Ciuman Pertama Aruna

IV-114. Dia Semakin Cantik



IV-114. Dia Semakin Cantik

0"Oh' aku baik," balas Kihrani. Menatap sejenak pria berambut platinum tersebut, lalu memilih untuk mengalihkan pandangannya dan mundur beberapa langkah. Dia menyibukan diri membersihkan segala yang tersisa dari peralatan masak.     

"Tinggalkan itu. Duduklah di sini, kita makan bersama-sama," Aruna menepuk kursi dan Kihrani sekedar tersenyum.     

"Silahkan duluan," ujarnya, sembari menggeleng.     

"Ayolah! Aku akan marah kalau kau seperti ini, bukankah kita sepakat bahwa kita sahabat," Aruna menggerutu dan hampir turun dari duduknya.     

Desakan yang membuatnya tak bisa mengelak, menjadikan gadis itu meraih dan mengisi piringnya. Anehnya, dia masih berdiri bukan duduk. Aruna mengamatinya dengan jeli. "Jangan bilang kau tak bisa duduk bersama dengan kami disini,"     

"Senior Susi bilang-,"     

"Kenapa kau selalu mengatakan senior Susi bilang ini itu? Ayolah, ini bukan jaman monarki," bukannya menuruti permintaan nonanya, Kihrani malah menundukkan kepalanya dan memilih mundur. Mata dua orang menatap cara ajudan perempuan itu berjalan mengitari meja pantry dan duduk di sofa ruang tengan, tak jauh dari keberadaan Aruna dan Thomas. Dia benar-benar menyendiri di sana dan makan sendirian di tempat itu.     

"Aku dulu melihatnya sangat berani saat melawan ajudan-ajudan suamiku demi menemuiku, demi mengungkap keberadaanmu yang terkurung di lantai paling dasar gedung ini," dia yang berkata lirih terlihat tersenyum getir. Mendengarkan kalimat nonanya, lelaki berambut platinum menoleh menatap keberadaan gadis yang memangku makanannya dengan hati-hati. Aruna memperhatikan cara Thomas mengamati ajudannya tersebut,      

"Lihatlah! Aturan keluarga suamiku menjadikan gadis seperti dia berubah total. Mungkin terlihat bagus, tapi jiwa kami yang asli terkurung. Dan, itulah yang paling ditakutkan perempuan hamil ini. Aku takut bayiku akan tumbuh menjadi—" tiba-tiba kata-katanya terhenti, "Ah' aku malah menceritakan keresahanku sendiri. Maaf,"     

Thomas kembali kepada teman makannya. "Sejujurnya saya tak begitu paham bagaimana keluarga Djoyodiningrat memperlakukan perempuan, tapi saya tak melihat tetua Wiryo atau tuan muda memiliki perangai buruk," tanggapan pria tersebut sejalan dengan caranya memandang keluarga yang menyelamatkannya, "Selalu ada alasan mengapa ada aturan diciptakan,"     

"Selalu ada alasan mengapa seorang perempuan ingin mempertahankan haknya," tukas Aruna. Sejalan dengan gerakan memasukan makanan ke dalam mulutnya.     

"Jika anda mengatakan 'hak', artinya anda tertindas? Ini bukan perkara mudah," manik hitam pria berambut platinum menatap netra coklat yang alisnya mengerut.     

"Kau sangat pandai bicara. Tapi maksudku bukan sejauh itu," Sang nona coba meluruskan maksud kalimatnya.     

"Jika anda masih bingung menemukan kosakata yang tepat atas apa yang anda lakukan, artinya anda tidak punya tujuan yang jelas." lugas kalimat Thomas. "Dan itu sama saja dengan 'apa yang anda lakukan, bukan bagian dari prinsip yang perlu diperjuangkan,"     

"Apa?" Aruna meletakkan sendoknya. Bahkan gadis yang duduk di sofa dan tak sengaja mendengar percakapan dua orang di meja pantry, tersentak sesaat. "Akan aku temukan kosakata yang tepat,"     

Dan kalimat tersebut mengundang senyum pria berambut platinum, "Jangan marah. Bahkan saya sedang mengalami hal yang sama. Kadang kala, situasi sangat membingungkan sampai kita memilih berjalan melintasi hari tanpa rencana apa pun. Mungkin ini efek, sebab saya dan anda pernah hampir kehilangan nyawa sebelumnya. Kita tak punya rencana di kesempatan hidup yang kedua, hanya mengikuti insting dan berjalan sesuai intuisi,"     

"Tidak tahu apa yang harus diperjuangkan, hanya ingin menjadi lebih baik sepanjang hari, dan berharap sesuatu yang buruk tidak akan menimpa kita lagi," Aruna membalas monolog Thomas dan pemuda itu mengangguk ringan.     

"Nona, Herry menghubungi saya," dia yang berbicara, melangkah menuju nonanya. Menghentikan percakapan dua orang yang sama-sama pernah mengalami tragedi mengenaskan. "Dia bilang, tuan ingin bicara dengan anda,"     

Selepas menerima handphone dari Kihrani, Aruna menyingkir. Menyisakan ajudan perempuan dan juga pria berambut platinum, yang mana keduanya hanya terbungkam seribu bahasa.     

