Ciuman Pertama Aruna

IV-110. Seorang Suami Dan Calon Ayah



IV-110. Seorang Suami Dan Calon Ayah

0"Kau mau kemana?" tanya Aruna, ketika dia melihat suaminya sudah rapi seperti biasa.     

Mahendra sekedar menoleh mengamatinya. Sejalan kemudian, pria tersebut mendekat memeriksa ruam di dada Aruna, dan menjadi lega selepas memastikannya menghilang. "Aku harus bekerja," kalimat ini terucap dingin, dia mengabaikan tatapan istrinya dengan memalingkan wajahnya.     

Hal tersebut mendorong perempuan hamil segera menuruni ranjang. Kaki telanjang di suguhkan Aruna, tatkala berjalan perlahan-lahan dan berakhir menggapai punggung Mahendra. Dia memberi pelukan pada suaminya.     

"Maafkan aku," perempuan itu memberi rasa hangat pada punggung lelaki yang membeku mengamati telapak tangannya—Aruna meletakkan kedua telapak tangannya di perut Mahendra.     

Sedikit kecewa, sebab perempuan tersebut tak melihat suaminya bergerak membalik tubuhnya—yang kemudian memeluk dirinya. "Maafkan aku, jika aku lancang dan membuatmu marah,"     

Mahendra mengangkat tangan kanannya, dan pria tersebut meletakkannya di atas punggung tangan Aruna yang melekat di perutnya. Membuat perempuan hamil tersebut melekatkan pelukannya.     

Sejujurnya, lelaki bermata biru itu tengah dilanda kebingungan luar biasa. Dia pikir perempuan yang mendekapnya tersebut akan marah padanya atau memandangnya dengan tatapan resah, sebab kengerian yang ia tunjukan. Mahendra tidak tahu bahwa Aruna berharap banyak dia bisa diberikan kesempatan berbicara.     

Semenjak bisnis suaminya kacau dan berbagai kejadian hadir mengejutkannya, Aruna tak mendapatkan waktu yang banyak dari Mahendra untuk sekedar duduk bersama.     

"Aku ingin menjelaskan alasanku," gumam Aruna.     

"Aku harus berangkat secepatnya, maaf," balas lelaki yang masih mendapatkan dekapan.     

"Tidak lebih dari 15 menit," mendengar kalimat ini, Mahendra berbalik dan mendapati netra coklat di hadapannya meredup, menodongnya penuh harap.     

"Seseorang akan datang untuk menemanimu, dan nanti malam aku akan pulang lebih cepat untukmu. Saat itu, aku akan siap mendengarkan apapun yang kau ingin katakan," Aruna mengangguk menuruti lawan bicaranya.     

Memberi kecupan ringan pada pelipis, Mahendra berjalan cepat menuju pintu selepas meraih jasnya dan sebuah tab yang sering menemaninya kerja.     

Sempat melambat sebelum meraih gagang pintu, lelaki dengan iris biru cemerlang itu membalik tubuhnya menatap lekat perempuan hamil dengan mata bulat lebarnya yang balas menatapnya.     

Piyama putih polos dan sebuah kaki telanjang memberi gambaran kepolosan yang berusaha Mahendra simpan untuk energinya hari ini.     

.     

.     

"Dia begitu lagi,"     

"Jadi kau membangunkan tidur perempuan tua sepagi ini, hanya untuk mengatakan ini?" perempuan berambut sebahu menyesap susu hangat, membuat ujung bibirnya menjadi putih sesaat.     

"Pagi??"     

"Mengetuk pintu rumah orang jam enam pagi. Beritahu aku? dari sudut mana itu bisa dianggap wajar," menjadi sedikit kesal. Dokter itu mengetukkan jemarinya di atas gelas lain, di dekat tamu istimewa yang selalu menyuguhkan keunikan.     

"Aku tidak tahu kemana dan harus menemui siapa,"     

"Dan kau memanfaatkan logikamu?" Mahendra tidak mengerti maksud kalimat psikiatri tua yang makin lama semakin sering mengomel dari pada memberinya solusi, dia mengerutkan alisnya. Diana yang melihat hal tersebut, memberi senyum ringan untuknya, "Ya, kau menggunakan otakmu, bahwa berkonsultasi yang paling tepat tentang apa pun adalah dengan mendatangi seorang psikiater sepertiku,"     

"Jadi, aku sudah benar, kan? Datang kemari dan memilih mendengarkan masukan mu," tukas mahendra.     

"Masalahnya, kau meminta saran pada perempuan tua yang hidup menyendiri lebih dari dua dasawarsa," sesaat keduanya saling memandang.     

"Ah!" Mahendra spontan memijat pelipisnya. Benar juga kata Diana, apa yang bisa dia dapatkan dari perempuan yang bahkan memilih hidup menyendiri dan menikmatinya. "Aku sudah membuang waktuku dengan datang kemari, beri aku satu nasehat sesuai profesimu. Lalu, aku akan pergi,".     

