Ciuman Pertama Aruna

IV-105. Mengubur Diri Di Dalam Selimut



IV-105. Mengubur Diri Di Dalam Selimut

0"Yang kau sebut barusan merupakan dua hal yang berbeda, Hendra," perempuan ini mengeluh, namun Mahendra tak bisa mengabaikan fakta.     

"Apapun alasanmu. Kenyataannya, kau mengabaikan makanan itu dan membiarkannya begitu saja di luar sana, Aruna!" tukas Mahendra. "Jangan kau pikir karena aku tak bisa marah padamu, kau bisa bertindak sesuka hatimu!"     

"Aku tak mengabaikan—" kalimat ini belum usai ketika Mahendra berusaha menarik selimutnya. Dan Aruna mempertahankan benda tebal tersebut, berharap tidak terlepas dan tetap membungkus tubuhnya secara menyeluruh.     

"Sudah cukup! Berhenti bersikap kekanak-kanakan!" dia kian geram tatkala Aruna mengabaikan kehendaknya. "Kenapa kau seperti ini?!" keheranan, Mahendra memegang dagunya dan memberinya tatapan tajam.     

"Aku ingin tidur. Itu saja," salah satu tangan Aruna keluar dari selimut dan berusaha melepas telapak tangan Mahendra dari cara pria tersebut memegang dagunya.     

"Aruna!" sentaknya, menarik sekuat mungkin selimut hingga terbuka, "Kau sangat kekanak-kanakan dan sulit dikendalikan! Kau pikir aku tidak tahu, kau tidak keluar kamar seharian?!" Mahendra menggenggam tangan istrinya dan menariknya perlahan, supaya Aruna berkenan menuruni ranjang. "Kau tidak mau turun? Kau ingin aku menyuapimu—"     

Dan suara itu menghilang ketika dress tidur Aruna tersingkap. Manik mata biru bisa melihat paha, lengan dan belahan dadanya, ruam-ruam merah hadir di sana. "Apa yang terjadi?" Mahendra melepaskan cengkeraman tangan kanannya pada lengan istrinya, "Ada apa denganmu?" wajahnya yang penuh amarah padam seketika. Dia menjadi panik alih-alih meluapkan marah.     

Di sisi lain, Aruna memilih menurunkan roknya yang tersingkap dan bergumam lirih, "Hanya gatal,"     

Mahendra mendesah. Tanpa kata-kata lagi, dia menarik ke atas dress tidur istrinya yang secara spontan di tolak perempuan bermata coklat yang menatapnya penuh harap. Aruna menggenggam kuat ujung roknya.      

"Kenapa? Apa yang salah kalau aku ingin melihatnya?"     

"Hanya gatal," ulang Aruna.      

"Kau menghindar sebab tak ingin aku khawatir, -bukan?" dia menyingkirkan genggaman tangan istrinya di ujung dress putih yang membungkus perempuan tersebut. "Aku bakal lebih panik ketika kau tak memberiku kesempatan melihatnya," dan kemudian, baju itu tersingkap ke atas perut hingga manik mata biru itu bisa melihat ruam merah di perut buncit istrinya.     

"Pasti sangat gatal," gumamnya. Meraba perut istrinya, dan sesaat berikutnya dia mengalihkan pandangan ke arah netra coklat di hadapannya. Meraup wajah Aruna dengan kedua belah telapak tangannya, Mahendra bisa merasakan bagaimana istrinya merasa dirinya gagal menyembunyikan diri dan dia tak suka melihat ekspresi khawatir suaminya. "Maafkan aku," bisiknya lembut, sebelum lelaki bermata biru mendekap penuh tubuh perempuannya. Menyesal dirinya telah salah paham.     

"Akan kupanggil dokter untukmu," dan pria itu menanggalkan pelukan. Berjalan memutari ranjang, Mahendra mendekati sofa, berupaya menemukan handphone yang terselip pada saku jaket.     

"Jangan sekarang, ini sudah malam," Aruna memutar arah duduknya menghadap Mahendra. "Tempat ini cukup jauh dan akan menyulitkan bagi siapa pun, sebaiknya besok saja sekalian,"     

"Lalu membuatmu menahan rasa gatal ini semalaman, begitu?" lelaki bermata biru menoleh pada istrinya, menunjukkan ekspresi tak setuju.     

"Penjaga Villa memberiku air kelapa hijau, mereka bilang itu cara alami menghilangkan rasa gatal karena alergi. Mereka menduga ikan yang kumakan, yang membuat kulitku ruam-ruam," suara perempuan ini lebih terdengar sebagai rayuan dari pada sebuah informasi, "Mereka yakin besok pagi aku tak akan merasakan gatal lagi, ruam-ruam ini bakal menghilang dengan sendirinya,"     

"Kau pernah alergi ikan sebelumnya?" Aruna menggeleng memberi jawaban, "Apakah kejadian ini yang pertama?" dan perempuan bermata coklat itu mengangguk, "Sejak kapan kulitmu terasa gatal?"     

