Ciuman Pertama Aruna

IV-103. Perempuan Dengan Kemauan Kuat



IV-103. Perempuan Dengan Kemauan Kuat

0"Ada kaitan apa istriku mengirim ajudan pribadinya ke rumah ini?"     

'Mati aku!' Vian memejamkan mata, mencoba sekuat mungkin mengoperasikan isi kepalanya, berharap menemukan alasan yang tepat.     

"Jangan buat aku menunggu!" Dan Vian masih belum bisa menemukan jawaban. Matanya berkedip cepat dan nafasnya mengudara berat. "Kau tak ingin memberitahuku?" Mahendra bergerak merebahkan punggungnya. Netra biru itu menyorot keberadaan pria di hadapannya dengan malas.     

Herry yang berada di antara mereka menatap nanar apa yang kini di perlihatkan Vian. Satu-satunya yang mengerikan dalam lingkaran hubungan orang-orang di bawah naungan keluarga konglomerat Djoyodiningrat adalah hilangnya kepercayaan.     

Sang tuan yang memberi mereka kehidupan kedua jauh lebih baik ialah bagian dari moral mereka, bahwa sebagian hidup mereka akan dihabiskan untuk mengabdi di keluarga ini. Kehilangan kepercayaan layaknya seseorang yang dibuang dari keluarga besarnya.     

"Apa aku perlu bertanya langsung pada istriku?" pertanyaan Mahendra membuat Vian menunduk kaku, sedang Herry ikut mendesah lirih.     

"Bagi saya, anda dan istri anda sebuah kesatuan. Saya kesulitan mengabaikan permintaannya, tapi percayalah, saya memenuhi keinginannya dalam porsi wajar" Jawab Vian dengan harap-harap cemas menatap lelaki bermata biru di hadapannya.     

Mahendra yang berdiri hendak meninggalkan pimpinan divisi, kini kembali menatap pria yang berusaha bangun dari pembaringannya. "Sepandai apa kau bisa menyamakan 'porsi wajar' orang lain?"     

Di dunia, tidak ada yang bisa mengukur dalamnya pikiran orang lain. Seperti itu pula, tak akan ada yang bisa memberi orang lain kepuasan secara penuh, apalagi berani mengukur porsi kewajaran tiap individu. Dan, Vian melakukan kesalahan mutlak dengan keberaniannya menciptakan alasan konyol.     

Hingga tuan muda Djoyodiningrat tersebut pergi, Vian masih menyesali mengapa dia tak mampu membuat alasan yang masuk akal.     

Mobil tuan muda telah menderu meninggalkan pekarangannya dan Vian sendiri bahkan belum tahu apa yang akan dia perbuat, dia tidak yakin dengan kejadian barusan.     

Dirinya sekedar mencari lokasi Juan dengan memanfaatkan anak buahnya, di samping pekerjaan utama mereka yang tengah membersihkan orang-orang di bawah naungan DM Construction, kemudian menukarnya dengan gadis berambut hitam panjang seperti milik ibunya.     

Ini hanya permainan anak muda. Namun kenyataannya, Vian menjadi demikian kacau selepas melihat tuan muda Djoyodiningrat yang memberinya ekspresi kecewa.     

Pemuda tersebut memegangi kepalanya sendiri, bahkan setelah sepuluh menit cucu tetua menghilang dari huniannya.     

.     

.     

"Kenapa kita tidak berhenti di hunian Raka?" lelaki yang duduk di kursi penumpang di bagian belakang, menatap Herry melalui kaca spion.     

Mata ajudan itu melirik sesaat, sebelum kembali fokus pada jalanan dan menjawab pertanyaan tuannya, "Senior Raka baru saja mengkonfirmasi bahwa dia sudah aktif bekerja,"      

"Oh' tidak ada di rumahnya?"     

