Ciuman Pertama Aruna

IV-107. Olahan Daging



IV-107. Olahan Daging

0'Pemarah?' Thomas mengamati cara bicara Pradita, sejenak kemudian dia berpindah ke sebelah Vian.     

Pria bermata sendu itu menyipitkan matanya sebelum berujar, "Apa yang kau katakan padanya? Jangan main-main. Atau kau akan jadi lawanku!     

"Aku bilang padanya, dari kita berempat, kau yang paling ambisius dalam mencapai ambisimu dibanding siapapun. Kita semua pria yang diliputi ambisi dan kau lah yang paling parah, Vian" Pradita tersenyum lebar, "Aku yakin dia akan memikirkan kata-kataku dan terpaksa menerimamu," bertolak belakang dengan semangat Pradita memberikan penjelasan, Vian menarik bantal dan melempar kasar pada pemuda berkacamata itu. Kali ini, sepertinya pimpinan penyidik tersebut sungguh-sungguh menggunakan tenaganya. Kepala laki-laki yang masih memegang kaleng minumnya itu berhasil dia bidik hingga kacamatanya terlepas.     

"Kau ini! Kenapa menjelaskan kekuranganku, alih-alih kelebihanku. Dasar! Sial!" Vian hampir mendapatkan kaleng di meja, namun tangan Thomas lebih cekatan menjauhkannya hingga Pradita terselamatkan dari lemparan kedua sang pria bermata sendu yang detik ini berkilat marah.     

"Itu kelebihanmu paling fatal dari kita berempat," Pradita membela diri.     

"Sialan! Kau! Dasar jomblo akut! Tidak bisa membedakan kelebihan dan kekurangan!" Vian menggerutu tepat di atas kepala Raka yang duduk di atas karpet—yang menjadi alas meja ruang tengah, tempat dimana makan malam dengan lauk rendang berpadu sambal menghasilkan keringat pada pelipisnya.      

Vian yang terus menggerutu membuat Raka spontan menangkap mulutnya menggunakan tangan kiri.     

"Berhenti sebentar!," ujarnya bijak. Thomas menghembuskan nafas lega, dia ingin menghentikan pertikaian namun dia malas. Seharian beraktivitas menjadikannya tidak berminat dalam percakapan absurd yang kadang kala terjadi ditengah-tengah mereka. Keempat laki-laki ini masih sering berdebat, sama seperti masa belia mereka yang tumbuh bersama di Yellow House.     

"Boleh kuhabiskan sisa rendangnya?" lelaki dengan rambut platinum itu tercengang, bersamaan dengan Vian yang menyingkirkan tangan kekar Raka dari mulutnya.     

"Ah! Kau ini. Kupikir kau akan memukulku dan Pradita," hela Vian, merasa sia-sia menghentikan kemarahannya pada Pradita. Raka punya pukulan paling mengerikan,     

semua tahu kemampuan fisik lelaki tersebut. Terlebih saat dia menemukan anak buahnya bersitegang, jangan harap mereka bisa bebas dari hukuman lelaki yang dihormati para ajudan ahli bela diri. "Jangan semuanya, aku juga mau merasakan masakan Bomb," jawabnya ringan.     

Menggiring berdirinya Raka dan suara balasan "Oke," sebelum dia melangkah ke pantry.     

Di sisi lain, Thomas yang tadinya larut pada tiap-tiap obrolan, sejenak merasa sesuatu di sekitarnya menjadi hening, 'Bomb?' dia bergumam. Pikirannya menerka-nerka. Mengabaikan gerakan gesit Pradita dan Vian yang bersaing meraih kaleng soda.     

Tentu saja Vian kalah, dan pemuda dengan dada kurang sehat itu tidak lagi berminat meminum soda yang ia genggam.     

Telapak tangannya meletakan kaleng soda pada lantai, dan tangan itu menggantung begitu saja selepas Vian membaringkan tubuhnya.     

"Marah-marah menjadikanmu mirip dengannya, sudah istirahat saja. Dia tak akan peduli dengan kata-kataku. Aku berani bertaruh, Bomb akan luluh juga," Pradita menghibur Vian. ia tidak sadar orang lain yang detik ini bangkit dari duduknya sedang dilanda rasa penasaran.     

Thomas berjalan menuju pantry, dia merasa perlu memastikan sesuatu. Entah mengapa dia perlu memastikan siapa yang menjadi bahan perbincangan teman-temannya.     

Duduk di kursi pantry, Thomas menatap Raka yang sibuk mengunyah makan malam putaran kedua. Dia tahu, Vian menyebut Kihrani dengan panggilan 'Bomb'. Dia juga tahu, gadis itu pandai memasak daging.     

