Ciuman Pertama Aruna

IV-111. Dunia Nyata



IV-111. Dunia Nyata

0"Nona," Perempuan dengan gaun warna krem berdiri di depan cermin. Dia berputar beberapa kali. Perutnya yang membesar memberi lekukan menggemaskan. Dia terlalu larut dalam dunianya seorang diri, hingga tak melihat kedatangan orang lain ke kamarnya. "Anda sangat cantik dengan gaun itu," ini adalah pujian dari seorang ajudan yang biasa menemaninya.     

Membuka pintu kamar hunian di lantai tertinggi hotel milik suami dari perempuan yang detik ini nampaknya sudah berganti pakaian lebih dari tiga kali, Kihrani mendekati ranjang yang dipenuhi baju-baju nonanya, tergeletak sembarangan.     

Perempuan hamil itu menoleh sesaat, sebelum kembali menatap cermin dan berujar, "Kenapa kau disini?" Ajudan tersebut belum sempat membalas—dia duduk di ranjang nonanya, lalu mulai merapikan baju-baju berserakan—dan mendapat pertanyaan lagi dari Aruna. "Kihran, bagaimana menurutmu?"     

Si empunya nama mendongak. Sembari melipat pakaian tergeletak di atas ranjang, dia membuat pengamatan menyeluruh. "Apa pun yang anda kenakan selalu cantik, nona," kalimat ini terucap dengan senyum tipis dari Kihrani. Namun, Aruna tak setuju dengan pendapatnya.     

"Kau mengatakan itu untuk menghiburku," duga Aruna, masih mengamati dirinya pada pantulan maya di hadapannya, "Aku, tubuhku, wajahku, semuanya lebam," dia menggerutu lirih.     

"Tapi anda tetap cantik, percaya pada saya," ajudan ini bangkit dari duduknya, melangkah lebih dekat dengan nonanya. Dalam ingatannya, perempuan yang di dalam bayangan maya tersebut tidak seperti ini. Pertama kali berjumpa dengannya, dia terlihat tak begitu peduli dengan penampilannya. Berbanding terbalik dengan saat ini.     

"Apa yang kau lihat?" pertanyaan Aruna selepas mengamati arah mata Kihrani.     

Ajudan dengan rambut hitam panjang itu hanya menggeleng. Sejalan kemudian, Aruna menyerahkan sisir pada Kihrani. Masih dengan berdiri, sang nona muda meminta bantuan untuk mengikat sebagian rambutnya dan membiarkan sebagian tergerai.     

Bagaimana bisa seseorang berangsur-angsur berubah? Dia tidak lagi berkuncir kuda, namun memilih lebih feminim dengan memperhatikan detail penampilannya dan memasang bros angsa di bagian dada sisi kiri.     

Bros angsa yang begitu cantik berwarna perak di atas dress warna krem.     

"Kau belum menjawab pertanyaanku" Aruna mengulang kalimatnya. Tampaknya, perempuan hamil itu memang penuh rasa penasaran, "Kenapa kau berada disini? Siapa yang memberitahumu kalau aku berada di tempat ini?"     

Sembari menyisir rambut lembut dengan warna lebih coklat dibandingkan miliknya—yang hitam pekat—Kihrani mengintip manik mata nonanya, dari balik bayangan maya pada cermin. "Saya diberi tahu Herry, bahwa tuan menginginkan saya berada di dekat nona,"     

"Benarkah?" kalimat ini terujar spontan, suaranya terdengar begitu antusias. Melihat ekspresi bingung Kihrani, Aruna bergumam, "Ternyata dia mengkhawatirkanku," lalu senyumnya mengembang. "Baiklah. Ayo, kita keluar," ajak perempuan hamil yang suasana hatinya sudah berubah total.     

.     

.     

"Em' Kihran," tiba-tiba perempuan itu menghentikan jalannya. Menoleh pada gadis berambut hitam panjang, mata Aruna berpindah—dari menatap gadis tersebut—ke arah pantry, "Bagaimana kalau kita masak saja?"     

Kihrani mengangguk ringan. "Terserah anda, nona,"     

"Kabarnya kau punya kemampuan masak yang bagus?" senyum tipis terbit dari ajudan tersebut, dia tersipu dengan pujian nonanya. "Vian membisikan rahasianya padaku," Aruna mendekat memberi udara hangat di seputar telinga Kihrani.     

Kali ini, gadis yang memiliki rambut hitam panjang itu diam-diam menyembunyikan ekspresi jengkelnya. Dia jengkel, sebab menyadari Vian yang memberi tahu nona muda tersebut tentang kemampuannya. Entah mengapa Kihrani tak suka mendengar itu.     

Lelaki dengan mata sendu itu begitu vulgar dalam menunjukkan perasaannya, dan Kihrani merasa dirinya terancam dengan cara Vian yang blak-blakan. Gadis itu tak mau membuat masalah atau menjadi bahan gosip.     

