Ciuman Pertama Aruna

VI-4. Putra Pertama Barga



VI-4. Putra Pertama Barga

0"Okey, aku rasa kamu masih beruntung,"      

"Apakah cinta anda pernah bertepuk sebelah tangan?" Tanya Kihrani penasaran, dan Aruna menggelengkan kepala sebagai jawaban.      

"Cih," gadis tersebut berani juga mendecih pada nonanya, "Saya rasa, anda tidak akan bisa memberi saya saran,"      

"Hahaha, sial!" umpat Aruna di sela tawanya, dan mereka berdua sempat tertawa bersama, "Aku rasa, aku bisa memberimu sedikit masukan. Walaupun aku belum pernah berada dalam posisimu," ada yang mengangkat kedua bahunya, "Tetapi, aku pernah diduga dalam posisi si pembuat patah hati," ada senyum simpul di akhir kalimat.      

"Okey, boleh juga," Kihrani mengangguk-ngangguk.      

"Kadangkala seseorang membuat orang lain patah hati bukan karena dia tidak menyukai mereka yang berada pada posisi kedua. Bisa jadi keadaannya yang membuatnya demikian —tidak punya kesempatan untuk menerima dua cinta atau semacamnya. Sebab, keadaan menjadikannya mustahil untuk melakukan itu. Hingga keputusan yang terbaik memang harus memberi orang lain sakit hati," ia yang berbicara seolah sedang membagikan kisah cinta pribadinya secara tidak langsung.     

"Saran yang tidak buruk," komentar ini mendorong Aruna untuk menyipitkan matanya. Gadis tersebut sepertinya tidak bersedih lagi.      

"Aku belum memberimu saran," ada bibir mengerucut dari perempuan hamil.      

"Oh? Benarkah?" Ada mata melebar seiring nada terkejut dari Kihrani.      

"Makanya dengarkan dulu, Dea!! Eh' maksudku, Kihran," dan Aruna meraih bantal di punggungnya lalu digunakan untuk mendorong sedikit bahu Kihrani. Si ajudan sudah berani jahil kepadanya.      

"Baiklah, saya akan pasang telinga saya baik-baik," gadis ini memegangi kedua telinganya lalu menariknya ke kanan dan ke kiri.      

"Kau ini!" suara Aruna seperti tengah mengancam "Dengarkan!"     

"Iya, nona" Kihrani spontan menoleh dan menatap nonanya dengan lamat-lamat.      

"Em, hal terbaik yang perlu kamu lakukan," dia yang bicara tengah memikirkan seseorang, "Cobalah untuk menikmati kehidupanmu sendiri. Jika belum bisa jatuh cinta lagi, gunakan waktumu untuk fokus pada hal lain,"      

Lawan bicara Aruna menurunkan kedua tangan yang awalnya melekat pada ujung-ujung daun telinga.      

"Arahkan energi patah hati pada hal-hal lain yang bisa membuatmu menuju ke arah lebih baik," Ada anggukan dari kalimat ini.      

"Saya akan fokus bekerja, memberikan masa depan yang lebih baik untuk adik-adik saya dan kalau ada kesempatan, termasuk saya sendiri," Ada tekad kuat yang terpancar dari bola mata hitam Kihrani.      

"Kamu tahu, aku rasa keputusanmu sangat bagus. Semoga dia yang patah hati karena diriku juga bisa menemukan fokus lain, seperti dirimu," ujar Aruna. Suaranya lembut seperti tengah mendoakan.      

"Life must go on!" ada kepalan tangan setinggi dada dari gadis berambut hitam dengan seragam ajudan.      

"Yeah" Aruna mengangguk, "Life must go on!" dua perempuan itu tersenyum dan tertawa secara bersamaan.      

"Baiklah, sekarang waktunya anda memberi makan pada bayi di perut anda," Kihrani berdiri dari tepian ranjang.      

"Apakah pesta syukurannya sudah dimulai?" pertanyaan Aruna mendorong langkah seseorang.      

"Saya rasa demikian," ia yang bicara semakin dekat menuju jendela dan mengintip keadaan di bawah sana. Lampu-lampu di antara taman bunga keluarga Djoyodiningrat ternyata sudah dinyalakan, "Ayo, nona! Kita harus turun sekarang,".     

"Bantu aku mencari baju," Aruna buru-buru keluar dari selimut tebal. Perempuan yang awalnya tidak mempunyai niat untuk menikmati perayaan malam ini, kini terdorong untuk tampil lebih sempurna.      

 ***     

"Keluarlah dari ruangan ini kalau kalian ingin bertengkar! Aku tidak mau meeting perusahaan di campuri urusan pribadi," Gibran berdiri menatap dua orang yang tengah berdebat secara bergantian.      

Kalimat Gibran berhasil membuat seseorang mendesis, "Biar aku bereskan," seseorang yang tadi sedang presentasi, kini berjalan mendekati Gibran. Mengelus separuh bahunya sambil berbisik. Meyakinkan putra Rio bahwa ia bisa menangani kakaknya.     

Sembari menenangkan putra pertama Rio untuk duduk kembali, Rey Barga menatap tajam kakaknya, Key Barga. Seorang pria yang secara mengejutkan hadir di tengah-tengah rapat perusahaan -telah usai masa tahanannya. Dan itu artinya, di dalam lingkaran para putra-putri Tarantula telah hadir seorang trouble maker sempurna.      

"Apa kau pikir aku pengacau? sampai perlu berkata seperti itu, tuan muda yang–," mata Key Barga menyipit, membuat penilaian terhadap Gibran, "memuakkan,"      

"Oh!" suara Rey yang tengah memejamkan mata, dia begitu tersiksa dengan kalimat kakaknya. Putra-putri Tarantula yang lain mulai gelisah, "Bisakah kau keluar dari sini!!" Suaranya melengking, menyapa gendang telinga setiap orang di meja oval.      

