Ciuman Pertama Aruna

IV-106. Reuni



IV-106. Reuni

0Kelompok pimpinan yang cukup lama tak berjumpa, berkumpul pada satu tempat. Hunian salah satu dari mereka dijadikan pilihan. Mengingat satu dari keempatnya belum bisa beraktivitas banyak, mereka memilih reuni yang sesungguhnya tak terencana ini di rumah dia yang sakit.     

Dia yang paling muda memarkir mobilnya di luar sebab tiga puluh detik sebelumnya, kendaraan lain menyerobot jalannya dan berhasil memasuki pelataran cluster. Lelaki bertubuh kekar keluar menyapa dengan kekeh tawanya yang terlihat mengejek.     

"Kalau bukan karena mobilku lebih mahal, sudah kuhancurkan si klasik konyol itu," hina si kacamata, menatap geram pada Raka. Terdapat sebuah garis yang menggores alisnya yang hitam pekat dan lebat –yang menjadikan alis kanannya terbelah menjadi dua–. Bekas senjata tajam begitu ketara, dan luka-luka di pergelangan tangannya melingkar pada sisi kanan dan kiri. Jelas, itu sebuah ikatan paksa hingga memberi pria bertubuh tambun tersebut tanda luka yang ketara.      

"Bilang saja kau terlalu payah mengemudi, tak perlu berdalih," balas Raka. Sesaat berikutnya, seseorang dengan barang bawaannya keluar dari mobil Raka. Thomas membawa soda dan camilan di tangannya. Dia masih menunduk sekali lagi. membuka bagasi. Mengeluarkan kantong belanjaan yang lain. Dan buru-buru barang-barang itu ia sodorkan pada Pradita.     

Cara Thomas yang spontan membuat Pradita sempat terperajat. Namun, tampaknya lelaki dengan rambut platinum itu acuh tak acuh, sebab dia melanjutkan mengambil barang-barang yang lainnya dari dalam bagasi mobil Raka.     

"Platinum?" Pradita tersenyum melihat warna rambut baru sahabatnya.     

"Tren bulan ini, anggap saja begitu," memiringkan bibirnya, lelaki tersebut menjadikan Pradita merasa tersaingi.     

"Kau yakin itu tren yang benar?" Fashion yang unik akan selalu menjadi identitas Pradita. Pria yang tak banyak keluar dari sarangnya di lantai D, dari sebuah ruangan yang dipenuhi monitor menyala dan benda-benda berteknologi terbaru kesenangannya. Kecuali ketika dia keluar, pemuda ini akan menjadikan dirinya paling menonjol dengan streetwear dan kaos mencolok yang mewarnai tubuhnya. Jadi, rambut platinum ala Thomas kali ini tak ubahnya mencuri penampilannya     

"Setidaknya aku terlihat lebih muda, sepertimu," kilah Thom.     

"Berdebatlah di sini, aku akan masuk dulu," Raka meninggalkan keduannya. Sehingga dua sahabatnya membuntuti pria dengan tubuh tambun itu di belakang langkah kakinya.     

Berbeda dengan Thomas yang menatap lurus menuju pintu rumah Vian, Pradita masih menatapnya—tidak terima dengan rambut baru berwarna platinum dan mulai memikirkan mewarnai rambutnya, agar bisa menyaingi warna rambut panjang yang kini di ikat di belakang.     

"Aku yakin warna ungu bisa mengalahkan platinum. Coba saja," ini bisikan lirih Thom dan dua manusia itu saling melirik satu sama lain. Lelaki tersebut tak kuasa menyembunyikan gelinya tatkala dia melihat raut wajah serius Pradita.     

Semua orang tahu, Thomas cenderung berpakaian formal—dan lebih dari siapapun dibandin keempatnya, dia terlegitimasi sebagai pria metroseksual khas para eksekutif muda metropolitan. Maka dari itu, Pradita belum terima dengan warna platinum di kepalanya.     

Pemuda dengan kacamata bulat bertengger di batang hidungnya itu masih membahas rambut Thomas, bahkan saat keempatnya sudah duduk bersama pada sofa ruang tengah Vian. Menunggu lelaki dengan mata sendunya yang berjalan lambat menuruni tangga.     

"Kapan kita makan? Jangan bahas rambut terus. Lihat lah! Aku bahkan belum merubah mode sejak satu dasawarsa," keluh Raka, tidak tahan menatap barang bawaan Thomas.     

"Jangan sentuh atau kau akan menghabiskan sendirian," Thomas meringkus apa yang dia bawa dari jangkauan Raka.     

"Aku punya stok makan malam yang belum kusentuh," suara Vian menyapa mereka atau lebih tepatnya mengomentari rasa lapar Raka. "Panaskan, dulu," tambahnya, selepas mendapati laki-laki bertubuh tambun itu langsung beranjak menuju pantry.     

