Ciuman Pertama Aruna

III-272. Menutupi Rasa Was-Was



III-272. Menutupi Rasa Was-Was

0Susi pun memacu langkahnya lebih cepat. Gadis itu masih baru, dia harus memastikan semuanya baik-baik saja.      

Semua orang di meja makan terlihat menampakkan ekspresi standar. Bahkan dua perempuan yaitu Nyonya Sukma dan Nona Gayatri sangat tenang di mata Susi. Senior ajudan tersebut merasa mereka berdua bukan sekedar cukup baik dalam upaya menutupi rasa was-was nya. Andai sebuah casting diadakan oleh rumah produksi perfilman mungkin mereka akan lolos dan memainkan sebuah peran.      

Lihat saja mereka masih begitu anggun dan memasukkan potong-potong daging ke dalam mulut dengan gerakan halus, menyenangkan untuk dipandang.      

Mata Susi ikut awas menatap tetua Wiryo. Beliau tentu sudah tahu semenjak sekretarisnya datang dan mendekatkan kepalanya kepada telinga pria paruh baya tersebut, membisikkan kejadian serius. Raut wajah mereka tampak jelas detik-detik tersebut.      

Anehnya tetua Wiryo tidak langsung meledak, dia masih meneruskan makannya tanpa bersuara. Gerakan tangannya sedikit kaku. Akan tetapi wajahnya standar seperti biasanya.      

Benar kata kebanyakan orang, tetua Wiryo adalah lelaki yang mustahil bisa diprediksi. Hal-hal yang ada di dalam dirinya dan apa-apa yang ia ketahui, tak terlukiskan pada guratan raut wajah tuanya.     

Ketenangan detik-detik ini lah yang menjelma sebagai bukti nyata dinginnya lelaki paruh baya tersebut. Susi yakin, di kepala kakek Djoyodiningrat tersebut sedang merajut sebuah rencana. Bagaimana menemukan anak angkatnya, Nana?.     

"Dimana junior-juniormu, Susi?" suaranya memiliki desahan berat dan ada penekanan pada ujung tiap kata. Tetua bertanya tanpa melihat Susi, dia meraih gelas air putih yang isinya masih setengah.      

Susi lekas meraih siku Kihrani, memukul punggung gadis tersebut supaya lebih tegap lalu sebuah bisikan lirih -akan tetapi terdengar sangat tegas di surakan Senior ajudan tersebut, "Menunduk, beri hormat!" gadis yang berdiri gugup di belakang Oma Sukma dan Gayatri -alias beriringan dengan Susi-, lekas menunduk.      

Singkat dan tegas, dia menirukan cara Vian yang beberapa menit lalu tertangkap dari kaca jendela lantai tiga -ketika menunggu Susi dan di temui oleh ratna-. Rambut bagian bawah Kihrani yang tidak terikat, tergerai jatuh menyebar, berayun sebelum pada akhirnya tercecer pada dada dan punggung.      

Hal tersebut sama sekali bukan tradisi ajudan perempuan Djoyodiningrat. Mereka selalu mengikat kuat seluruh rambutnya kebelakang. Ketika terkategorikan panjang, ikatannya pun menempel pada punggung artinya tak di angkat berkuncir kuda ala gadis remaja. Dan beberapa memilih berambut sebahu atau pendek.      

Melihat hal tersebut, Susi spontan menarik ikat rambut Kihrani secara paksa. Tak ada waktu bagi gadis tersebut untuk bersuara kala rambutnya digenggam lalu diikat kuat pada posisi menempel pangkal leher bagian belakang oleh senior ajudannya.      

"Berdiri lebih tegap!" kembali bisikan Susi terdengar, Kihrani tentu kian gugup. Pekerjaannya kali ini amat sangat jauh berbeda dengan profesi yang sebelumnya. Walaupun sama-sama berdiri, dia tak diizinkan sekaku ini.     

