Ciuman Pertama Aruna

IV-109. Nona, Tolong Saya



IV-109. Nona, Tolong Saya

0Herry diam membeku. Mahendra yang awalnya berniat menonton, kini menciptakan tiga buah garis di tengah kedua alisnya. "Kau tidak tahu, apa yang harus kau lakukan Herry?" dia bertanya dan menjadikan pemuda dengan kulit sawo matang itu menoleh pada tuannya.     

"Saya minta maaf, saya," Herry yang tengah bingung, menangkap gerakan gesit tuannya mendekatinya. Dan, hal itu membuat Andos—yang duduk—spontan bergerak menghentikan tuan muda tersebut.     

Lelaki dengan jenggot tipis itu berakhir terpelanting ketika berusaha menghentikan Mahendra.     

Tak berhasil menghentikan tuan muda tersebut, Andos akhirnya melihat bagaimana Herry menerima pukulan tuannya. Dan sekian detik kemudian, kerah baju Alvin sudah di tangan Mahendra.     

Tangan yang awalnya mencengkeram baju, sekejap berikutnya naik keatas sejalan dengan caranya menoleh pada yang lain. Dan berkata, "Kalian harus melumpuhkan siapa-siapa yang memilih mengabaikan tujuan utama kita dan suka bermain-main," dia mencekik Alvin, wajah ajudan itu memerah, tapi tak berani mengeluh. Pemuda itu berusaha memegang erat lengan kokoh tuannya berusaha sekuat mungkin melepaskan diri.     

"Tuan, hentikan. Atau saya akan memberitahu kakek anda," Andos berusaha menemukan keseimbangan.     

"Bukankah seperti ini cara kakekku mendidik angkatanmu," kata-kata Mahendra memang benar, akan tetapi Alvin kini mulai terbatuk.     

"HENTIKAN!!" Pintu terbuka. Penghuni ruangan tidak yakin siapa yang mereka lihat.     

Mendengar suara yang tidak asing di telinga, Mahendra menoleh dan sejalan kemudian tangan di leher Alvin terlepas. Herry segera mungkin mendekati pemuda tersebut, sedangkan Andos meraup tubuh tak berdaya Jav.     

"Keluar kalian semua!" perintah Mahendra, selepas matanya bertautan dengan mata coklat yang melebar menangkap keberadaanya.     

Dua manik mata masih menatap lekat dan masing-masing berdiri kaku di tempatnya, hingga seluruh ruangan kosong menyisakan mereka berdua.     

.     

.     

Beberapa menit lalu—ketika Aruna telah tertidur, dia mendengarkan ketukan pintu berulang, menuntut dirinya lekas bangkit dari ranjang. Saat dia buka, Dhea telah berdiri di ambang pintu dengan raut wajah penuh kekhawatiran.     

"Aruna, nomor yang kau hubungi tadi, memberiku pesan aneh," membacanya sekilas apa yang tersaji di layar smartphone Dhea, Aruna memaksa penjaga villa mengeluarkan mobil Surya dan memintanya membelah dinginnya malam.     

[Nona, tolong saya,]     

[Saya takut nona,]     

[Nona, saya tidak tahu kepada siapa saya harus memohon. Tolonglah saya, nona] pesan Jav menjadikan Aruna melawan batas dirinya, dan mendorong penjaga villa untuk bergerak lebih cepat. Di akhir pesan itu, pemuda tersebut hanya membagikan lokasi. Dan, perempuan hamil dengan mata coklat hangat bak gula meleleh di wajan itu tahu dimana tempat tersebut.     

…     

Untuk saat ini, yang Aruna tidak mengerti adalah keberaniannya berdiri menatap Mahendra tanpa gentar sedikit pun.     

Dua pasang mata dengan warna iris berbeda itu masih saling menatap tanpa ada yang mengalah, bahkan ketika Mahendra mengurangi jarak di antara mereka dan memilih untuk mengusapkan ibu jarinya pada pipi istrinya. "Bagaimana caramu sampai di sini?,"     

"Kenapa kau tak bertanya padaku?" Aruna menjawab pertanyaan Mahendra, dengan kalimat tanya. "Atau minimal memintaku membuat alasan, mengapa aku mempengaruhi orang-orangmu?" mendengar kalimat-kalimat istrinya, lelaki bermata biru mengalihkan pandangan. Kemudian pria itu membalik tubuhnya.     

"Aku menunggumu di kamar," hanya itu yang didengar Aruna dari Mahendra, sebelum pria tersebut meninggalkannya. Menaiki tangga dan menghilang di balik pintu kamar. Menyisakan perempuan hamil yang merasa tubuhnya terhantam rasa lelah luar biasa, selepas berupaya sekuat tenaga melihat sesuatu yang mengerikan di hadapannya.     