"Iya, tuan," Herry mengangguk, kembali melirik kaca spion dan mendapati tuannya mengamati jalanan di luar, mengabaikan ekspresi kekhawatiran ajudannya. Mahendra terlihat tidak bersemangat selepas keluar dari cluster Vian. "Saya harap, anda memutuskan makan malam sebelum kembali ke Villa nona,"     

"Apa aku terlihat lemas? Jangan bercanda," Herry tertangkap seperti teman bermain yang mengkhawatirkan temannya. Mahendra tersenyum samar mendengarkan saran tersebut, tapi dia menjadi ingat lapar karena ucapan pemuda itu. "Aku ingin bertemu Raka," dan dengan demikian, ajudan tersebut membuat panggilan untuk Senior Raka. Ketiganya memutuskan berjumpa di salah satu resto Icon tower di bawah naungan Djoyo Makmur group.     

Sepanjang jalan, suasana menjadi sepi dan cenderung hening. Herry tak mau mengganggu, demikian juga Mahendra yang enggan bicara. Bahkan, kebiasaannya membaca sesuatu pada layar tabnya tak diperlihatkan lelaki bermata biru.     

.     

.     

Mahendra dan Herry tiba di resto sebelum Raka. "Siapa yang memilih tempat ini?" tanya tuan muda tersebut.     

"Senior Raka, tuan," balas Herry, sembari berjalan menuju meja yang paling dekat dengan kaca membentang. Dia pikir, dengan begitu dirinya bisa menyenangkan hati tuannya, dapat melihat panorama malam di bawah sana.     

Kenyataannya, Mahendra menolak sebuah bangku yang ditawarkan pemuda tersebut dan memilih meja lain yang jauh dari kaca membentang.     

"Tahukah kau, Herry? Aku pernah duduk di meja yang kau tawarkan," tiba-tiba pria itu bicara di tengah ketenangan Herry memilih menu makanan.     

"Benarkah, tuan?" Herry berhenti tenggelam pada menu makanan, dia meletakkan benda tersebut di atas meja.     

"Hari di mana aku hampir putus asa menunggu Aruna kembali dan berpikir mungkin sudah saatnya aku menyerah, Dhea dan Surya memintaku makan bersama mereka. Tidak tahunya, Aruna duduk di sana lebih awal dan aku pulang bersamanya. Seingatku, kau lah sopirku," Herry mengingat-ingat hari yang mana, yang diceritakan tuannya. "Kami bertukar pikiran tentang rencananya tampil pada sebuah agenda start up, dan aku terpikat sekali lagi. Aku berakhir mendapatkan bibirnya. Dan sekali lagi aku sadar, aku selalu tersihir olehnya," dia tersenyum dan meraih menu makanan yang ditanggalkan Herry.     

"Sepertinya saya mengingatnya, tuan," Herry ikut memerah mengingat bagaimana dia harus menahan diri ketika pasangan suami istri itu berciuman di balik punggungnya. Sebelum gadis muda yang kini telah tumbuh menjadi ibu hamil lari menaiki tangga menghilang di balik outlet Surat Ajaib.     

"Yang belum bisa kumengerti dari Aruna adalah caranya melihat dunia. Ada ruang di dalam dirinya yang tak bisa kukendalikan dan dia, bahkan kini berani mengendalikan orang-orangku," Herry menyadari ada duka di balik ucapan Mahendra.     

"Nona sesuatu yang asing dan dia memikat semua orang dengan kehadirannya yang unik di tengah-tengah keluarga anda, bukan hanya keluarga anda, saya rasa semuanya," Herry sesaat menurunkan tatapannya dari Mahendra, ketika tuannya mengamatinya.     

"Sepertinya yang kau katakan benar adanya," Mahendra membalik menu makanan, kemudian kembali menyerahkan benda tersebut pada Herry, "Aku bahkan melihat ajudan terbaikku berusaha menyembunyikannya dariku, supaya dia tak ketahuan menjenguk Vian," bibir lelaki tersebut terangkat sebagian, dan hal itu mengundang ekspresi tak jenak dari pemuda di hadapannya.     