"Entah lah. Sore tadi aku berniat makan lebih awal kemudian aku mengeluh gatal, kulitku merah, aku tak tega memberitahu Dhea. Pak Surya juga sedang sakit, maka dari itu aku memberi tahu penjaga villa, dan mereka memintaku meninggalkan makananku. Lalu, masing-masing sibuk mencari penawar untukku. Sepertinya, makan siangku yang menjadi masalahnya, semua menu di sini ikan laut," jelas Aruna.     

"Jadi, yang di balkon makan soremu?" tanya Mahendra kembali mendekati istrinya.     

"Ya" Aruna mengangguk ringan, "Penjaga Villa kekurangan orang untuk melayani kami bertiga, karena sebagian mencari kelapa hijau, jadi aku tidak mau merepotkannya, terlebih makanan itu bisa dibereskan besok pagi,"     

"Oh' Aku minta maaf, sayang" Kalimat tersebut sejalan dengan gerakan duduk Mahendra di atas ranjang, di sebelah Aruna. "Susu di atas meja masih hangat, dan aku tahu kau sengaja buru-buru meninggalkan tempat itu untuk pura-pura tidur, jadi aku pikir kau mengabaikan makananmu,"     

"Tak apa, Hendra. Aku baik-baik saja," Aruna berkata sembari mengusap-usap lirih pahanya yang ruam.     

Lelaki bermata biru menarik tangan perempuan tersebut dan menggantikan cara Aruna mengusap pahanya. "Kenapa kau seperti ini? Buat apa berencana menyembunyikan alergi kulit dariku?"     

Selepas bertanya, Mahendra berjalan meraih piringnya di atas meja. Memeriksa sejenak dan menyadari tidak ada ikan di sana. Dia kembali menuju ranjang dan mengangkat sendoknya, berusaha memberi penawaran pada istrinya.     

"Aku tahu, kau pasti sibuk sekali hari ini," kilah Aruna.     

"Setiap hari aku juga sibuk, buka mulutnya," Aruna menggeleng, "Sekali saja,"      

"Aku sempat yakin kau tidak akan datang," Aruna menunduk. Sesekali dia terlihat berusaha mengusap sesuatu, terutama perutnya. Namun sedapat mungkin dia tahan.     

"Mana mungkin aku tidak menjenguk istriku," dan kali ini, Mahendra memilih memasukkan makanan ke mulutnya sendiri.     

"Aku bahkan yakin kau bakal marah padaku," perempuan yang masih menunduk tersebut, mengatakan kalimat itu dengan suara samar—hampir tidak terdengar.     

"Ya. Aku rasa yang ini benar," netra biru cemerlang menatapnya lembut. Ingat kekesalannya tapi tak bisa berbuat apa-apa.     

"Aku minta maaf, Hendra," secara mengejutkan, perempuan tersebut memeluk sebagian tubuh suaminya. Mahendra sontak terkesiap, antara bingung dan bahagia menjadi satu. "Apakah orang-orangmu sudah menemukan Syakila?" Ekspresi senang serta merta berubah menjadi kerutan di antara alis mata. "Kau pasti kesulitan, sebab Juan membawanya kabur. Aku meminjam handphone Dhea dan Jav memberitahuku semuanya, aku benar-benar menyesal. Aku takut menghadapi kemarahanmu," Aruna tidak sadar, pria dalam pelukannya melebarkan mata, tak percaya ucapan istrinya. "Maka dari, itu aku tak mau menambah masalah dengan ruam-ruam di kulitku, apalagi harimu sangat berat,"     

Lelaki bermata biru melepaskan pelukan istrinya. "Masuk kembali ke dalam selimut! Dan kubur dirimu di dalamnya!" Aruna bingung, namun Mahendra tak terlihat sedang bercanda.     

Spontan, perempuan hamil yang masih terheran itu menuruti keinginan suaminya. Mata biru itu berkilat mengobarkan sesuatu, hingga mendorong Aruna buru-buru memenuhi kehendaknya. Masuk ke dalam selimut dan mengubur dirinya.     

Detik berikutnya, gendang telinga perempuan di dalam selimut mendengar denting piring menghantam meja makan. Kasar sekali. Namun, Aruna tak berani mengintipnya.     

Kesadaran menghantam Aruna, ketika Mahendra menarik jaketnya kemudian membuat panggilan, lalu sebuah pintu ditutup sembarangan. Bunyi hantaman kasar ikut mengiringi kepergian suaminya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.