Mantan kasir yang tak suka tersenyum tersebut tetap harus nampak riang tiap saat, dulu baginya ekspresi tersebut sampah. Kenyataannya ekspresi sampah itu kini jauh lebih terasa nyaman dari pada harus memasang wajah tegas, tenang seperti tentara perempuan.      

Kihrani memberanikan diri melirik pria di atas kursi roda, entah bagaimana dia ikut merinding melihatnya. Mungkin terlalu banyak orang yang menunduk padanya termasuk para penghuni meja makan putih yang mengitarinya, juga selalu memperhatikan kalimat-kalimatnya bahkan gerak gerik sederhana yang ia tunjukkan. Seperti nyonya ramah yang berinisiatif menuangkan air pada gelas kosong pria dingin tersebut.      

"Dimana yang lain?" Kihrani tidak mengerti kepada siapa kalimat tanya lelaki di atas kursi roda itu ditujukan.      

"Nona muda sedang berlibur, jadi beberapa ajudan yang bertugas untuk nona muda, saya ajukan cuti," Susi lekas membalasnya, pria tersebut mengangguk-angguk.      

"Aku yang memberi mereka kelonggaran, jarang-jarang punya kesempatan istirahat," Suara yang sama datarnya keluar dari mulut perempuan cantik. Perilakunya hampir mirip dengan pria yang duduk di kursi roda, bicara tanpa menatap lawan bicaranya.      

Entah apa yang terjadi, Kihrani tidak begitu paham. Lelaki paruh baya tersebut meninggalkan meja makannya padahal sajian di piringnya belum benar-benar habis. Kursi hitam yang menyangga tubuhnya demikian canggih. Dia bisa bergerak sesuai kehendak dengan sekali pencet.      

Gerakan kursi roda tersebut mendatagkan komentar dan sambutan, "Kenapa tak kamu habiskan makananmu?" sang nyonya yang duduk di depan Kihrani membuka kalimat tanya.      

"Aku sudah kenyang," jawabnya singkat tanpa menoleh sedikitpun.      

Dengan sangat halus perempuan tersebut menata bekas meja suaminya yang langsung disambut Susi. Secara spontan Kihrani ikut mendekat dan tanpa sengaja mendengar bisikan lirih mereka tatkala berupaya menyingkirkan piring kotor, "Apa dia sudah tahu?"      

Itu kalimat lirih sang nyonya, kemudian disambut anggukan ringan Susi.      

Perempuan paruh baya yang duduk nyaman, menghembuskan nafas dan terlihat lelah seketika. Dia menggerakkan tangannya ke atas piring, meminta Kihrani merapikan piring di depannya.      

Sebuah gerakan tersaji di bawah meja yang masih terlihat oleh Kihrani. Nona cantik yang tadi bicara dengan dinginnya -Gayatri-, mengelus lengan lalu menggenggam tangan sang nyonya -Sukma-. Keduanya saling menatap seolah menguatkan, ada anggukan samar yang di tujukan nona dingin pada Nyonya Sukma. Keduanya terlihat saling menguatkan satu sama lain.      

"Graziella, apa kamu ingin istirahat? Susi bisa mengantarkanmu," ini suara nyonya.      

"Aku ingin segera melihat Anna, aku merindukannya," perempuan dengan baju berkelas dan logat bicara sedikit unik, menunjukan dia dari tempat yang jauh.      

Graziella menolehkan pandangannya, melihat Wiryo yang menghilang bersama ketiga lelaki lain.      

"Mam, kita istirahat dulu," Leona menyarankan. Mengkuatirkan Madre Graziella sebab baru datang, menempuh perjalanan jauh.      

"Mari saya antar," Susi menawarkan.      

"Susi, biar juniormu saja," suara Gayatri, memberi instruksi.      

"Dia masih baru," Susi mengabarkan.      

"Aku tinggal di rumah ini," Leo berceletuk, memberi solusi.      

"Apa aku boleh beristirahat di kamar Anna?" tanya pemilik logat unik.     

