Ciuman Pertama Aruna

IV-7. Role Model



IV-7. Role Model

0"Aku jadi kurang percaya diri selepas aku benar-benar menyelami–,"      

"Ayolah, tidak ada kemustahilan," Gibran memotong pernyataan Bianca.      

"kamu yakin tidak ada kemustahilan?" mata Bianca menatapku Gibran lebih lekat, "kamu menempatkan putra-putri para dewan di jajaran tinggi, tapi beberapa dari mereka tidak bisa dijadikan role model perusahaan," Matanya menerawang kosong setelah mengucapkan kalimat tersebut. Ada sedikit rasa enggan ketika ia mengingat para peserta meeting hari ini.      

Dalam sudut pandang Bianca, dari tujuh putra-putri Tarantula yang duduk di antara meja oval —beberapa menit yang lalu, tidak ada 50% yang benar-benar memikirkan pekerjaan mereka. Apalagi kedisiplinan, sopan santun, role model, jelas PR yang mustahil untuk dikompromikan dengan mereka semua.      

"Andai kamu terkendala sebab pusing oleh perilaku mereka, biar aku yang mengurusnya. Tugasmu hanya sampai SDM di bawah mereka," Keputusan Gibran selaku CEO Tarantula group, memberi jalan tengah lawan bicaranya.      

"Okey, itu lebih melegakan," Bianca kembali merapikan beberapa berkas yang tadi sempat ia letakkan di atas meja, "Oh satu lagi," tadinya gadis ini berniat ingin pergi, tapi ia kembali merapikan duduknya, "Satu hal yang perlu kita contoh dari tradisi DM Group,"      

"Bagaimana kamu bisa mengenal kondisi manajemen perusahaan keluarga Djoyodiningrat?" ada kerutan di antara dua alis Gibran ketika mengucapkan pertanyaan tersebut.      

"Oh' itu sederhana. Dulu kakakku sebelum mewarisi perusahaan ayah -di luar kepemilikan saham Tarantula-, beliau meminta kakak bekerja di DM Group sekitar 1 tahun. Tujuannya sederhana, mempelajari behavior yang diciptakan oleh lingkungan kerja Djoyo Makmur group. So, setiap makan malam ayah menanyakan apa saja yang kak Hyuga temukan. Aku yang waktu itu masih SMA ikut-ikutan mendengarkan apa-apa saja yang kakak bicarakan dengan ayah," Bianca mengatur duduknya sehingga lebih nyaman, memutar sedikit kakinya mengarah kepada beradaan Gibran, "tahukah kamu? apa yang paling menarik dari semua cerita kakak?" Pertanyaan yang sesungguhnya tidak perlu dijawab, disajikan gadis tersebut dengan antusias.      

"Apa?" Gibran penasaran.      

"Djoyo Makmur group memegang banyak tradisi yang tidak tertulis tapi dijalankan," seolah menemukan sesuatu hal yang luar biasa, ia berbicara dengan nada menggebu-gebu.      

"Ah' semua orang tahu itu," Gibran membenarkan     

"Tunggu-tunggu, ada satu yang perlu di garis bawahi," Bianca melengkapi kalimatnya. Gadis ini ingin menjelaskan lebih detail, sehingga Gibran memicingkan matanya, mencoba menerka-nerka.      

"Aku yakin, kamu pasti tahu perbedaan bos dan leader?" Kembali melempar pertanyaan yang tidak perlu dijawab.     

"Ya, siapa yang tidak tahu pelajaran usang itu," klasifikasi gaya kepemimpinan yang secara otomatis dipelajari mahasiswa bidang manajemen bisnis.      

"Mereka yang menjadi pimpinan DM group, menjelma sebagai role model yang sempurna. Walaupun banyak isu negatif yang menerjang nama Mahendra, termasuk tetua, em' apa boleh menyebutkan namanya?"      

"kamu sedang bicara dengan Gibran bukan ayahnya," nada bicaranya datar selaras dengan ekspresi wajahnya, ia tampak tertarik dengan kalimat Bianca.      

"Oh' aku pikir sudut pandang kalian sama," Bianca terlihat mengumbar senyum, akan tetapi wajah Gibran konsisten datar dan cenderung serius, sehingga gadis tersebut buru-buru mengembalikan fokus.      

"Pemimpin-pemimpin di perusahaan pesaing kita membangun budaya disiplin tingkat tinggi, sampai-sampai mereka seolah tidak memiliki kehidupan pribadi. Kakak ku pernah bercerita, bahwa setiap orang di perusahaan tersebut punya tingkat kepatuhan dan kepercayaan terhadap pemimpin lebih dari wajar," Bianca menjabarkan pemahamannya secara hati-hati, memilih tiap-tiap kata dengan tepat sehingga tidak terlalu berlebih.      