"Biar aku rapikan, letakkan saja," suara ini menderu lirih. Tangannya menarik piring kosong dengan gerakan seminim mungkin.     

"Bagaimana kabar adik-adikmu? Bapak?" duduk lebih santai, Thomas mencoba bicara lebih tenang.     

"Baik." Dia menjawab tanpa menoleh, "Jauh lebih baik dari sebelumnya. Em' terimakasih untuk tabungan pendidikan kami, aku akan-,"     

"Kihran, tak perlu merapikan itu. Siapkan bekal untuk suamiku," Aruna datang memotong pembicaraan bersuara rendah, "Huhh," dia mendesah, "Suamiku dalam perjalanan ke kantor barunya. Aku bilang kau menunggu disini, tapi dia ingin kau menemuinya di sana. Mari kita berangkat kesana," meninggalkan komunikasinya dengan Thomas, dia memegang bahu Kihrani, "Biar aku yang melanjutkan ini, ambilkan outerku,"     

"Baiklah, nona," dan gadis ini berjalan memenuhi permintaan nonanya.     

"Warna, em' mungkin merah cocok dengan krem," usul perempuan hamil, tatkala ajudannya menapaki tangga.     

"Sejak kapan anda menyukai warna mencolok?" senyum Thomas mengiringi gerakan pria itu menuruni kursi. Berdiri menunggu gadis yang mengambil outer datang.     

Aruna belum sempat menjawab pertanyaan Thomas, ketika Kihrani datang. Pria dengan rambut platinum yang diikat itu memperhatikan ketenangan luar biasa seorang gadis yang turun dari tangga dan detik ini menelungkupkan outer panjang, sebuah cout perempuan sepanjang lutut pada nonanya. Dia merapikan baju nona muda tersebut dengan profesional dan meminta bekal yang dipegang Aruna supaya dia bawa. Walaupun pada akhirnya ditolak.     

Thomas hampir tidak mengerti, mengapa dia dan gadis itu bahkan terlihat saling menahan diri untuk tak bicara satu sama lain. Sepanjang cara keduannya—kecuali sang nona yang berdiri dua langkah kaki di depan mereka—menempel pada dinding lift, mereka hanya sesekali melirik satu sama lain melalui bayangan maya. Cermin pada sisi depan mereka membuat nafas masing-masing mendesah lirih dan berupaya di sembunyikan.     

"Aku jadi ingat kita naik turun lift ini berulang kali demi bisa mendengar informasi mu secara lengkap," dia yang sedang mengenang masa lalu, tersenyum. "Senang rasanya kita bersama dengan pria yang kita bicarakan waktu itu, sekarang, di lift yang sama," entah mengapa perempuan hamil ini berbicara demikian. Aruna lekas melangkah keluar selepas pintu lift terbuka.     

.     

.     

"Kau yakin akan menemuinya sendiri?" Rey menarik jas Gibran dari belakang.     

"Ya." putra Diningrat itu menuruni mobil dengan gegabah. Tadinya, dia hanya berniat melintasi tempat ini. Namun detik ini, pria dengan rambut sekelam malam tersebut malah minta berhenti di lobi hotel milik keluarga Djoyodiningrat.     

Rey buru-buru keluar membuntuti langkah Gibran. Berniat menghentikan keputusan gila CEO Tarantula. "Jangan gila! Gedung ini tunduk padanya. Selama bertahun-tahun, bahkan anggota dewan tidak ada yang berani menemui anggota keluarga Djoyodiningrat secara langsung,".     

Anehnya selepas menaiki tangga menuju pintu lobi hotel berbintang tersebut, Gibran berhenti. Bukan karena ucapan dari Rey, namun, manik hitam legam itu menangkap seseorang yang membuatnya tertegun.     

Putra Barga yang mendapati Gibran berhenti, merunut arah pandangan pria tersebut. Detik berikutnya, Rey bahkan lebih tertegun dari siapapun. "Dia hamil," gumam CEO Tarantula tersebut.     

Rey membeku. Tak ada kalimat balasan dari pemuda yang detik ini menatap langkah perempuan yang melintasi pintu kaca. Dua orang membuntuti langkahnya, kemudian salah satu dari mereka berjalan lebih cepat untuk membuka pintu mobil. Sedangkan satunya bergerak memutari kendaraan tersebut, mendekati kursi pengemudi.     

Pemuda yang berdiri tak jauh dari perempuan yang dibalut outer merah mendesah lirih, "Dia semakin cantik," mengarahkan handphone pada nona muda Djoyodiningrat yang menuruni tangga, lalu menyambut pintu penumpang yang terbuka.     

'Cekrek' Rey membidik gerakan perempuan tersebut. Putra Barga baru menghentikan tindakannya selepas mobil itu melaju.     

Gibran yang mengetahui tindakan tersebut, meringkus smartphone dari Rey. "Kenapa kau memotretnya,"     

"Berikan padaku!!" entah bagaimana, Rey melempar bara kemarahan. Merebut handphonenya yang berada di tangan Gibran. Berjalan cepat kembali menuju mobil, dia mengusir sopir dan asisten CEO Tarantula. Putra Barga melaju sendirian meninggalkan pria dengan rambut hitam legam di lobi Djoyo Rizt Hotel.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.