Ciuman Pertama Aruna

IV-104. Kesedihan Tumpah



IV-104. Kesedihan Tumpah

0Deru mobil Mahendra memecahkan keheningan sebuah Villa eksklusif yang menyendiri di pinggiran pantai, cukup larut dan cenderung dingin. Hanya terlihat Surya berdiri di ambang pintu menyambutnya. "Istrimu tak keluar kamar sejak pagi, Dhea sempat menemaninya tapi tak berhasil membuatnya keluar,"     
1

Mahendra menepuk bahu Surya yang memberinya tatapan khawatir. "Terima kasih sudah khawatir," ucapnya.     

"Aku yakin dia sedang marah padamu," kalimat Surya mengundang tatapan menenangkan dari Mahendra.     

"Ibu hamil tidak mudah dimengerti," Aruna memang sangat sulit dimengerti sejak hamil, Mahendra sendiri tak yakin dia bisa menolak panggilan yang istrinya titipkan melalui handphone Dhea.     

Lelaki bermata biru memasuki kamarnya selepas menyarankan Surya beristirahat. Yang dia lihat pertama kali saat memasuki kamar adalah gerakan singkat seseorang di dalam, yang kemudian dia temukan tertidur di bawah selimut tebal.     

Pintu balkon masih terbuka, angin dingin di biarkan berhembus memasuki kamar begitu saja. Bahkan, deburan angin laut ia biarkan memecah kesunyian.     

Mahendra yang berniat mendekati tubuh terbaring istrinya, memilih berjalan menuju pintu balkon dan berniat untuk menutupnya. Namun, pandangannya terganggu pada beberapa benda yang tersedia di atas meja dekat kursi-kursi nyaman yang berada di teras samping, yang menghadap ke pantai.     

Kaki berbalut sepatu pantofel itu melangkah mendekatinya. Jelas, makanan di atas meja itu tak tersentuh sama sekali. Hanya satu buah gelas yang menyajikan susu—menyisakan beberapa mili, dengan bekas sesapan di seputar benda berbentuk tabung tersebut—,yang terlihat berkurang. Mahendra mencoba menyentuhnya. Dan apa yang ada di pikirannya terjawab, benda tersebut masih hangat.     

Lelaki bermata biru tersebut kembali memasuki kamar mereka, menutup pintu balkon rapat-rapat. Bahkan, Mahendra sendiri yang mencoba merapikan kelambu sehingga panorama pantai tertelan oleh kain-kain putih dari caranya melepaskan simpul-simpul yang mengikat kain tersebut.     

Membuka jaket dan meletakkannya di atas sofa. Pria tersebut membiarkan segalanya tetap hening, ia mencoba percaya istrinya tertidur pulas. Untuk itu, Mahendra lekas menuju kamar mandi.     

[Rapikan makan di balkon kamar kami,] perintahnya, setelah keluar dari tempatnya membersihkan diri, [Dan, siapkan makan malamku,] Selepas itu, Mahendra duduk di sisi ranjang.     

Tubuh perempuan hamil itu sekedar menampakkan wajahnya, seluruh tubuhnya terkubur sempurna di dalam selimut tebal. Tangan besar dan hangat itu menyentuh rambutnya yang mulai memanjang, lalu mengusap-usap jemarinya pada rambut Aruna. "Apa kau marah?".     

Mahendra tidak mendengarkan jawaban ataupun gerakan berarti dari tubuh itu. Walaupun secara pasti, dia tahu Aruna sedang pura-pura tidur, "Temani aku makan," bisiknya, mendekatkan bibirnya pada telinga istrinya. "Aku ingin makan bersamamu, sayang," dia menyesap telinga tersebut, sejalan kemudian ciuman ringannya telah sampai pada pipi, lalu menuju bibir.     

"Apa kau benar-benar tidak lapar?" Mahendra mendekap kepala Aruna, hingga wajahnya begitu dekat dengan bibir ranum itu. Dia menautkan bibirnya pada bibir bawah istrinya dan mulai menyesapnya.     

"Kau diizinkan menghukumku dengan cara apapun, tapi tidak dengan baby kita. Jangan pernah sisakan makanan!" dia bergumam sembari menautkan lidahnya ke dalam mulut perempuan yang detik ini ia sibak wajahnya, hingga Aruna tidak bisa menahan diri untuk tak membuka matanya dan larut dalam nafas panas Mahendra yang kini menyusuri lehernya.     

"Baguslah kau bangun," lelaki bermata biru menjauhkan wajahnya dari wajah perempuan yang perlahan ia sibak selimutnya. Aruna memberinya tatapan kurang nyaman, bahkan memalingkan wajahnya.     

"Kau sudah membuatku geram," dia mengatakan ini sambil tersenyum, "Jangan sampai aku kian resah dan memaksamu menuruti kehendakku," Mahendra masih memberi—perempuan yang memalingkan pandangan itu—tatapan hangat. Tangannya bergerak masuk ke dalam selimut yang belum sepenuhnya terbuka untuk mengusap babynya. "Jangan menghukumnya, lampiaskan kekesalanmu padaku saja, sayang"     

"Apa yang kau katakan?" alis Aruna menyatu sempurna, "Kau pikir aku ibu seperti apa?" perempuan ini bangkit dari tidurnya.     

"Aku yakin kau menyisakan makananmu di balkon, dan aku tidak suka melihatnya," jawab jujur Mahendra.      

Ada raut wajah kecewa dan sedih dari cara Aruna memandang suaminya. "Hanya karena itu kau menganggapku menyakiti baby?".     