Mendahului langkah nonanya, ajudan perempuan tersebut mengeluarkan peralatan masak dengan gesit tanpa menjawab pertanyaan Aruna.     

'Apa dia sedang kesal?' Aruna menduga, ajudan satu ini mudah sekali di tebak suasana hatinya. 'Tapi karena apa?'     

"Em' Kihran, bagaimana kabar Vian? Kalau kau disini, berarti dia tidak ada yang merawat?" mendengar pertanyaan dari nonanya, gadis ini berharap dia bisa membalas dengan lugas. Kenyataannya, wajah hangat itu menjadikannya tak sanggup menyampaikan kekesalan di hatinya.     

Mengeluarkan bahan makanan dari kulkas, Kihrani terhibur dengan sayuran dan daging segar dengan kualitas premium. Mengambil nafas sebanyak-banyaknya, dia membalik tubuhnya. Memberi jawaban sedatar mungkin, "Vian tinggal di cluster mewah dengan pelayanan 24 jam dan memiliki seorang suster yang ahli dalam merawat pasien,"     

Aruna sempat tersentak dengan jawaban Kihrani, "Aku pikir kau menyukainya?"     

"Maksud nona??" perempuan yang menjadi lawan bicara Kihrani, meliriknya dengan main mata.     

Aruna mendekat dan membenturkan sedikit bahunya pada bahu ajudan tersebut. "Aku pikir lelaki yang membuatmu patah hati adalah Vian. Maka dari itu, waktu dia menginginkanmu, aku mengirimmu tanpa bertanya lagi," (Chapter II, Season IV)     

Kihrani mengerut. Dia memilih diam dan fokus pada air yang sudah ia didihkan, lalu mulai mencuci sayuran.     

"Jadi bukan dia?" Aruna mengikuti kesibukan ajudannya, dia terlihat mencari pisau dan mulai memikirkan apa yang bisa dia kupas.     

"Mana mungkin saya berani menyukai seseorang sekelas senior Vian," gadis itu melihat nonanya meraih daging dan memotongnya sembarangan, "Nona, biar saya saja," menyingkirkan tangan Aruna, Kihrani mendorong sayuran untuk dipotong perempuan hamil di sebelahnya, "Anda harus memperhatikan arah seratnya," dia memberi alasan, sang nona menatapnya dengan terbengong sembari mengangguk-angguk.     

"Sepertinya kau sangat ahli," dia bergumam dan pasrah dengan saran Kihrani untuk menangani wortel serta bunga kol.     

Namun, nona muda tersebut kembali mendapatkan saran, "Anda harus melepas ruasnya dan menumpuknya menjadi satu, lalu potonglah seperti ini," Kihrani sedang memberi contoh pada Aruna, ketika bel pintu berbunyi.     

Berjalan meninggalkan ajudan tersebut, Aruna meraih telepon yang tersaji dan berujar, "Izinkan dia masuk," Kihrani mengerut sesaat mendengar kalimat nonanya. "Bagaimana tadi? Tolong, ulangi," pinta perempuan hamil, selepas sampai pada meja pantry.     

"Sebenarnya di potong langsung seperti cara anda tak masalah, namun beberapa akan menggumpal dan teksturnya kurang menarik," dia berbicara sembari mengayunkan pisau tajam di atas talenan dengan ahli.     

"Begitu ya?" keduanya terlalu larut, hingga mengabaikan suara langkah kaki yang menandakan kedatangan seseorang sampai tamu itu menyapa.     

"Maaf, boleh saya tahu apakah tuan ada? Kami membuat janji dan tidak bisa dihubungi, jadi sa—" tertegun sesaat, selepas dua perempuan menaikkan wajahnya dari kesibukannya memotong sayuran. "—ya" dia yang bicara membuang nafas, "Em' saya datang untuk memastikan,"     

'Thomas?' Gadis yang detik ini memegang pisau dan seharusnya memotong bunga kol menjadi beberapa bagian, terlihat membeku sesaat. Tak hanya benda tajam di tangannya, segala hal di seputarnya seolah berhenti beberapa saat—sampai seseorang di sampingnya memberi perintah.     

"Buatkan tamu kita minum," mengerjap meraih kesadaran, Kihrani lekas kembali pada dunianya. Dunia nyata. Mengangguk sejenak dan selebihnya dia mengikuti perintah nonanya tanpa berkata.     

"Suamiku sudah berangkat sejak pagi," dan seseorang yang diajak bicara oleh perempuan hamil ini masih terdiam, alih-alih menanggapi kalimat nonanya. "Thomas?" Aruna memiringkan kepalanya, mencuri konsentrasi pemuda yang menatap lurus. Atau lebih tepatnya memperhatikan seseorang yang sedang sibuk meraih gelas laci yang terlalu tinggi.     

"Kihran??"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.