"Pesankan aku steak. Ah' aku bahkan memesan makanan kesukaannya," Mahendra juga memesan steak untuk Aruna di resto yang sama. Pria tersebut ingat betul dirinya memotong daging itu dengan presisi dan meletakkan di atas sendok perempuan tersebut, sampai dia -Aruna- bingung sendiri kala itu.     

Di sisi lain, Herry menjadi merah padam karena kalimat tuannya, "Saya minta maaf," dia menundukkan kepala sejenak.     

"Apa yang kau rasakan?" pertanyaan Mahendra mengundang kerutan samar pada dahi pemuda di hadapannya.     

"Rasakah?" dia bingung dengan kalimat tanya tuannya.     

"Kenapa kau membantunya dan bukan membiarkanku menemukannya? Kenapa kau berpihak padanya? Bukannya menjadi ajudan yang tetap teguh di sisiku," dalam sekejap Herry merasa terpojok, "Ungkapkan saja perasaanmu saat itu, aku ingin memahaminya, aku perlu tahu,".     

Herry tampak merenung sesaat, kemudian dia menegakkan punggungnya dan berujar, "Seperti perasaan saya pada anda, saya secara tidak langsung begitu mengasihi nona. Mungkin, ini juga yang dirasakan tiap ajudan —bahkan termasuk senior Vian. Serupa yang anda tunjukkan pada kami semua bahwa kita bukan sekedar ajudan atau pekerja, kita semua keluarga. Seperti itu pula kami tidak sanggup menolak harapannya. Atau membuatnya dalam situasi sulit" Mahendra mendengar dengan seksama penjelasan Herry layaknya seseorang yang sedang menimbang-nimbang sesuatu, dia mencermati kejujuran ajudannya.     

Sebab keseriusan tuannya, Herry mencoba menambahkan opini dalam kalimatnya, "Nona adalah gadis yang sama, yang membuat kehidupan anda kacau. Anda yang memiliki pribadi kuat pun turut kacau olehnya, lalu bagaimana dengan kami? Ketika nona berusaha mendekati kami yang hanya seorang ajudan, kemudian nona memberi tatapan permohonan pada kami supaya harapannya di penuhi. Saya yakin bukan sekedar karena dia istri anda hingga sebagian dari ajudan—bahkan senior Vian ikut larut memenuhi kehendaknya, melainkan nona punya kemampuan merayu kami. Dia perempuan dengan kemauan kuat. Jika anda bertanya, kenapa sebagian dari kami tak bisa berpaling dari permintaannya? Mungkin anda harus bertanya pada diri anda sendiri, mengapa anda tidak mengendalikannya?".     

Detik itu juga, Mahendra menanggalkan rencana makan malamnya bersama Raka. Bahkan, saat pimpinan divisi itu berjumpa dengannya di lobi gedung, tuan muda tersebut sekedar mengutarakan rasa senangnya melihatnya. Kemudian berjalan cepat menuju mobilnya, lalu menghilang dibawa kecepatan caranya berkendara.     

Raka yang terheran, memutuskan untuk bertanya pada Herry yang masih duduk di meja makan. "Apa yang terjadi?"     

"Tuan tidak benar-benar berniat makan denganmu senior," Herry mengangkat bahunya sejenak.     

"Lalu?"     

"Tuan sedang menimbang-nimbang, emosi apa yang akan dia bawa untuk menghadapi istrinya," dia menghembuskan nafas lelahnya, seharian mengikuti kesibukan tuannya,     

Raka mengangguk ringan, sebelum bertanya lagi pada Herry, "Bagaimana Juan? Si sialan itu ketemu?"     

"Jav beruntung," jawaban singkat Herry menghadirkan hembusan nafas lega dari pria di hadapannya.     

"Syukur lah. Andai dia belum di hajar Andos, sudah kupastikan aku sendiri yang akan menghajarnya!" Gerutu Raka.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.