Ciuman Pertama Aruna

IV-108. Kenangan Pahit



IV-108. Kenangan Pahit

0Mobil oren melaju melintasi jalanan kota metropolitan, melesat kian ke utara menuju pinggiran kota dan kini ia telah melintasi jembatan yang memberinya kenangan pahit. Jembatan tersebut membuat deru mesin hasil diinjaknya pedal gas kuat-kuat, perlahan melemah bahkan semakin kehilangan kecepatan.     

Mobil klasik yang dikemudikan pria berambut platinum berhenti di tepi jalan. Dia yang duduk di kursi pengemudi terdiam cukup lama. Tidak ada yang tahu apa yang ada di pikirannya. Hingga akhirnya memilih menuruni si oren tersebut lalu berjalan lambat menuju jembatan yang tertinggal di belakang.     

Thomas berjalan perlahan menyusuri trotoar sepi, ia berakhir di atas sungai besar, yang membelah tepian kota metropolitan menjadi dua bagian.     

Berhenti di tempat yang dulu pernah dia singgahi dengan rasa takut bercampur marah mendidih di dadanya, pria dengan rambut platinum itu berdiri di tempat yang sama. Tempat dia dilempar bersama kursi roda yang menyangga tubuhnya. Thomas masih bernafas dan dia baik-baik saja ketika dua pria itu menyeretnya, kemudian memasukan ke dalam arus deras di bawah sana.     

'Kau mungkin berada di dalam gua, tapi bukan berarti tidak ada yang akan menyelamatkanmu,' kemudian suaranya di masa lalu–mengudara menyapa benaknya.     

.     

'Tolong bantu aku. Aku akan membalas budi, tapi jangan bawa aku pada pihak berwajib. Kasihanilah, aku,' mata lelaki itu kini menuju ujung sungai yang menggelap, kemudian sebuah roll film di masa lalu diputar ulang. Dia berbisik dan merintih pada pria setengah baya dengan gagang pancing dalam genggaman.     

Semua orang ribut melihatnya tapi tak ada satupun yang mendekat, sampai pembawa gagang pancing dengan pakaian sederhana itu perlahan mendekatinya dan menyibak rambutnya, kala satu-persatu orang mulai bosan sebab petugas tak kunjung datang.     

.     

Mata yang menatap jauh, namun tak berada pada waktu dan tempat yang sama, kini menuju air yang mengalir deras tepat di bawah tempatnya berdiri. "Apa yang kau harapkan pada kehidupan kedua?"     

'Berbuat baik tanpa hasrat, tanpa harap, dan tidak menetap,'     

***     

"Bawa padaku, siapa yang menemui istriku di pagi buta dan membantunya melanggar aturanku," siluet hitam berjalan menuruni tangga. Kumpulan ajudan berdiri menatapnya. Tangannya memegang sesuatu. Kain panjang serupa dasi di gulung berulang membalut tangan kanan.     

Dia sudah mencapai dasar tangga, namun tak ada gerakan dalam gelap yang menyambut permintaannya. Pria itu menyusuri sofa coklat kulit italy yang tersaji di tengah ruangan. Duduk di sana, tangannya mengetuk—menghitung tanpa kata, tanpa suara, dia masih membuat ketukan pada paha dengan ujung-ujung jemari tangannya.     

Andos, sebagai seseorang yang paling dituakan mendekati cucu tuannya. Asisten tetua Wiryo mengurangi jarak di antara dirinya dengan sang tuan muda. Pria bermata biru tersebut menyala dan berkilat sesaat. Padanganya terlihat malas kala pada akhirnya dia menyadari siapa yang mendekatinya.     

"Saya sudah menghukumnya," Andos mengatakan dengan suara lirih. "Saya berharap, anda tidak melakukan sesuatu yang membuat diri anda mengeluarkan keringat,"     

Senyum Mahendra menyajikan gigi putihnya, dehem ringan terhembus dari bibirnya, "Bawa dia padaku. Aku ingin melihat siapa yang berani bermain di belakangku,".     

Harap-harap cemas, Andos memikirkan langkah terbaik yang akan dia ambil, hingga membuat kesabaran tuan muda tersebut mulai menipis. "Kau tidak mau?" kembali Mahendra bersuara, sembari menaikan pandangannya kepada pria yang berdiri tak jauh darinya.     

"Saya hanya tak ingin anda—" kalimat ini belum usai ketika dia mendapat tatapan yang membuatnya tak jenak. Lelaki bermata biru menciptakan kepalan di tangannya, hingga pria dengan bulu tipis memenuhi dagu tersebut berubah dalam sekejap, "Jav, kemarilah," Andos mengurungkan niatnya selepas melihat gerakan tidak menyenangkan tuan muda Djoyodiningrat.     

Dengan menunduk, Jav berjalan gontai mendekati seseorang yang menciptakan sumber cahaya rendah. "Saya bersalah, tuan," matanya melirik Andos sejenak. Pemuda tersebut bersama empat yang lainnya adalah ajudan paling diandalkan Mahendra.     

Lima pemuda dalam aliansi khusus di bawahnya langsung, kini terlihat sangat lemah dan tak berdaya. Tak lagi memancarkan kecerdasan atau keberanian yang di banggakan Mahendra. "Tolong, Maa—"     

"Bugh!!" tangan kiri dengan gerakannya yang gesit dan kuat menimbulkan hantaman yang tak di imbangi kesiapan sang penerima. Jav tersungkur ke lantai. Dia merasakan sudut bibirnya berdarah, bahkan telah membasahi lidahnya.     