"Pewaris Djoyodiningrat, bukan main detailnya. Dia bisa menghabiskan beberapa malam untuk memeriksa semua laporan keuangan, bahkan hal sepele pun diperhatikan secara seksama. Ia dan jajarannya tidak segan-segan menghentikan langkah kakinya hanya karena sebuah benda diletakkan tidak pada tempatnya, atau ada sampah kecil yang tertangkap mata. Mereka rela berhenti dan menatap sampah tersebut, sehingga karyawan di sekitarnya berburu menyingkirkannya dan lekas merapikan apa yang mereka tatap. Kalau tidak, mereka akan turun tangan sendiri,"      

"Sejujurnya, aku sudah tahu tentang itu sebab kami mengirimkan beberapa orang untuk mengidentifikasi kelebihan mereka," Gibran terlihat memegang dagunya. tanda dia sedikit kurang nyaman terhadap informasi yang dia dapatkan dari Bianca. "Masalahnya adalah, aku tidak akan mungkin mengubah semua tradisi di tempat ini sendirian,"      

"Mustahil, Mahendra menjalankan semua itu sendirian," kembali Bianca menjabarkan pemahamannya. "Mereka sudah memulainya berpuluh-puluh tahun, dan laki-laki itu menyempurnakan segalanya, terlebih sekelompok orang yang terlibat di dalam lingkaran mereka, layaknya Pion-pion yang begitu patuh kepada pimpinannya. Hal tersebut yang belum mampu aku pahami, aku pernah bertanya pada ayah Adam, kau tahu seperti apa tanggapannya?"      

Gibran terlihat menatap gadis itu lamat-lamat.      

"Ayah hanya tersenyum, lalu memberiku teka-teki: mengapa kau begitu percaya pada ayah? Dan setia mencintai ayah?. Itu pertanyaan ayahku. Dan aku Menjawabnya: sebab ayah adalah ayahku, kita satu keluarga. Lalu ayah ku tersenyum puas mendengarkan ucapanku. Coba bayangkan apa maksudnya itu," beberapa kali perempuan itu menggerakkan tangannya ke kanan ke kiri mengekspresikan tiap-tiap kalimat yang keluar dari bibirnya.      

.      

Sedangkan lelaki yang duduk di samping Bianca mengingat keberadaan adiknya. Ia masih belum lupa bagaimana Gesang sangat yakin dirinya lebih diterima dan diperlakukan dengan baik di keluarga musuh bebuyutan Diningrat. Apakah mereka memperlakukan tiap-tiap anak buahnya seperti anggota keluarga? Entahlah.      

.     

.     

"Baiklah, aku rasa aku sudah sangat lapar. Mulai besok akan aku susun beberapa konsep yang mendukung perubahan SDM ," Bianca terlihat merapikan berkas-berkasnya lalu berdiri. Anehnya, selepas dia melangkah, di langkah ke lima perempuan tersebut berbalik menatap Gibran yang masih duduk termenung, "Apakah kita bisa makan siang bersama?"      

"Ah' maafkan aku," Gibran bangkit dari duduknya, gerakan memundurkan kursi tertangkap sekilas, sebelum dia merapikan barang-barangnya di atas meja. "Aku harus pulang,"      

"kamu, tidak akan kembali ke kantor selepas ini?" tanya Bianca penasaran.      

"Aku pasti kembali, sayangnya aku perlu memastikan sesuatu yang di rumah baik-baik saja,"     

"kamu akan membuang banyak energi," Suara Bianca tanpa mengalihkan pandangan ke arah Gibran.      

"Cukup melelahkan," yang bicara mengangguk-ngangguk tidak menolak pernyataan dari Bianca. Keduanya berjalan melewati lorong, dan berpisah tatkala sang pria harus menuju lantai dasar guna kembali ke rumah sejenak memastikan seseorang menelan makanannya terlebih dahulu sebelum dia makan.      

***     

"Jam berapa ini?" Pergelangan tangan kiri Mahendra tidak pernah terlepas dari jam. Sayangnya tiap kali dia mengamati benda tersebut, terdapat rasa tidak percaya dengan jarum yang ditunjukkan jam analog yang melingkari pergelangan tangannya.      

"Tenanglah tuan, kita sudah hampir sampai rumah induk," Herry duduk di kursi pengemudi, mencoba meningkatkan kecepatan mobil.      

"kamu sudah berhasil menghubungi istriku?" Alvin yang duduk di sisi samping keberadaan Herry, tiada henti berusaha menelepon Aruna.      

"Belum tuan, tapi saya sudah berhasil menghubungi rumah induk. Nona sedang berada di taman bersama seluruh penghuni rumah induk," Jawaban Alvin membuatnya kian resah, berulang kali jemari lelaki bermata biru bergerak dengan ritme tertentu, dia menciptakan ketukan.      

"Ayolah, lebih cepat!" Lagi-lagi kalimat perintah tersebut diucapkan Mahendra.      

Walaupun dia yang sedang resah tidak melihat istrinya dalam wujud sebenarnya, rasa-rasanya pelupuk matanya sudah dipenuhi raut wajah perempuan muram.      

Pada perjalanan menembus kebisingan malam kota metropolitan, Mahendra harap-harap cemas —semoga acara syukuran belum usai.      

"Tuan, nona menerima panggilan saya," pekik Alvin langsung berbalik menyerahkan handphonenya.      

[Sayang, hallo,]      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.