Ciuman Pertama Aruna

IV-10. Kau Menggodaku



IV-10. Kau Menggodaku

0"Kau minta makanan bentuk lain rupanya," tangan yang terikat kuat di pinggang, berusaha Aruna longgarkan. Perempuan tersebut menyajikan senyum kecil ketika menyadari opa Wiryo memperhatikan kelakuan Mahendra.      

"Hendra, sebentar! ah," matanya melebar, menatap lelaki yang menempel seperti kekurangan tempat, "Hendra," tak kuasa menerima kenakalan suaminya, Aruna menghantarkan rasa panas menyakitkan dengan cubitan kecil di lengan.     

Sedikit menyebalkan ketika lengan kokoh tersebut malah mengunci kian erat tanpa canggung. Lebih terganggu lagi, tatkala menyadari opa Wiryo tidak jauh dari keberadaan lelaki mesum yang detik ini tak mau membebaskan tubuhnya.      

"Kau bilang, kau belum makan?" Terbata-bata Aruna mengajukan pertanyaan tersebut. Bagaimana tidak? Lelaki bermata biru menyusuri telinga dan sudah sampai di lehernya. Seolah-olah taman terbuka yang detik ini menghangat oleh nuansa kekeluargaan adalah kamar pribadi mereka.      

Hendra tak peduli apa pun dan demikianlah dia, tiap saat dan setiap hari mengutamakan kehendaknya sendiri.     

Matanya menggelap, warna biru cemerlang tertutupi oleh kabut gairah. Otot-otot tubuhnya menegang di malam spesial. Dimana seluruh keluarga besar Djoyodiningrat keluar dari dalam persembunyian gua kokoh mereka, dan bersatu padu di bawah lampu-lampu yang menggantung. Sesuatu yang langka dan belum pernah terjadi sebelumnya. Akan tetapi, lelaki yang detik ini seolah berubah jadi seorang pemburu malah terfokus ingin menyentil resleting yang menantang jemarinya hingga bergetar.      

"Jika kamu melakukan hal gila di sini, aku pastikan tidak ada hidangan makan malam yang kamu inginkan," mata lelaki berkilat-kilat mendengar kalimat yang di iringi dengan desahan di telinganya.     

"Tidak ada yang bisa menghalangiku," tegasnya, menggunakan suara lirih menggoda.      

"Selalu ada yang bisa mencegahmu!" sanggah si perempuan yang coba menahan diri dari lelaki mesum berwujud suaminya.      

"Apa?" dia tersenyum miring, angkuh dan sombong. Ekspresi yang mustahil tertinggal.      

"Moodku," perempuan mungil tersebut mengibaskan sejumput rambut di bahunya, menyebar ke belakang.      

Tindakan tersebut tak luput dari perhatian Mahendra, akan tetapi fokus manik matanya tertuju pada tato merah di leher perempuan yang baru saja ia ciptakan.     

Lidah nakal itu melumuri bibirnya sendiri ketika anak mata Aruna meliriknya, "Kau menggodaku," bisik lirih itu hadir bersama sebuah telapak tangan lembut yang mengelus bebas, menelusuri muka lelakinya dari ujung ubun-ubun hingga dagunya yang dipenuhi bulu tipis.     

Tampaknya, Mahendra lupa bercukur sepanjang perjalanan mereka ke pegunungan Bromo, dan entah bagaimana, penampilan tersebut menjadi demikian serasi dengan bulu halus yang bersembunyi di antara kemeja putih —yang ia tanggalkan satu buah kancingnya.      

Pria nakal tersebut menghentikan gerakan si perempuan. Menangkap tangan mungil nan halus, dan selembut bayi. Menghirup aroma yang terpancar dari punggung telapak tangannya, harum yang menenangkan.      

"Jangan bilang kau tidak tergoda, telingamu sudah merah," suara yang keluar dari bibir itu parau, kejam. Sekejam desahannya yang mampu membuat aliran darah perempuan hamil lebih mengalir deras dan tak terkendali.      

"Aku juga belum makan?, So, hentikan!" kalimat Aruna bercampur rintihan yang sedikit menggelikan. Dia mendapatkan sesapan pada ceruk lehernya sekali lagi.      

Mata perempuan itu sempat terpejam sekian detik, sampai bunyi gitar terpetik pada senarnya berhasil menggugah kesadaran.      

Sekelompok asisten rumah induk yang tertangkap masih muda bersiap-siap perform pada panggung setinggi satu jengkal di atas tanah, hasil rekayasa mereka yang kreatif. Memanfaatkan papan-papan kayu serta kain putih sebagai background, semakin cantik dengan pernak-pernik yang menggantung.      

Suara tepuk tangan riuh mengudara bersama aroma hidangan terbang di hantarkan oleh asap-asap barbeque yang menggoda. Aruna terselamatkan dari suaminya yang sedang kalap. Dia mendesah lega, berhasil bangkit dari duduknya. Berjalan membelah sekelompok manusia berbaju asisten rumah tangga maupun ajudan yang dengan ringan menurunkan sedikit pandangan, memberi salam khas mereka.      