"Tenang, tenanglah adikku. Aku hanya bicara apa adanya, dan satu lagi," dia yang sedang membuat pernyataan perlahan berdiri, "Aku tidak akan menggeser posisimu yang seharusnya milikku, tapi aku akan bergabung dengan kalian. Kalau kalian peduli terhadap Heru," senyum misterius itu tersaji.     

Key Barga, pria dengan wajah tirus. Mata, dan bibir kecil sayu. Kulitnya pucat pasi dengan gerak-gerik misterius.     

Ada satu hal yang menjadi ciri khas pria ini. Key Barga lebih terlihat dominan sebagai pria Jepang daripada adiknya -Rey Barga-, walaupun keduanya sama-sama berdarah campuran. Melayu dan Japan.      

Mendengar kata Heru diucapkan oleh Key, dengan langkah berani, Putri kedua Salim –gadis cantik dengan pakaian glamour– bergegas mendekati lelaki tersebut.      

Sekali lagi Gibran berdiri, menatap sekilas kepada yang lain membuat mereka satu persatu berdiri dan mulai ikut serta meminta Key Barga keluar dari ruangan.     

Sepeti itu lah makna 'memuakkan' bagi Key Barga terkait putra pertama Diningrat. Lelaki yang memiliki kuasa penuh daripada yang lainnya. Sekali pandang, putra-putri Tarantula yang lain akan menurutinya layaknya para pengikut setia yang tengah menerima mandat bosnya.      

Si paling kaya, paling berkuasa, dan setiap kata-katanya didengarkan. Sungguh memuakkan bagi putra pertama Barga tersebut.      

Key Barga sekedar melirik keputusan mereka yang berdiri mengikuti kemauan Gibran, "Oke, sayang. Mari kita keluar," ia menyapa yang lainnya dengan santai. Menarik pinggang Tiara Susmita Salim, dan spontan punggung tangan lelaki tersebut dipukul oleh putri kedua Salim.      

Tiara Susmita yang merasa mempunyai urusan dengan Key, tetap keluar mengikuti permintaan putra pertama keluarga Barga demi mengurangi ketegangan pada meja rapat —termasuk mencari tahu seperti apa lelaki tersebut memperlakukan kekasih barunya, Heru.      

.     

.     

"Pergilah denganku, aku merindukanmu," sepanjang langkah pada lorong-lorong gedung pencakar langit milik perusahaan Tarantula, suara ini menggema. Menjadikan seorang perempuan menghentikan langkahnya.      

"Kau tidak bisa menyentuhku kali ini. Kita berdua sudah putus, tidak ada hubungan lagi!" Ada helaan nafas terdengar, "Aku tahu, kau akan marah padaku," Ia bersedekap, selepas menyelesaikan kalimatnya. Mendorong lelaki yang sedari tadi berjalan mengiringi langkah kaki perempuan tersebut dan sang pria berbalik menatapnya, lalu Key terkekeh sekali lagi, selepas mendengarkan kalimat-kalimat yang diucapkan Tiara Susmita.      

"Jangan tertawa seperti itu! Aku dan Heru punya rencana menikah. Kali ini, aku sungguh-sungguh ingin menikah," tawa Key Barga kian sempurna. Sesempurna kemustahilan kata 'menikah' yang keluar dari bibir perempuan berbalut kemeja kantor dengan rok setinggi lutut. Berpadu dengan sepatu hak tinggi yang terlihat sombong menantang, diikuti dagu sedikit terangkat, Tiara Susmita selalu percaya diri. Bersedekap bersama rambut hitamnya yang khas.      

"Sejak kapan kau berani kepadaku?," lelaki yang awalnya tertawa kini berjalan mendekat perlahan, membuat perempuan yang awalnya percaya diri kini mulai menurunkan lipatan tangannya.      

Ketika Key sudah mencapai jarak paling dekat bahkan cenderung intim, ia menarik pinggang Tiara Susmita. Mendekatkan wajahnya hingga hirupan nafasnya terasa tepat pada bibir serta hidung perempuan di hadapannya, "Sekali kau berani mengatakan kita sudah berpisah atau kau berani menikah dengan Heru, itu artinya dia bisa cacat seumur hidup di tanganku," Ada seringai dari bibir kecilnya, "Hahh, sepertinya kehidupanmu bahagia ketika aku tidak ada," tangannya mengembara, membelai rambut terurai indah milik putri Salim dan berakhir mencengkram dagunya. Menariknya sedikit maju, hingga sebuah kecupan mendarat di bibir merah perempuan tersebut.      

Sekian detik, selepas Tiara berhasil menjauh dari Key. Gadis yang ditinggalkan di lorong itu menggigil, pundaknya bergetar. Nafasnya naik turun, dan tangan kirinya memegang tembok seolah butuh sandaran.     

Tidak ada yang bisa mengelak bahwa putra pertama Barga adalah pria paling bisa melakukan apa saja di antara putra-putra Tarantula yang kehidupan pribadi mereka selalu terkesan berkuasa. penganut Hedonisme.      

Gadis tersebut segera mengeluarkan handphone dari tas jinjing kecil yang sejak semula setia di tangan kanannya. Ia membuat panggilan, memanggil orang-orangnya. Meminta membuntuti Key Barga sehingga keberadaan Heru segera dapat ditemukan.      

Hal yang paling lihai dari segala siasat di kepala Tiara ialah menghubungi ... .... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.