"Ayo kita makan. Selesaikan makanmu yang belum usai, atau aku yang akan menyuapimu," Mahendra nampak berupaya keras untuk menjaga kestabilan emosinya. Aruna bicara dengan nada meninggi dan dirinya tak suka sama sekali.     

"Aku sudah minum banyak susu, aku belum bisa makan lagi,"     

"Apa kau ingin kita bertengkar?" suaranya dalam, jelas Mahendra tengah dalam emosi yang semakin memuncak.     

"Atas dasar apa kau menganggapku ingin bertengkar?"      

"Sebab kau mengabaikan asupan nutrisi baby kita! Apa mengandung memberimu beban? Aku tahu ini menyakitkan untuk gadis yang seharusnya masih menikmati masa jalan-jalan santai dengan teman-teman kuliahnya," Mahendra bahkan tidak mengerti kenapa dia harus mengutarakan kalimat ini. Ucapannya sesungguhnya tak serta merta menggambarkan apa yang ada di kepalanya. Lelaki ini masih belum bisa menghapus rasa gundahnya melihat ajudan di bawah tangga yang membuatnya perlu membawa istrinya hingga sampai di Villa ini. Aruna terlalu ikut campur di beberapa sektor yang harusnya tak diizinkan untuk dia sentuh. Dia bahkan lebih pandai dari dugaannya dalam mengambil hati ajudan-ajudannya—termasuk Vian.     

"Kata-katamu menyakitiku, Hendra," Aruna mengatakan kalimat ini sembari terus menatap cara pria itu menjauh, kemudian duduk pada kursi di dekat meja yang diatasnya tersaji hidangan. "Kau belum bertanya kenapa aku menyisakan makan, tapi kau sudah menuduhku yang bukan-bukan." dia seolah bisa mendengar hembusan nafasnya, nafas lelah suaminya melalui gerakan bibirnya sebelum meraih sendok dan makan sendirian.     

"Datanglah kemari, sebelum aku memaksamu," dia berujar tanpa menatap manik mata coklat yang mulai berkaca-kaca. Mahendra sengaja diam. Tidak mau tersulut apapun, terutama istrinya. Sebab, tanpa menatap raut muka Aruna, dirinya sadar wajah itu memberinya tatapan kemarahan dan sedih yang ditumpahkan ke arahnya.     

Menghembuskan nafas dan mencoba mengontrol emosinya, Aruna berujar lebih ringan, "Minta maaf lah dulu, kau datang dan langsung menuduhku,"     

"Minta maaf?" Mahendra mengulangi kalimat ini selepas sesuap makanan menyapa mulutnya. "Jangan bercanda,"     

"Bercanda?" Aruna tak habis pikir dengan balasan suaminya, ia meraih selimut dan mengubur dirinya.     

"Datanglah kemarin. Kali ini saja, ikuti perintahku,"     

"Aku selalu mengikuti perintahmu," Aruna enggan menanggapinya, konsisten mengubur dirinya di dalam selimut dan memunggungi keberadaan suaminya.     

"Jangan berpikir aku tidak tahu kau pura-pura tidur ketika aku datang!" dia menghentikan makannya, menggenggam erat sendoknya dan menatap perempuan yang mengandung babynya dengan perasaan gundah luar biasa.     

Keberanian perempuan tersebut dalam mengabaikannya —selepas Mahendra menyadari Aruna terlalu jauh memainkan perannya sebagai istrinya, melanggar batasan-batasan demi menyuapi rasa penasarannya. Di mata lelaki bermata biru, perbuatan tersebut tergolong bentuk ketidakpercayaan fatal. Dia pemimpin yang memimpin banyak sektor dan mengendalikan ribuan orang dalam perusahaannya. Ribuan orang yang menaruh kepercayaan padanya dan dengan sukarela dia kendalikan sesuai kehendaknya.     

Tapi, apa yang salah pada istrinya? Mengapa, bahkan dirinya sendiri tak punya kemampuan untuk mengaturnya secara penuh?. Kalimat Herry semacam pecut yang membuka tabir terkait 'akankah dia mampu mengendalikan istrinya sendiri, sebelum melempar kekesalan pada orang-orangnya yang bertindak di luar kendali, sebab pengaruh istrinya?'.     

Di sisi lain, Aruna menggenggam erat selimutnya. Dia ingin bersembunyi, bahkan perempuan ini mengharap tak satupun dari bagian tubuhnya yang keluar dari selimut. "Aku ingin istirahat, itu saja!"     

"Aruna!" dia melempar sendoknya, dan bunyi benturan mengiris hati perempuan. Anehnya, Aruna tak berkenan menunjukkan sikap kooperatif. Dia konsisten mengabaikan Mahendra.     

Lelaki bermata biru bergerak gusar dan mendatanginya di atas ranjang.     

Mengusap-usap rambut lembut yang terurai, Mahendra menghantarkan gerakan kaku yang memberitahu bahwa dia tengah berada dalam level kemarahan tertentu, "Mari kita bicara apa yang kau inginkan. Katakan saja! Atau kamar ini akan menjadi saksi pertengkaran kita!"      

Masih dengan memunggungi Mahendra, Aruna bersuara dengan sedikit bergetar, "Aku ingin kembali ke rumah induk, aku mau handphone ku, kenapa kau menyitanya?"     

Tangan yang mengelus rambut, spontan terhenti. Dahinya mengerut, "Dan kau tidak makan karena ini? Kau ingin memprotesku?"     

"Yang kau sebut barusan merupakan dua hal yang berbeda, Hendra," perempuan ini mengeluh, namun Mahendra tak bisa mengabaikan fakta.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.