Jalan ringannya ternyata diikuti lelaki yang tingginya lebih dari 30 centimeter di banding tubuh mungil Aruna. Keduanya membaur bersama dalam malam yang menyenangkan sekaligus membahagiakan.      

Sekali lagi ketenangan yang belum pernah terjadi di rumah megah Djoyodiningrat membuat banyak hati bertanya-tanya, apakah ini kenyataan? Atau hanya akan berlangsung sekejap? Apa pun itu, kenyataannya lagu merdu yang dinyanyikan band dadakan berhasil menghipnotis manusia-manusia yang berkumpul bersama malam ini.      

"Aku mau daging," suara Mahendra kembali berbisik di dekat telinga. Siku kecil spontan menghantam perut yang menempeli punggungnya.      

"Ambil sendiri, jangan manja!" Aruna menoleh sejenak, selepas mengisi piringnya.      

"Biar saya siapkan, tuan," koki yang mendengar percakapan mereka bergerak cepat.      

"Tenang-tenang," kata Aruna menatap koki yang cekatan menata hidangan, "Malam ini tidak ada tuan, atau nona," ungkapnya, menatap hangat sang koki dan malah melirik Mahendra.      

"Ya, ya, ya! Aku akan menyiapkan sendiri makananku," akhir kalimatnya memanjang —tanda mengalah. Bergerak ringan mendekati sang koki sekaligus mengusirnya, dan senyum manis tersaji oleh perempuan hamil.      

"Kamu tampan 100 kali lipat ketika memotong daging," ini pujian yang membuat Mahendra memutar anak matanya. _Pujian yang kuno_ batin lelaki tersebut.      

"Jika kau ingin menyenangkanku, berikan bibirmu. Itu lebih baik," terbuka dan di penuhi gairah. Definisi yang tepat untuk lelaki yang detik ini berhasil menyajikan dua piring beef steak.      

Aruna sekedar menertawakan pria yang belum berhasil meredam hasrat biologisnya.      

"Tuan, nona," suara ajudan junior mendekati Aruna, "Tetua meminta anda makan bersamanya, ibu Gayatri dan nyonya Sukma sudah menunggu,".     

Hela nafas enggan terdengar dari Mahendra, "Masih protokoler di suasana casual," dia yang bicara membanting ringan garpu yang digunakan untuk menyusun kacang polong dan potongan kentang goreng.      

Berbeda dengan Aruna yang menahan tawa geli, _bukankah dulu dirinya sama saja? tidak paham makna casual. Selalu kaku dan berlebihan dalam segala hal_      

Pasangan itu pergi memenuhi panggilan tetua, atau sang perusak suasana paling ulung bagi Mahendra.     

.     

.     

"Duduklah," Aruna tidak tahu kenapa dua perempuan menatapnya dengan kesan keharuan. Walaupun tatapan tetua Wiryo masih tetap kaku, terlebih ketika dia melirik Mahendra yang sedang mengatur duduk sama seperti yang ia lakukan.      

Aruna menyadari hal tersebut sebab ia mengamati tetua Wiryo. Sedangkan Mahendra terlihat acuh tak acuh, mengabaikan kakeknya. Iringan musik yang mendayu tak begitu keras maupun dominan, menjadi background berkumpulnya keluarga Djoyodiningrat.      

"Aku belum pernah mengatakan ini padamu, bahkan mungkin istrimu juga tak begitu peduli," kalimat opa Wiryo spontan menghasilkan kerutan di kening Mahendra.      

Ekspresinya kontras dengan nuansa yang hadir pada wajah oma Sukma, "Setelah ini, apa rencana kalian?"      

"Rencana?" Hendra sama seperti Aruna yang spontan saling memandang tak paham dengan kalimat tetua Wiryo.      

"Aku sudah mengalah dengan istilah modernisasi, emansipasi, atau apalah itu," kata Wiryo kaku. Keduanya terlihat tak paham dan kian bingung.      

"Apa aku harus mengatakan dengan gamblang kalau putri Lesmana bakal melarikan diri, andai dia hanya berdiam diri di rumah ini sambil melahirkan bayinya. Yah, walaupun itu lebih baik," mata tetua mengarah pada Sukma ketika berbicara, sepertinya perempuan paruh baya tersebut yang mendorong si otoriter membuka pembicara mustahil tentang mengizinkan Aruna beraktivitas.      

Walaupun pesan tersebut sangat samar, dia yang dibicarakan mengembangkan senyuman. Akhirnya, akhirnya dirinya di berikan kesempatan mustahil. Mendobrak tradisi gila yang di buat keluarga pemilik kastil di lereng bukit tersebut.      

"Saya," Aruna terbata, "saya ingin melanjutkan kuliah," suaranya bergetar.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.