Ada anggukan ringan dari nyonya ramah, Sukma. Sejalan dengan Instruksi Susi kepada Kihrani "Cepat cari Ratna, biar dia mengajarimu cara melayani tamu,".     

Kihrani yang tadinya nampak kebingungan lekas berlari, mendahului langkah Leona dan perempuan yang bernama Graziella.     

Gadis tersebut naik ke balkon rumah dan masuk ke dalam lorong lebar yang kemudian membelokkan dirinya ke arah pantri keluarga. Kenyataannya, Ratna tidak ada di sana. Seorang asisten rumah tangga lain memberi tahu, ia (Ratna) berada di lantai dua, jam ini jadwalnya membersihkan kamar nona dan tuan muda.      

Kihrani mengambil langkah cepat, dia tak mau Leo yang sejak semula menatapnya dengan kurang menyenangkan melihatnya tak mampu bekerja dengan baik. Gadis tersebut sedikit kebingungan, di mana letak kamar tuan dan nona muda yang dimaksud. Rumah ini amat sangat besar, dia yang kini berlari-lari kecil seolah memasuki labirin rumit, membutuhkan sebuah peta atau minimal sebuah pertolongan dengan bertanya.      

Dia yang melihat ruangan terbuka mencoba mendekat, menggerakkan kakinya, hendak memberanikan diri "Bagaimana caramu bekerja!!" terdengar suara lelaki dingin yang menakutkan, menggema dalam ruangan tersebut.      

"Mohon maaf tuan, Diana di jebak, dia meminum obat tidur," Suara pria dengan rambut halus pada dagunya terdengar.      

Kihrani lekas mundur, membalik tubuhnya hendak berlari menjauh. Gadis tersebut ketakutan bukan main.      

"Lalu apa yang sudah kamu lakukan!" Gertakan bernada tinggi terdengar lagi.      

"Saya sudah mengintro.."      

"Bruak," suara asing terdengar. Vas besar dengan tanaman hijau yang beberapa tersaji pada lorong,tak jauh dari pintu, tertabrak tubuh Kihrani. Gadis tersebut tidak sengaja, badannya bahkan menggigil kebingungan.      

"Siapa itu?" di dalam ruangan, tetua Wiryo melebarkan matanya. Kemarahan telah membakar jiwanya. Dia tak pernah melepaskan kalimat bersuara keras … ...     

***     

[Herry, apa kamu benar-benar membuntuti perjalanan tuan?] Jav yang telah menepikan mobilnya dengan kembali ke tempat parkir, keluar dari kendaraan tersebut. Dia mempercepat langkah menuju pintu masuk rumah sakit yang beberapa menit lalu sempat hendak ia tinggalkan.      

Bahunya memanggul tas selempang milik Syakilla, dan telapak tangan kirinya masih menggenggam kartu identitas putri bungsu Baskoro.      

[Ya, aku mengikuti tuan muda,] Herry sudah berulang kali mengetuk pintu, bahkan meminta resepsionis hotel untuk membuat panggilan di kamar tuannya. Sayang sekali, tak ada yang membuka pintu untuk ajudan tersebut. Padahal pesanannya, si alat penyangga perut ibu hamil telah berhasil dibeli dengan muka merah sepanjang transaksi.      

[Tuan tahu kamu mengikutinya,] kembali suara Jav menyapa.      

[Ya dia tahu, bahkan meminta ku membantunya membeli barang yang..] mulut Herry terhenti, kalimatnya menggantung. Dia tak bisa melanjutkan atau dirinya bakal mengumbar aibnya sendiri pada Jav.     

[Tolong, ku mohon. Hubungkan aku pada tuan Hendra. Aku mengalami kecelakaan dan korbanku, em.. aku berada di posisi berbahaya..] suara Jav terdengar menyedihkan, berharap Herry bisa menyampaikan kepada tuannya dan membantu dirinya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.