"Kau tahu bagaimana aku bekerja keras mengatur segalanya untuk membalas bekas-bekas luka yang tertinggal di tubuh orang-orang kita, senior-senior kalian, saudara kita semua? Sampai kehilangan jarinya!" Mahendra menendang ringan tubuh pemuda yang tak memiliki keinginan bangkit dari lantai. Manik mata biru itu mengharap bisa menangkap ekspresi ajudan yang kini meringkuk menutup diri.     

Jav sudah di hajar Andos, dia beraktivitas sejak pagi. Mencari bantuan dan membuat pengakuan yang berat selepas menyadari Juan melarikan diri. Dia bahkan baku hantam dengan pemuda yang membawa lari 'tahanan' tuannya, sebelum pria dengan rambut halus di dagu tersebut menghajarnya.     

"Sedangkan disini, aku melihat orang yang tidak menggunakan akalnya!" Mahendra menekuk kakinya, mendekati tubuh Jav yang menolehkan wajahnya—menghindari tuan muda, kala dia berusaha bangkit dari jatuhnya.     

Jav yang berpaling, membuat Mahendra—yang detik ini berjongkok—meraup kerah bajunya. Pemuda yang kini berada di tangan tuannya terlihat pasrah tanpa perlawanan. Dia limbung oleh pukulan terakhir yang dia dapatkan dari tuan muda Djoyodiningrat.     

Mendapati kepasrahan yang ditawarkan Jav, Mahendra menjadi kesal. "Kau tidak menyenangkan sama sekali," tukasnya, lalu membuang tubuh pemuda tersebut dengan sekali dorong. Dan untuk kedua kalinya, ajudan itu tersungkur menabrak sesuatu. Bunyi dentingan beberapa benda jatuh di lantai terdengar, denting tersebut mampu menggetarkan tiap dada yang berada di ruangan temaram tersebut.     

Mahendra meraih remot ruangan VVIP lantai tertinggi Djoyo Rizt hotel, menyalakan beberapa lampu sehingga suasana lebih terang.     

Mereka yang awalnya menerka situasi, kini bisa melihat Jav yang jatuh tak berdaya bersama beberapa pecahan benda di seputar tubuh pemuda yang berjuang untuk bangkit.     

"Apakah ada yang ingin menolong Jav?" Mahendra menawarkan.     

Dan, spontan Alvin bergerak maju. Herry mengerut melihat tindakan teman sekaligus rekan kerjanya yang begitu polos. Tak ketinggalan Wisnu—yang detik ini mengamati cara pemuda dengan kulit sawo matang itu membuat tatapan antisipasi -Herry-, spontan menghentikan niatnya melangkah seperti Alvin.     

"Ada yang lain?" Mahendra menawarkan lagi.     

Herry berusaha mengirimkan sinyal kepada yang lain, dan nampaknya hal itu berhasil. Kini, yang tersaji adalah pasang mata yang menatap was-was langkah Alvin menuju keberadaan Jav.     

Mahendra memundurkan tubuhnya beberapa langkah kebelakang, memberi ruang untuk Alvin berjalan. Mengamati gerakan pemuda tersebut menepuk ringan bahu Jav dan mengatakan kalimat lirih 'Kau tak apa?''.     

Tuan muda tersebut terlihat memutari dua pemuda itu. Matanya menatap tajam dan perlahan menyipit, dia tersenyum saat Alvin berhasil membuat tubuh Jav bangkit dari lantai dan membopongnya untuk bersandar pada sofa.     

"Dan beginilah cara pengkhianat bekerja!!" lelaki bermata biru berseru membuat Alvin terkejut. Melepas tubuh Jav, dia menoleh enggan memastikan ekspresi tuannya.     

"Kemarilah Herry!" Mahendra menggerakkan tangannya, "Beritahu jiwa lemah bagaimana kesetiaan bekerja," dan si empunya nama memejamkan mata selepas mendengar kalimat tuannya. Dia menyelamatkan yang lain, tapi nyatanya dia sendiri kena juga akhirnya.     

"Aku mau melihat bagaimana sebuah tim mempertahankan tujuan utama mereka di saat anggota tim mulai terjebak situasi," Herry sesungguhnya tak begitu paham makna kalimat tuannya. Dia hanya menuruti permintaan bahwa dirinya dipanggil untuk mendekat.     

Entah mengapa, Andos kini memilih duduk di sofa kulit italia yang tadi di duduki Mahendra. Lelaki yang lebih tua dari yang lain tersebut menampilkan kejanggalan. Ia nampak menikmati apa yang terjadi.     

Mahendra mendekati Herry dan membisikan sesuatu di telinga ajudan yang paling erat padanya, 'Apa yang kau lakukan, ketika kau harus dihadapkan pada anggotamu yang membantu mereka yang makar?'.     

Alvin menjadi awas pada Herry, sedangkan pemuda yang selesai mendapat bisikan dirambati rasa tegang seketika.     

Herry diam membeku. Mahendra yang awalnya berniat menonton, kini menciptakan tiga buah garis di tengah kedua alisnya. "Kau tidak tahu, apa yang harus kau lakukan Herry?" dia bertanya dan menjadikan pemuda dengan kulit sawo matang itu menoleh pada tuannya.     

"Saya minta maaf, saya,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.