Sejalan dengan kepergian Raka, Thomas membuka bungkusan yang dia bawa. Kaleng-kaleng soda dia letakkan, lalu ditata berbaris di atas meja. Dan sebuah Panettone[1] berukuran sedang dia keluarkan dari wadahnya, kemudian dipotong menjadi beberapa bagian presisi oleh pria berambut platinum tersebut.     

"Kau membawanya dari Milan?" tanya Vian, selepas pria tersebut duduk di kursi khususnya.     

"Tidak, aku membelinya di sini" tukas Thom.     

"Oh' oke, terima kasih. Minimal kau berusaha membawa sesuatu," Vian mengarahkan pandangannya pada Pradita yang sibuk membidik rambut Thomas dari berbagai sisi—tanpa di ketahui si empunya, sebab lelaki berambut panjang itu tengah sibuk mengeluarkan camilan lain dari bungkusan-bungkusannya.     

Dibanding yang lain, pria yang mengikat rambut platinumnya itu masih ingat cara membawa sesuatu ketika mengunjungi orang lain. Thomas bekerja dengan para pebisnis yang sering punya gaya bersosial sarat makna. Berbeda dari yang lain. Para bujang yang hidup bebas dengan jiwa mereka yang keras dan jadwal kerja tak kenal waktu.     

Sangat yakin bahwa semua yang ada di atas meja detik ini adalah dari Thomas, Vian melempar salah satu bantal yang menyangga tubuhnya ke arah Pradita. Sayangnya meleset jauh, sebab kemampuan gerakan tangannya tak seberapa.     

"Cih!" mendecih tanda protes, Pradita terbangun dari ke asikannya. Matanya melebar mengarah pada Vian, dan di balasan kekeh ringan dari pimpinan penyidik itu. Sedangkan Thomas menoleh mengerutkan keningnya, dan pemuda berkacamata itu buru-buru menyusupkan handphonenya.     

"Apa yang kau lakukan?" protes Thom.     

"Bukan apa-apa," kilah Pradita.     

"Berikan padaku!" Thomas mulai bangkit dari caranya duduk di selasar, di tangannya yang memegang kaleng minum lekas ditanggalkan, "Dimana Handphone mu?!" dia hampir menyerang Pradita, dan pemuda berkacamata tersebut siap menendang laki-laki dengan rambut platinumnya untuk mengelak, kala lelaki bertubuh gempal datang dengan piring yang dipenuhi makanan.     

"Kalian harus mencobanya, ini enak sekali, sambelnya sedap," ujarnya, meletakkan sepiring penuh makan malam. Membuat yang lain mendesah, dia mengalihkan dua laki-laki yang hampir baku hantam, melalui gerakan Raka menjilati ujung jari-jarinya. Pria itu bahkan makan menggunakan tangannya. Dia tak akan melakukan itu jika yang dia makan tidak sesuai selera.     

"Apa itu masakan pacarmu, Vian?" Pradita menendang ringan Thomas. Menyingkirkan pria yang akan menerkamnya.     

"Kau sudah punya pacar?" Raka menoleh pada Vian, dia penasaran.     

"Aku melihatnya di rumah ini dan masak sepanjang hari," imbuh Pradita.     

"Akhirnya kau mendapatkan perempuan seleramu," Raka terkekeh. "Calon ibu rumah tangga, jago masak dan merawat rumah," sejenak dia melihat senyum tertahan Vian dan warna merah di pipinya, sebelum pemuda bertubuh tambun itu kembali membasahi bibirnya dan menyantap rendang di hadapannya, "Aku yakin, dia masak daging ini seharian."     

"Jadi kau sudah menaklukkannya?" Pradita menyambar salah satu kaleng dan meneguknya.     

Thomas yang merasa ketinggalan banyak informasi seputar sahabatnya memilih mendengarkan. Dia mencicipi Panettone yang dia bawa, bau kismis sedang berpacu dengan rendang di piring Raka.     

"Kuharap begitu," balas Vian pada Pradita.     

"Padahal aku sudah menakut-nakuti si pemarah itu, haha," Pradita menyambar kaleng sodanya yang ke dua.     

'Pemarah?' Thomas mengamati cara bicara Pradita, sejenak kemudian dia berpindah pada Vian.     

Pria bermata sendu itu menyipitkan matanya sebelum berujar, "Apa yang kau katakan padanya, jangan main-main. Atau kau akan jadi lawanku!".     

.     

.     

[1] Panettone merupakan roti populer di Italia yang juga dijuluki fruitcake dan asalnya adalah dari kota Milan. Roti satu ini memiliki tekstur lembut dan rasa manis dengan campuran kismis atau manisan buah lainnya di dalam roti.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.