Ciuman Pertama Aruna

IV-9. Confetty



IV-9. Confetty

0"Aku," Syakila untuk pertama kalinya mengawali percakapan. Dia yang berhari-hari dikurung di kamar pria yang detik ini menghentikan niatnya keluar ruangan dan memilih mendengarkan kata pertama dari gadis yang tak pernah sekalipun menunjukkan minat berbicara dengan benar, menatap Gibran seolah memintanya tinggal barang sejenak, "–tidak mau dianggap gila, aku tidak gila," Protes gadis tersebut.      

"Aku tahu itu," Intonasinya rendah, mendesah lelah.     

"Lalu, mengapa kau mengirim psikiater untukku?" Kata tanya ini bersamaan dengan sesendok besar bubur masuk ke dalam mulut, Syakila ingin menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja.      

"Tindakan-tindakanmu membuatku putus asa, cobalah memahami situasi ini dari sudut pandang orang lain," Suara Gibran masih terdengar rendah. Mencoba setenang yang ia mampu.      

"Bilang saja dari sudut pandangmu," sendok di tangannya membentur meja —diletakkan, seiring dengan kerutan di dahi Syakila.      

"Ya," Gibran mengakuinya. Setiap saat dia berharap Syakila bisa memahaminya barang sedetik saja.      

"Kalau begitu, bawa aku menemui Gesang," mata itu menatap penuh harap.      

"Maafkan aku, itu mustahil," ada gerakan tangan ringkih meremas benda yang ia pegang, "Tunggu sebentar, jangan marah!," Gibran akhirnya berjalan mendekati gadis di atas ranjang sekali lagi.     

Andai Syakila bukan gadis pemberontak, ingin rasanya Gibran memeluk tubuh ringkih tersebut. Memberinya bahu untuk menangis di dadanya. Seperti dirinya yang tak pernah sekalipun membedakan Geraldine dan Gesang, dia pun juga ingin bersikap sama kepada putri Baskoro. Sebab putra sulung Rio tahu, gadis tersebut butuh dirinya.      

Demikianlah apa yang tersembunyi paling dalam di dada Gibran. Berkecamuk dan ter-aduk menjadi satu, entah karena iba atau hal lain, yang pasti Syakila selalu mampu meluruhkan dirinya.     

"Mustahil, sebab Gesang memilih pergi dengan ibunya, dia masih hidup. Dia tidak mungkin terlihat lagi. Itu caranya menyelamatkan ibunya dari ayah Rio," Dan akhirnya kalimat tersebut keluar dari bibir Gibran, berharap Syakila mengerti posisinya.      

"Masih hidup??" Mata itu menyala lebih lebar, gadis tersebut menangkup mulut seakan tidak percaya pada apa yang dia dengar.      

"Ya, dan dia memilih keselamatan ibunya," _lalu menukarnya dengan dirimu_ separuh penjelasan Gibran tersembunyi dalam benaknya.      

Salah paham dengan keadaan kekasihnya membuat ketegangan selalu hadir di otot-otot Syakila, dan kini semua hal tersebut lenyap perlahan-lahan kemudian berubah menjadi rintihan lirih lalu air mata.      

"Andaikan, hiks.. ibuku masih hidup, aku pasti tidak akan hidup seperti ini, hiks hiks," entah bagaimana dan mengapa gadis ringkih tersebut malah menangisi kepergian ibunya, Gibran tak paham sama sekali.      

Rintihan itu terdengar begitu menyayat hati, menyesakkan rongga dada lelaki yang coba menggali pemahaman. Mata yang biasanya hanya memancarkan amarah —tanpa sekalipun mengizinkan ada air membasahi pipinya, detik ini dipenuhi dengan bulir-bulir air yang bersimbah.      

Spontan Gibran menyingkirkan meja makan portable yang berada di pangkuan Syakila. Bergerak cepat, memberanikan diri memberi gadis tersebut sebuah pelukan.     

Tubuh ringkih tersebut bergeming, tak membalas dekapan yang coba memberi ketenangan. Akan tetapi Gibran merasa lebih damai ketika ujung kening Syakila menyentuh bahunya tanpa melakukan pemberontakan.     

"Oh, aku lupa," Gibran bangkit seketika. Ia berjalan memasuki pintu sebelah. Tak lama ketika lelaki tersebut kembali, telapak tangannya terbuka dengan sebuah gelang buatan tangan tersaji di atasnya.      

"Kau harus memakainya, supaya kau ingat Gesang sedang bahagia bersama ibunya," dalam sudut pandang Syakila, kakak dari kekasihnya ternyata tidak seburuk yang ia pikirkan. Tapi siapa yang tahu apa yang disembunyikan Gibran di kepalanya. Lelaki yang saat ini menyentuh pergelangan tangan kemudian melingkarkan ikatan aksesoris peninggalan adiknya, secara bersamaan mengumbar senyum perdamaian.     

"Kau tidak mau ke psikiater?" Syakila mengangguk, "Baiklah. Selesaikan makanmu, okey," Ia mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum, sembari menyerahkan mangkuk berisi bubur.      

"Kau akan kembali bekerja?" Dia yang bertanya kembali membuat suapan ke mulutnya.      

"Ya." Singkat Gibran.      

"Aku ingin ikut," Ada ekspresi terkejut dari dia yang mendengarkan permintaan Syakila.      