Lelaki yang mengikat rambut platinumnya itu ingat betul pesan terakhirnya sebelum dirinya pergi dari rumah itu selamanya, bahwa gadis berambut hitam panjang itu akan menyiapkan masakan daging untuknya. Gadis itu mengirim banyak pesan dan voice note sebab dirinya menghilang semalaman, bahkan kemudian menjadi berhari-hari, lalu tak pernah kembali dan berjumpa dalam suasana berbeda dan keadaan yang tak sama lagi.     

Thomas menutup matanya, lalu mengusap wajahnya. Kedua sikunya berada di atas meja pantry dan dua telapak tangannya menutup wajah, dia memijat pelipisnya. Gadis itu menyajikan masakan daging untuk orang lain pada akhirnya. Entah ini perasaan kecewa atau iri, dia tak mengerti.     

Lelaki itu sudah memutuskan akan menyendiri seumur hidup, berbuat baik dan kembali mengabdi pada keluarga ayah, keluarga tetua Wiryo. Sudah cukup. Tidak butuh lebih dari itu.     

Sampai rasa dingin sebuah tembikar menyentuh dasar lengannya. Dia membuka mata, menatap apa yang di geser Raka padanya. Sesuatu di bawah pandangnya adalah piring yang menyajikan daging rendang buatan gadis itu.     

"Kadang porsiku jauh lebih banyak, tapi bukan berarti aku tega dengan sobatku sendiri. Bilang kalau kau juga ingin makan," Suara Raka menggema, namun Thom sedang tak ingin menanggapinya.     

Thomas tengah bertarung dengan dirinya, perlukah dia memakan hidangan daging ini?. Sesuatu menggumpal pada tenggorokannya, menjadikannya sulit mengatur nafas.     

"Boleh aku meminjam mobilmu?" tukas Thom mengejutkan.     

Tanpa bersuara, Raka mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Ia melempar kunci pada Thom dan pemuda itu menangkapnya dengan sempurna.     

Meninggalkan olahan daging di atas piring saji dan Raka, Thomas berjalan tanpa menoleh lagi pada Pradita yang memanggilnya. "Kau mau kemana? Thom,"     

"Lain kali aku akan bergabung," dia berujar sejenak, sejalan kemudian dia melangkah lebih cepat. Dan disusul deru Ford Bronco 1966 warna orange koleksi kesayangan Raka. Thomas meninggalkan Reuni yang dia inisiasi.     

***     

[Apa yang terjadi pada Syakilla?!]     

[Tenang saja tuan, kita sudah membereskan-nya]     

[Jadi kau tahu dia kabur. Kenapa tidak memberitahuku! Ada apa denganmu?!] dia membentak Herry, bersama bunyi deritan pedal gas yang terinjak kuat sejalan dengan pedal rem. Mobil itu berputar 180 derajat sebelum meninggalkan villa. Debu-debu tak terlihat mengiringi kendaraan beroda empat yang melaju kesetanan.     

[Tuan, saya minta maaf mewakili yang lain. Kami sangat ceroboh. Tapi anda tak perlu khawatir, Syakilla sudah-] kalimat Herry belum usai ketika lelaki yang berkendara melintasi lereng pegunungan, persawahan kemudian memasuki kota dalam waktu singkat itu mengujarkan perintah yang di takuti lawan bicaranya.     

[Ini bukan sekedar Syakilla sudah ditemukan atau bukan. Tapi tentang keterbukaan. Kesetiaan. Kumpulkan semua ajudan yang bertugas di rumah induk! Temui aku di lantai tertinggi Djoyo Rizt Hotel] Herry hampir menjatuhkan handphonenya. Di tempat itu, dirinya dulu hampir membunuh Juan. Ajudan yang menghianatinya dengan tangannya sendiri.     

Hal pertama yang dilakukan Herry adalah menemui Andos. Laki-laki yang menjadi tangan kanan tetua Wiryo itu meminta semua penghuni lantai tiga rumah induk—terutama para ajudan pria memenuhi permintaan tuan muda Djoyodiningrat. Tak terkecuali Jav yang paling ketakutan dan hampir diseret yang lain ketika dia harus memasuki mobil.     

Satu persatu mobil di garasi rumah megah—di lereng perbukitan itu keluar, meninggalkan kediaman keluarga Djoyodiningrat.     

Andos memimpin yang lain. Lelaki dengan rambut halus yang memenuhi seluruh dagunya tersebut memencet tombol pintu. Melangkah masuk, ia dan yang lain tak melihat apapun, segalanya minim cahaya. Nampaknya disengaja.     

"Bawa padaku, siapa yang menemui istriku di pagi buta dan membantunya melanggar aturanku," siluet hitam berjalan menuruni tangga. Kumpulan ajudan berdiri menatapnya. Tangannya memegang sesuatu. Kain panjang serupa dasi di gulung berulang membalut tangan kanan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.