Aruna duduk di sofa. Manik mata coklatnya mengamati ruangan di seputarnya. Pecahan benda-benda berhamburan di lantai, membuat perempuan hamil ini sesak sendiri.     

Berhasil sejenak memulihkan tenaganya, Aruna mencoba mencari air putih. Dia menuju ke pantry, membuka kulkas dan berharap menemukan apa pun yang mampu membasahi tenggorokannya yang kering.     

Sayangnya, kulkas tersebut tidak berisi. Bahkan sebotol air putih pun tak ada. Tempat ini jarang dihuni kecuali atas konfirmasi khusus.     

Aruna mulai memikirkan, mungkin dia perlu menyalakan kran, lalu mendidihkan air. Perempuan ini cenderung konvensional dan dia menjalankan kehendaknya tanpa ingat bahwa dirinya hanya perlu membuat panggilan di telepon.     

Sayangnya, dia tidak berniat memilih cara itu. Dia perlu mencari sambungan lain. Sebab, di ruangan yang sama, alat komunikasi yang terhubung dengan pelayanan Djoyo Rizt hotel sudah pecah berserakan.     

Di ruangan lain. Pria yang menunggu istrinya, tak kunjung menemukan perempuan bermata coklat yang memberinya tatapan kecewa bercampur keberanian datang menemuinya.     

Mahendra menjadi penasaran, apa yang dilakukan istrinya. Dan, yang paling ditakutkan adalah kemungkinan bahwa perempuan tersebut meninggalkan hunian di lantai tertinggi Djoyo Rizt hotel.     

Dengan berbagai macam pikiran tersebut, Mahendra keluar kamar dan mengamati dengan seksama apa yang sedang dilakukan Aruna.     

Berdiri di sudut tak terlihat pada tangga yang menjulur ke lantai dasar, lelaki bermata biru memilih untuk kembali ke kamar dan membuat panggilan pada pelayan hotel.     

Mahendra tidak keluar kamar, sampai dia mendengar suara langkah kaki kedatangan para pelayan yang menyusup pada pintu kamarnya—yang sengaja ia buka.     

Kembali berdiri meninggalkan ranjang tempatnya duduk, pria yang kini mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung—sekali lagi mengamati apa yang sedang dilakukan istrinya. Aruna sudah mendapatkan air yang dia inginkan. Perempuan tersebut terlihat duduk di sofa ruang tengah sambil menenggak minumnya, dan mengamati para pekerja membereskan serpihan-serpihan kekacauan.     

Mahendra masih berharap banyak perempuan itu datang kepadanya. Dia cukup baik dengan ketidakmampuannya marah pada istrinya. Perutnya yang membesar, bahkan masih dibalut piyama yang sama seperti beberapa jam lalu ketika ia meninggalkannya di villa tepian pantai.     

Bedanya, warna merah—tanda Aruna mengalami gatal akibat alergi ikan—dia tutupi dengan sweater rajut buatannya. Sweater warna abu-abu diatas dress piyama putih memanjang hingga lututnya.     

Saat ini, nampaknya perempuan itu merasakan lelah. Aruna menaikan kakinya di sofa dan meletakkan kepalanya pada sandaran yang empuk. Dan tanpa sadar, dia menutup matanya, lalu perlahan-lahan tubuhnya bergeser.     

Lelaki bermata biru yang masih setia mengamati istrinya, berlari gesit menuruni tangga—yang pada akhirnya berjalan lebih lambat demi menjaga rasa lelap Aruna. Dia berhasil meraih tubuh perempuan hamil itu, lalu mendekapnya.     

Mahendra menggendong satu tubuh dengan dua nyawa dalam dekapan. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi besok pagi. Sesungguhnya, hari memang sudah berganti.     

Meletakkan tubuh itu di atas ranjang, Mahendra mendapati Aruna menggaruk warna merah yang lebih pudar dari semalam di seputar dadanya. Tangannya menjauhkan tangan mungil tersebut dan berusaha perlahan-lahan melepas sweater yang membungkus tubuh ibu hamil. Berharap perempuan tersebut merasa nyaman.     

Mengamati wajah lelap yang nampak polos, Mahendra menggumam lirih, 'Bagaimana aku bisa murka padamu? Sebesar apa pun kemarahanku, kau tetap hartaku yang paling berharga, Aruna,'. Iris biru itu tertutup kelopak sejenak, sebelum kembali bergumam. 'Para ajudan itu cukup tahu, mendukungmu akan menjadikannya menyesal dan malu. Mari kita lihat. Apakah aku pada akhirnya mengendalikanmu atau tidak,'     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.