Ciuman Pertama Aruna

IV-114. Benchmark



IV-114. Benchmark

0~Kenangan Masa Lalu     

"dia datang ke tempat itu lagi,"     

"lagi?" kata berikut bernada terkejut.     

"iya, tuan. Dan em.. sayangnya masih keras kepala, menolak semua pemberian anda,"     

Mobil Rey melintasi jalanan dengan kecepatan tinggi. Ingatannya kembali pada masa itu. Masa-masa di mana dirinya dan orang-orangnya berusaha keras supaya diterima gadis yang kali itu memilih meninggalkan suaminya. rey yakin Ia masih memiliki kesempatan.     

Semua orang percaya Aruna benar-benar melepaskan diri dari tuan muda Djoyodiningrat. Surat cerai mereka tinggal satu tahap saja. Hanya butuh di tanda tangani kemudian aktanya diambil dari pengadilan.     

Rey datang setiap saat di depan rumah belajar, tempat gadis itu menghabiskan banyak waktunya dan dia konsisten pura-pura tidak melihat keberadaan Rey, atau bahkan menolak tegas apa pun yang Rey upayakan untuk mendekatinya.     

Mengembalikan semua paket kepada kurir, termasuk mengabaikan jamuan yang dipersiapkan Rey khusus untuk meraih hati Aruna.     

.     

Mobil mewah yang membawa perempuan bermata coklat tersebut berhenti di tempat yang tidak begitu jauh dari titik awal mobilnya melaju. Icon tower pusat perkantoran Djoyo Makmur Grup tidak jauh dari Djoyo Rizt hotel.     

Aruna, melangkahkan kakinya dari dalam mobil selepas salah seorang asistennya membuka pintu. Wajahnya lebih bulat dan rambutnya terikat sempurna, ia menjelma kian feminim dan tentu saja anggun khas para perempuan keluarga Djoyodiningrat yang eksklusif.     

Aruna tampak dewasa, dia di balut dress panjang menutupi lutut dan cenderung tertutup, alih-alih celana jeans yang dulu jadi favoritnya. Pilihan sepatunya juga jauh berbeda. Sepatu Aruna ialah flat shoes, senada dengan gaunnya.     

Membuka pintu jendela Rey bisa melihat perempuan yang menyembunyikan perut membesar di balik Coat merahnya. Kini bahkan perempuan tersebut tahu cara mewarnai bibirnya.     

Rey tahu Aruna yang dulu tak begitu piawai ber- make up. Dan tentu saja wajah polosnya tanpa make up itulah yang memesona, dia gadis muda yang tetap segar dan menarik perhatian walaupun jarang bahkan hampir tidak pernah ada polesan berarti di wajahnya yang polos.     

Dulu, Rey sempat berandai-andai. Jika Aruna berkenan memoles sedikit saja bagian wajahnya. Tentu saja dia akan lebih memikat dan hari ini Rey bisa memenuhi hasratnya melihat Aruna dengan penampilan berbeda tersebut.     

Menyisipkan sebagian rambutnya di balik telinga, Rey bisa melihat Aruna menyajikan gerakan anggunnya. Berjalan dengan senyum mengembang kepada tiap-tiap orang yang berpapasan dengan dirinya. Masih sehangat dulu.     

Rey bergeming di dalam mobilnya, di depan gedung perkantoran Djoyo Makmur Grup. Sampai perempuan itu menghilang di balik pintu kaca transparan dan sebuah pintu pintar setinggi pinggang yang dapat di buka dengan fingerprint membatasi kemungkinan Rey untuk membuntutinya lebih jauh.     

~ingatan masa lalu Rey hadir kembali.     

"dia menolak pemberianku?"     

"ya. Lagi dan lagi, saya sudah katakan. Apa yang anda lakukan percuma,"     

"aku baru pertama kali di tolak sebanyak ini,"     

"dan anda terobsesi karena itu. Mengaku saja,"     

"tidak, aku benar-benar menyukainya, sejak awal,"     

_Mahendra juga dia tolak, aku yakin aku hanya butuh lebih sabar lagi_     

Kenyataannya harapan itu sirna.     

Rey kembali menatap sesuatu di tangannya. Sebuah gelang buatan tangan yang masih dia gunakan. Sesaat berikutnya dia mengeluarkan handphone dan menatap foto Aruna. Dia mendapatkan bidikan sempurna beberapa saat yang lalu.     

Sayangnya, panggilan seseorang di masa sekarang mengganggunya, [Di mana kamu?] ini suara Gibran hadir menyapanya. [aku baru mendapatkan informasi, kantor pusat DM grup pindah ke gedung lain,]     

[aku di depan gedung yang kamu maksud] Rey berujar.     

