Ciuman Pertama Aruna

IV-112. Bagaimana Kabarmu?



IV-112. Bagaimana Kabarmu?

0"Kihran??" Aruna membalik badannya dan memahami kenapa Thomas menatap ajudannya. "Jangan mengambilnya seperti itu, gelasnya bisa jatuh di kepala mu," memutar ke beberapa arah mengharap menemukan kursi, perempuan hamil tersebut malah menemukan seseorang yang bisa membantu. "Apa kau akan diam saja?" nona muda itu mengamati pemuda di hadapannya, mengharapkan bantuan.     

"Oh' ya?," entah mengapa, Aruna mendapati suara gugup pemuda yang tak sekalipun melepas tatapan ke arah yang sama.     

Berjalan memutari meja panjang pantry, dia yang berambut platinum bergabung dengan dua perempuan dan mengambil celah di antara mereka demi mendakati laci, sesaat berikutnya terlihat ia menaikan tangan kanannya. Dengan sangat mudah lelaki yang memiliki tinggi badan 187 centimeter tersebut menurunkan gelas sebanyak tiga buah secara berturut-turut.     

Kihrani terlihat mundur beberapa langkah. Tersentak dengan teko air yang mendengung. Gadis itu mengambil kesibukan lain untuk menjaga konsentrasinya. Ia menyadari dirinya tidak boleh terbawa suasana, terlebih larut oleh kehadiran seseorang yang berhasil menciptakan debaran pada salah satu bagian organ tubuhnya.     

Pria berambut platinum kini mendorong lirih gelas bening ke dekat teko air, artinya ia mengurangi jarak antara dirinya dengan gadis yang berdiri tepat di depan benda yang berada di atas kompor tersebut.     

Mematikan kompor, Kihrani mengamati telapak tangan besar pria dengan gelang jam mewah mendorong gelas perlahan-lahan menuju dirinya.     

Dan, tatkala mata salah seorang dari mereka mencuri lihat yang lain, tanpa di duga hal yang sama juga dilakukan oleh yang lainnya. Thomas dan Kirani Sempat tersentak sesaat, canggung dan bingung berpadu jadi satu. Sayangnya, sang pria memutuskan menjauh.     

Thomas, entah bagaimana memutuskan membebaskan diri dari pantry. Ia berniat pergi. Pria itu berjalan begitu saja. Menjauh. Tanpa menatap yang lain dan tampaknya tak akan berpamitan.     

"Thomas, kau tak ingin tahu ke mana suamiku?" mengingat kembali tujuannya datang. Pria tersebut dengan terpaksa kembali memutar tubuhnya, menghadapi sang nona—perempuan yang bahkan berbicara padanya tanpa melihat keberadaannya—yang sedang sibuk memotong-motong sayuran.     

"Menurutku dia ada di lantai lima, kau mungkin bisa mencari Hendra di ruang kerjanya," masih memotong-motong sayuran, perempuan tersebut terlihat menikmati kegiatannya. Dan, baru bangkit dari konsentrasinya selepas ajudannya—si jago jago masak—menggeser lemon tea ke arahnya.     

"Itu mustahil, nona," Aruna menoleh ke sumber suara. Selepas itu dia menggerakkan kepalanya, mengirimkan sebuah kode terkait meminta lelaki dengan rambut platinum tersebut duduk. Sayangnya, pemuda itu tertangkap ragu.     

"Kenapa tebakanmu mustahil??" Aruna memberi umpan pertanyaan.     

"Kantor pusat DM grup sudah pindah ke gedung lain," kalimat tersebut mengundang kerutan dari perempuan hamil yang masih berdiri di depan meja pantry.     

"Gedung lain??" dia mengulang kalimat Thomas.     

Sebab terus dihujani pertanyaan, Thomas mau tidak mau kembali mendekati meja pantry dan duduk di sana. Menarik cangkir yang disajikan gadis berambut hitam panjang untuknya, lalu berujar kepada sang nona, "Bagaimana anda tidak tahu, padahal saya yang baru datang dari luar negeri," matanya tak lepas mengamati seseorang di dekat nonanya. Dia duduk dan menyesap tehnya. "Tuan memindahkan kantor utama ke tempat sebelumnya, sebelum tuan jadi CEO dan dia menjadikan lantai lima Djoyo Rizt hotel sebagai kantor pusat. Icon tower kedua Djoyo makmur group. Tepatnya di gedung yang sama dengan kantor pusat tiap anak perusahaan,"     

"Ah' aku ketinggalan banyak," menyerahkan sayuran yang selesai ia potong kepada Kihrani, Aruna mendekati bau wangi dari daging rebus yang sudah masuk ke dalam air mendidih bersama racikan bumbu yang dibuat ajudan perempuan.     

Kecepatan gadis berambut hitam panjang itu tak bisa diragukan lagi. Dalam menciptakan hidangan, dia bahkan tidak perlu berpikir ulang, apakah masakan buatannya sudah memenuhi takaran yang pas atau masih perlu di koreksi?.     