"Tidak untuk hari ini, tapi aku janji, akan ku upayakan mengosongkan jadwal dalam waktu dekat," Ada rasa lega bercampur debaran yang tak terdefinisi disembunyikan rapat-rapat.      

***     

"Tuan, nona menerima panggilan saya," pekik Alvin langsung berbalik menyerahkan handphonenya.      

[Sayang, hallo,] suaranya terdengar bersemangat.      

[Hendra,]      

[Mommy?] Ada mata yang mengerjap cepat, [Mengapa Mommy–]      

[Em, tenanglah. Aruna-] bahkan Gayatri belum menyelesaikan ucapannya.      

[No!] Lelaki bermata biru langsung menggertak, menutup handphonenya.      

"Apa ini yang kau katakan cepat?!" Mahendra menghujamkan permintaan dengan nada tinggi. "Aku akan menggantikanmu! Kalau kau tidak bisa lebih cepat!!" Dia yang sedang duduk di kursi belakang seperti orang kesetanan.     

Padahal tidak kurang dari 5 menit mobil yang dikendarai Herry berhasil parkir dengan selamat di depan pintu utama rumah induk.      

Decitan hebat dari suara permukaan jalan yang bergesekan dengan ban mobil hitam dimana sang pengemudi berusaha keras menginjak pedal rem kuat-kuat tak bisa dihindari, menjadi nada pengantar bagi dia yang tergesa-gesa dan mengabaikan semua gerakan tersebut. Melompat keluar dari dalam kendaraan yang membawanya. Menaiki tangga setapak dengan kecepatan tinggi, setengah berlari.      

Matanya mengembara bersama larinya. Atas dasar banyaknya kejadian buruk yang menimpa istrinya, lelaki bermata biru tampaknya kehilangan kendali dirinya. Pikirannya berlari lebih cepat daripada caranya mengitari lorong-lorong rumah induk dan berakhir di teras, yang mana mengarah pada hamparan taman berhias lampu-lampu indah.      

Pernak-pernik, warna-warni, dan gemerlap sepanjang mata memandang. Mahendra berjalan lebih lambat memastikan semuanya baik-baik saja. Mengamati setiap orang yang hadir di sana –yang juga mengamatinya.      

Tapi, dimana Aruna? Pertanyaan itu terus berkecamuk bersama gerakan kaki menapaki rerumputan taman rumah induk.      

Anehnya, perempuan tersebut benar-benar tidak ada. Alis yang mengkerut menyatu. Ada amarah menghantam, menggebu-gebu. Di mana istrinya?     

"Dimana Aruna??" gemerlap lampu serta aksesoris yang menggantung pada seutas tali berkaitan dan menghiasi langit malam, kontras dengan orang-orang yang menatapnya dalam ketenangan dan cenderung hening, "Dimana istriku? Apa dia baik-baik saja?"      

Tak satupun menjawabnya.      

Giginya mengerat. Tangannya mulai menggenggam kuat. Matanya menatap oma Sukma dan momy-nya yang sedari tadi di sana. Langkah kakinya menghentak permukaan tanah, dan tiba-tiba, "Welcome daddy,"     

Para pekerja dan kumpulan asisten rumah megah tersebut meneriakkan kata itu bersama-sama, dan beberapa Confetty (semburan kertas petasan) terbang ke udara seperti hujan gemerlap yang jatuh ke seluruh tubuhnya.      

"Sial!!" Dia mengumpat, sambil tertawa. Bahkan dua ajudan yang berjalan di belakangnya baru bisa bernafas lega setelah hampir separuh perjalanan tercekik oleh kemarahan tuannya.      

Dan perempuan sialan yang membuat jebakan nakal malam ini keluar dari sela tubuh mommy Gayatri dengan oma Sukma. Tersenyum manis seolah tak memiliki dosa apapun.      

"Kemarilah!" Teriak Mahendra melebarkan langkah kakinya, dan Perempuan hamil terdapati buru-buru berlarian semampunya. Menghambur dalam tawa terlantang dan terleluasa yang belum pernah hadir di rumah ini, kastil keluarga Djoyodiningrat.      

"Beraninya kau mempermainkanku!" Ujar Mahendra berhasil memeluk istrinya. Mengikatnya dalam pelukan dari arah belakang. Tepat ketika seluruh asisten, para pekerja rumah induk diminta oma Sukma kembali menikmati makan malam yang terhidang di meja-meja panjang prasmanan dan deretan asap barbeque yang di kipas para koki dengan senang hati.      

"Gara-gara kau, kita semua menahan lapar," Mata nakal itu menatap Mahendra, dan sang lelaki yang memeluk tubuh dari belakang berpindah menggenggam telapak tangan perempuan, menariknya menuju sofa yang sengaja diletakkan menghadap panggung kecil buatan.      

"Aku juga belum makan dan hampir terkena serangan jantung karenamu, beri aku makan," dia berbisik di telinga, detik berikutnya menggigit daun telinga istrinya.      

"Kau minta makanan bentuk lain rupanya," tangan yang terikat kuat di pinggang, berusaha Aruna longgarkan. Perempuan tersebut menyajikan senyum kecil ketika menyadari opa Wiryo memperhatikan kelakuan Mahendra.      

"Hendra.. sebentar! ah',"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.