"Tin!! Tin.. Tin!" dari arah belakang dia yang tengah menelepon Gibran tengah terganggu oleh suara telepon yang menyakitkan telinga.     

[aku matikan dulu. Aku jemput kamu sebentar lagi,] Rey mengakhiri panggilannya.     

"maaf tuan anda menghalangi jalan," seseorang mengetuk kaca mobil Ret dan spontan Rey menutup kaca jendela mobilnya yang sebelumnya dia buka lebar-lebar. dan secepat mungkin menyalakan mesin mobil.     

Selepas mobil putra barga menyingkir, mobil lain menderu cepat melintasi Rey.     

Rey kian terkejut selepas mobil yang tadi memprotes menampakkan keberadaan seseorang.     

Mobil tersebut berhenti tepat di depan pintu utama, di mana seorang sopir keluar dengan lari kecil kemudian membuka pintu untuk Lelaki dengan mata biru.     

Pria itu datang dan keluar dari mobil mewahnya. menautkan kancing jas. Dia menepuk ringan bahu seseorang yang membuka pintunya.     

Gerakan spontan yang terkesan memberi pesan terima kasih. Dan kesan itulah yang paling di benci Rey. Hendra punya cara membuat orang lain seolah di bawahnya.     

Melihat dengan cermat cara Mahendra berjalan. Langkah pria itu tak pernah berubah. Tegas dan memiliki ritme tetap. Rey mengharapkan dia tak perlu melihat pemandangan itu lagi ini.     

"sial," Ia mengumpat tapi matanya enggan berpaling. Buntuti keberadaan Mahendra dan sopirnya -atau mungkin ajudannya- serta seseorang yang keluar belakangan.     

Seseorang yang tak asing. Memburu langkah tuan muda Djoyodiningrat lalu mencuri tempat dia samping cara pria bermata biru itu berjalan. Pemuda itu terlihat meminta perhatian Mahendra, mengawali percakapan dan tak ingin di abaikan.     

'Gesang??' Rey bergumam memastikan penglihatannya. Rey sekali lagi mencoba untuk mengeluarkan handphone. Lalu membidik keberadaan pemuda tersebut. Mengamati sejenak hasil bidikannya. Putra barga mengirim pesan berupa gambar kepada putra Rio.     

[kamu mencarinya -bukan?]     

[dua orang yang kamu cari berada di tempat yang sama. Ini menakjubkan. Aku akan mengirim informasi tersebut pada rekan-rekan kita,] Rey tak sabaran, dia lekas membuat panggilan selepas mengirim pesan.     

[jangan dulu!] Suara Gibran terdengar khawatir, [temui aku. Mari kita bicara]     

***     

Tiga puluh menit sebelumnya.     

"Kita ke mana Tuan?" Ini pertanyaan Herry. Dia dan pria yang baru saja berjumpa psikiaternya. Melaju melintasi jalanan pagi.     

Mahendra tak menjawab pertanyaan Herry, lelaki tersebut malah balik bertanya pada ajudannya, "boleh aku tahu. Apakah kau punya Benchmark, Dalam menjalankan hidupmu,"     

"Setiap orang yang berpikir akan berakhir dengan seorang yang jadi panutan. Kita belajar apa pun dari mencontoh sejak terlahir," Harry menarik bibirnya lirik mata tuannya dari kaca spion.     

"Kau tahu maksudku, -apa??" tampaknya Mahendra tidak ingin basa-basi. Walaupun pernyataan Heri adalah jawaban netral dan wajar.     

"Anda," Herry membisikkan jawaban kala mata biru menatap jalanan mengabaikan dirinya.     

"Hah! Aku?" Pria yang menatap kaca jendela sekedar berdehem, "sejak kapan kamu belajar menjilat?"     

"Saya mengutarakan apa yang sebenarnya," mata Herry melirik tuannya. lelaki bermata biru menyandar pada kaca jendela, "kadang kita merasa apa yang kita jalani belum maksimal, padahal di mata orang lain bisa jadi berbeda,"     

Hendra sekedar mendengarkan pernyataan-pernyataan Herry yang lebih terdengar naif dari pada realitas. dia tak punya selera membalas percakapan ajudannya.     

"saat saya pulang ke kampung halaman, salah satu keponakan saya mengatakan satu kalimat mujarab,"     

Alis Mahendra mengerut mendengar si pengemudi yang mulai berhasil mencuri perhatiannya.     

"bocah kecil itu berkata, suatu saat ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.