"Biar saya yang masukannya, nona. Cuci tangan anda," gadis itu merebut potongan sayur dan memastikan nonanya menjauh dari air mendidih.      

Kihrani jarang, bahkan hampir tidak pernah melihat Aruna di dapur rumah induk. Perempuan hamil ini adalah berlian yang terlindungi dan ajudan perempuan itu tak ingin membuat kesan sang berlian terlindungi bergeser menjadi batu pualam.     

"Lihatlah! Inilah alasan kenapa aku tidak mengetahui apa pun. Aku diperlakukan seperti boneka yang tidak diizinkan melakukan apa-apa kecuali duduk diam," kesal Aruna, dan pria berambut platinum yang jadi lawan bicaranya menyeringai.     

"Saya tidak bermaksud membuat anda menjadi-" dia belum selesai berkata tatkala Aruna menepuk bahu Kihrani sambil membisikkan sesuatu di telinga gadis tersebut.     

"Aku hanya bercanda," senyum itu menjadikan Kihrani lega dan kembali pada aktivitasnya. "Apakah aku bisa meminjam handphone salah satu dari kalian?" dua pasang anak mata menoleh ke arah yang sama.     

"Silakan," Thomas menyerahkan miliknya, dan Aruna membuat panggilan kepada Herry.     

"Benar katamu, mereka tidak bisa dihubungi," sang nona menggerutu, selepas beberapa kali gagal menghubungi ajudan yang setia bersama suaminya.     

'Dia masak daging,' ada yang menggumamkan sesuatu. Dia yang menurunkan pandangan pada gelas lemon tea, meraih minuman tersebut. Sesaat kemudian terlihat pria tersebut menyesapnya.      

"Tunggu saja suamiku di sini," menyodorkan telepon genggam pada pemiliknya, kali ini Aruna memilih meminta Kihrani mengirim pesan pada Herry. "Katakan aku butuh bicara dengan Hendra sebentar," dan ajudan tersebut mengangguk.     

Di sisi lain, Aruna mengambil alih. Perempuan ini mengeluarkan butiran-butiran putih dari penanak nasi. Dia menghidangkannya pada wadah dan terlihat meletakkannya di atas meja pantry.     

Sang nona menyusun piring dan gelas tepat di depan lelaki berambut platinum yang saat ini sibuk mengikat rambutnya. Mencoba merapikan diri sambil mengamati gerak-gerik gadis yang kehadirannya tampak asing di tempat ini.     

Dulu, Thomas sering melakukan hal yang sama. Menunggu sarapan pagi darinya sambil membantu adik terkecilnya mengenakan sepatu atau mengikat rambut gadis kecil bernama Lala.     

Setiap pagi suaranya menggelegar membangunkan semua penghuni rumah sederhana itu. Baju favoritnya adalah daster longgar sepanjang lutut penuh motif, dan kadang kala warnanya terlalu terang.     

Sekarang, dia sangat pendiam. Mereka belum saling menyapa. Seragamnya gelap, dari ujung rambut sampai sepatunya hitam pekat. Gadis itu nampak berbeda, padahal dulu hampir tiap hari memarahinya hanya karena tak bisa melipat baju atau mengupas bawang merah.     

"Mari, sarapan dulu," suara sang nona menggugah lamunan.     

"Saya sudah makan, nona," dia menolak, walaupun kenyataannya matanya mengamati sup daging di dalam mangkuk bening yang bergerak di bawa tangan gadis berseragam ajudan.     

"Kau tak akan kehilangan tubuh idealmu hanya dengan semangkuk nasi dan sup," cibir Aruna. "Tunggu sebentar," dia menggeser kursi dan duduk di tempat tersebut. Raut wajahnya tertangkap berpikir, kepalanya bergerak dari mengamati Thomas lalu menuju Kihrani, "Bukankah kalian sudah kenal?" dia memiringkan sedikit kepala, merenung, "Dulu kau tinggal di rumah Khirani, -bukan? Harusnya kalian akrab," dan keduanya menjadi canggung seketika.     

"Kalian canggung karena ada aku disini?" perempuan hamil yang detik ini sedang duduk di kursi, menekan dadanya dengan telapak tangan, "Bersikaplah sewajarnya, aku tahu keluarga suamiku punya banyak aturan tapi aku tidak begitu," dia mengangkat tangannya dan membuat gerakan pada kedua telapak tangannya. "Aku sama saja dengan kalian berdua, aku dari keluarga biasa dan aku malah tersinggung kalau kalian tertekan sebab keberadaanku. Ayolah, jangan begini," manik mata coklatnya menghangat, membuat luluh siapa pun yang kini memandangnya.     

Dan ajudan perempuan yang masih berdiri di sisi meja pantry memberanikan diri mengangkat wajahnya. Lebih naik dan mendapati lelaki berambut platinum juga menatapnya. "Bagaimana kabarmu?"      

"Oh' aku baik,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.