Senyum kecil tersaji dari wajah perempuan yang kini saling mengaitkan jari-jarinya di atas meja, "Jika bukan bocah kecilku, aku tak akan mengaku bahwa datang kepadaku bukan tempat yang tepat, kau harus—"     

"Tunggu-tunggu! Ralat kata 'bocah kecilku', aku merinding mendengarnya" keluh Mahendra. "Aku tiga puluh tahun, dan aku akan jadi ayah!"     

Mendengar kejengkelan Mahendra, senyum Diana berubah menjadi sebuah tawa kecil dari bibirnya. Dokter itu sedang menulis di secarik kertas ketika dia berujar. "Bagiku kau masih anak-anak,"     

Mahendra menatap jengkel Diana, "Aku akan pergi dan membuang resepmu, kalau kau mengatakan itu sekali lagi,"     

Diana tidak mengatakan apa-apa, hanya sebuah kertas yang beliau tulis dalam waktu lebih lama dari biasanya dan diselipkan pada jas pasien spesialnya sebelum mengusir tuan muda yang mengganggu paginya.     

Melintasi jalanan dengan duduk di kursi penumpang yang dikemudikan Herry, lelaki bermata biru mengeluarkan pesan tertulis Diana.     

~Aku tidak memiliki kepercayaan diri, tak ada pengalaman berharga tentang mengelola rumah tangga. Jadi, aku akan menggunakan analisis sesuai disiplin ilmu ku~ Tulis Diana. Psikiater yang jujur, dan tentu saja hal itu yang di sukai Mahendra darinya. Bersungguh-sungguh membantu dan menyatakan menyerah jika tak sanggup menghadapinya, tanpa peduli status yang disandang pasiennya.     

~Seperti ketidakmampuan anda menghadapi cinta pertama, atau perempuan pertama yang menyentuh hati anda. Analisis ku tak akan jauh berbeda dengan yang aku temukan pada anda dulu.     

Bukan karena anda tidak bisa menanganinya, anda hanya bingung bagaimana menjadi seorang suami dan calon ayah yang benar. Tidak tumbuh dari keluarga lengkap, tidak memiliki gambaran apapun tentang sosok ayah dan kakek anda yang keras mengatur keluarga. Anda menirunya. Hanya dia yang menjadi benchmark kehidupan berkeluarga anda. Masalahnya, bahkan tetua Wiryo gagal dengan keluarganya.     

Jadi, aku sarankan temukan benchmark yang tepat sebelum tersesat. Mungkin kita sudah ahli dalam urusan lain, tapi tak semua orang mau mengakui bahwa dia bahkan tidak ahli di beberapa hal sederhana. Bukan karena dia tidak mampu menggunakan akalnya. Hanya saja, di dunia ini, tidak semua orang memiliki keberuntungan mendapatkan pembelajaran alami terhadap hal-hal mendasar.     

Seperti diriku yang tak akan mampu memberi anda saran tentang berumah tangga, anda pun tak tahu cara bersikap terhadap istri anda. Sebab, bahkan anda tak memiliki sosok pria lain, semacam pendamping ibu anda yang bisa anda amati perilakunya dan anda koreksi sebagai bekal di masa ini.~     

Mahendra melipat catatan dokter Diana.     

Herry yang mengintip perilaku tuannya dari spion mobil, mendapati lelaki bermata biru menyelipkan secarik kertas ke dalam jasnya, "Kita kemana, tuan?" dan pria di kursi penumpang melirik jam di tangannya.     

"Sebelum mempertemukan Thomas dengan Surya, aku minta kau kirim asisten yang paling dekat dengan istriku supaya dia tidak kesepian," pesannya pada ajudan tersebut.     

"Baik," Herry mengangguk. Keadaan hening sejenak, hingga akhirnya ajudan tersebut mencoba mengutarakan pendapatnya, "Mengapa anda tidak membawa nona pulang kerumah induk?," Mahendra terlihat menanggalkan kesibukannya pada laporan-laporan pada layar notebook, lalu mengamati pemuda yang balik mengamatinya dari kaca spion.     

"Belajarlah banyak dari Andos, bagaimana dia bisa memahami kakekku—bahkan kandang melebihi pemahamanku," kebingungan Herry kala menerima perintahnya semalam, menjadikan pria tersebut tak lagi memiliki keyakinan penuh terhadap ajudan yang paling erat dengannya.     

"Iya, tuan. Saya hanya meneruskan rasa khawatir oma Sukma dan mommy anda," konfirmasi Herry, "Kabarnya, beliau berdua akan mengunjungi villa anda di dekat pantai kalau mereka tidak juga menerima kabar terbaru nona,"     

"Selama Syakilla masih di rumah induk, aku tidak akan membawanya kembali ke rumah itu," jawaban Mahendra menghadirkan hening yang meraja.     

***     

"Kau yakin akan menemuinya sendiri?"     

"Ya."     

"Jangan gila! Gedung ini tunduk padanya. Selama bertahun-tahun, bahkan anggota dewan tidak ada yang berani menemui anggota keluarga Djoyodiningrat secara langsung,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.