yang diminta oleh suaminya.      

"Sekarang juga!"      

"Aku tidak-" bibir yang sedang berbicara tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya, ada yang mengulum, meredupkan mata.      

.     

.     

"Apa kau akan tetap pulang malam ini?"     

"Ah'," gadis yang sedang membawa piring saji untuk mengambil makanan penutup yang berbaris di atas meja prasmanan sempat terjingkat dan hampir menjatuhkan penjepit kue yang ia gunakan. Pastry dengan buah-buahan segar berwarna-warni hampir tidak terselamatkan.      

Untung saja ia cukup cekatan, sehingga benda tersebut jatuh tepat di atas kue lain walaupun bukan Pastry.      

"Jangan mendekat, aku mohon!" Kihrani menoleh, melirik seorang calon perusak suasana.      

"Sebenci itu -kah, kepadaku? Apakah aku punya salah padamu?" Ada gelengan kepala dari lawan bicaranya.      

"Bukan kau yang bermasalah, tapi aku" Dia yang berbicara seolah bersikap acuh tak acuh.      

"Aku tidak bisa mengatakan tidak, kau memang gadis pembawa masalah," Vian mengiringi langkahnya selaras dengan pergerakan Kihrani yang bergeser langkah demi langkah ke arah kanan. Memungut hidangan penutup mulut.      

"Maka dari itu, jangan dekat-dekat denganku," ada gerakan yang terhenti. Menatap sekilas Vian. Lalu berbalik mengabaikan. Kihrani berjalan cepat menuju ke arah sekelompok asisten rumah tangga yang duduk melingkar di sebuah meja berwarna putih yang menyisakan satu tempat duduk.      

"Apa aku boleh bergabung?" Dia yang bicara, detik ini menggeser sebuah kursi dari meja lain. Lalu menyelinap di antara asisten rumah induk yang mayoritas perempuan.      

"Jika anda tidak keberatan," asisten rumah induk yang mengucapkan kalimat tersebut, diketahui Kihrani bernama Tika.      

"Tapi kami tidak punya obrolan yang bisa menghibur anda," sedikit ketus, Ratna merasa aneh dengan kehadiran lelaki yang ia ketahui sebagai salah satu pemilik jabatan penting di kantor Djoyo Makmur group. Memilih tempat ganjil, dengan duduk diantara mereka.      

Dari raut wajah Ratna sangat kentara, asisten rumah induk yang bertanggung jawab terhadap kamar dan kebutuhan nona Aruna sedang terganggu.      

"Kalian bukan pelawak, tak masalah seandainya obrolan kalian tidak menghibur," Vian bersikukuh duduk di antara mereka.      

Sedangkan Kihrani memilih berdiam diri. Menikmati pastry yang ia bawa tadi.      

"Aku percaya kedatanganmu disini ada tujuannya," seorang asisten selain Ratna dan Tika mengumbar pertanyaan, "Katakan saja, daripada kau menyiksa diri berada ditempat yang tidak seharusnya," Lanjutnya.      

Vian lekas tersenyum, membenarkan ucapan salah satu asisten penghuni meja putih. Dan hal tersebut membuat seorang gadis tiba-tiba menghentikan makannya sebab dirinya menegang seketika. Terlebih ketika beberapa pasang mata menatapnya.      

"Apakah aku?" Kihrani dengan berani menolehkan wajahnya pada Vian, melempar pertanyaan. Menampilkan ekspresi jengkel dan berharap lelaki bermata sendu tersebut menggelengkan kepala atau minimal mengatakan 'tidak'.      

"Ya," lugas Vian.      

 _ si gila_ benak Kihrani tak kuasa untuk tak memprotesnya. Vian tidak peduli posisi Kiki, seorang junior, pendatang baru, yang akan lebih bijak andai dia menjadi gadis biasa saja, tidak menonjol, apalagi terlihat akrab dengan lelaki bernama Vian.      

Lelaki dengan jabatan tertentu, yang stratanya jauh di atas pendatang baru, "Ah' kau pasti bercanda," kalimat Kihrani kali ini dibumbui tawa sumbang. Mencoba meredam tatapan orang-orang yang kepalanya penuh tanda tanya.      

"Apa raut mukaku terlihat bercanda??"      

Perempuan tersebut mendesah. Giginya mengerat. Menahan amarah.      

.     

.      

Gadis berambut hitam yang terikat di belakang punggung segera bangkit merelakan Pastry nya. Ia berjalan menjauhi kerumunan. Menjauhi cahaya kerlap-kerlip dan suara musik maupun aroma makanan yang tersaji.      

Sudah dapat diduga, langkahnya diikuti Vian. Ketika Kirani berhenti, Vian juga berhenti. Gadis tersebut berupaya menekan gejolak hatinya yang ingin meledakkan kemarahan, "em.. jadi apa yang kamu inginkan," kalimat ini punya penekanan di setiap kata. Dan Vian tersenyum mendengarnya.      

"Bagaimana dengan kuliahmu? Kabarnya kamu akan melanjutkan kuliah?"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.