Ciuman Pertama Aruna

IV-102. Jangan Ulangi Kesalahan



IV-102. Jangan Ulangi Kesalahan

0"Oh ya tuhan.. apakah dia sangat kaya?" Bianca ikut mengintip sesuatu yang di tatap Intan. Surel dari Thomas tersaji pada smartphone putri pertama keluarga Salim.     

Tiara yang duduk pada kursi penumpang di samping pengemudi ikut penasaran, "apa yang kalian bicarakan?" Tanyanya memutar menghadap dua perempuan yang saling merapat, kedua pandangan mereka mengarah pada smartphone di tangan Intan.     

"tidak ada," spontan intan menutup surel dan buru-buru memasukkan alat komunikasinya pada tas jinjingnya yang mewah. Mengabaikan tatapan menelisik adiknya perempuan ini melihat ke arah jendela mobil. Membuang pandangan pada jalanan yang padat dia merasa ada sesuatu yang tak beres.     

Intan sesungguhnya sejalan dengan sudut pandang Tiara bahwa bagaimana pun juga Thomas berasal dari Djoyo Makmur Grup. Apakah orang tuanya akan setuju tentang seorang penyokong dana yang kenyataannya berasal dari keluarga yang mendapat plakat musuh.     

Dan apa alasan Thomas menggelontorkan anggaran pribadi sebesar itu demi menjembatani kerja sama antara departemen Store nya yang krisis dengan mentari plaza? Intan sekadar menatap sekilas apa isi lembar pertama pada lampiran surel Thomas.     

Thomas akan menggunakan uang pribadinya untuk membeli 40% saham mentari plaza dan berniat mendorong kerja sama kedua boleh pihak mengingat mentari Plaza memiliki cabang di berbagai kota bahkan kota kecil sekalipun.     

Intan berharap mobil ini lekas sampai tujuan dan dia menginginkan segera mempelajari dokumen penawaran Thomas. Tulisan pria tersebut berjudul "Kolaborasi membangkitkan Tren Fashion nasional" penawaran yang unik yang lebih mirip jurnal dari pada bujukan bisnis. Tentu saja Intan tak bisa berpaling dari judul tersebut dia menyukai Fashion walaupun sejujurnya ia lemah dalam manajemen bisnis.     

Ayahnya mengabaikan itu dan dia sendiri baru menyadarinya sekarang ketika semuanya telah terlambat. Harusnya CEO bukan jabatan yang tepat untuknya. Menciptakan Tren pasar lebih mungkin sayangnya waktunya tersita oleh pekerjaan harian di kantor dan laporan-laporan rumit yang harus ia tanda tangani setiap saat.     

"Aku ingin kembali ke kantor," celetuk intan pada sang sopir.     

"kamu tak perlu bekerja lebih keras, sepetinya akan percuma. Pulang saja bersamaku," mendengar kalimat Tiara bahkan Bianca spontan menepuk pundak perempuan tersebut supaya lekas bungkam.     

"Turunkan saya di sini!" ketus Intan. Dan benar saja CEO departemant store tersebut turun begitu saja meninggalkan mobilnya dan memilih berjalan sendirian kemudian menghilang bersama taksi yang dia panggil.     

"Kau keterlaluan Tiara," Bianca tidak pernah sungguh-sungguh bertengkar dengan kakaknya angga. Dia tidak memiliki kehidupan keluarga segersang intan dan Tiara. Bianca yang terjebak dalam dua ikatan adik kakak yang sedang berselisih ini membuatnya bingung sendiri antara memburu Intan tapi nyatanya Tiara begitu santai melihat kemarahan kakaknya.     

"Aku bukan orang yang bermulut manis, kamu tahu itu, kakakku perlu berhenti menjadi anak manja ayah yang sekedar mengandalkan wajah manisnya. Dia lebih parah dariku, andai kamu tahu. Biar saja, nanti juga pulang, jalan Pak!"     

***     

"Mama ayo berangkat. Ayolah.. Ma.." pria itu memohon bahkan hampir bersujud di hadapan mamanya -perempuan yang duduk di kursi meja makan-, Bahkan makanan yang baru selesai di santap bersama masih menyisakan piring kotor yang tergeletak di atasnya.     

Tidak ada yang berniat merapikan meja makan selepas putranya mengutarakan niat pergi dari negara ini dengan tergesa. Gesang menghilang sejak semalam. Dan baru pagi tadi.     

Menutup seluruh pintu dan jendela, dia buru-buru membantu ibunya menyelesaikan paking untuk kepergian mereka ke England. Gesang menggeser jadwal penerbangan yang harusnya tiga hari lagi. Ini di luar rencana.     

Ibunya tidak mengerti namun perempuan itu menuruti saja permintaan putranya. Sampai sang ibu menuruni tangga dan mendapati seorang gadis yang menyiapkan sarapan untuk mereka.     

Perempuan ini baru sadar ada yang tidak beres: "kenapa harus sekarang?"     

"Kita tidak punya waktu lagi," balas gesang memohon. Duduk di kursi yang di geser merapat tubuh sang ibu, ia mendekap telapak tangan kanan perempuan tersebut.     

Di sisi lain, Ibu mana yang tak akan goyah. Akan tetapi, seorang ibu selalu di liputi insting yang kuat terhadap putranya. Dia tahu putranya sedang tidak baik-baik saja, terkesan tergesa-gesa sejak kedatangannya. Gesang tanpa sadar menggambarkan tentang dirinya yang akan celaka andai mereka tidak meninggalkan tempat ini dengan segera.     

Namun, siapakah yang bisa mengancam Gesang ketika ayahnya sendiri memutuskan tidak akan peduli dengannya. Rio menemukan mereka atau lebih tepatnya menemui perempuan yang ia sekap bertahun-tahun. Dan perempuan tersebut menghadapinya sebaik ia bisa, bahwa dia sudah mempersiapkan segala umpan panas yang tiap saat dapat di sebar ke publik terkait tindakan penyekapan yang Rio lakukan pada dirinya selama ini.     

Mungkin dirinya adalah mantan asisten rumah tapi perempuan ini tetap manusia dengan isi kepala. Menulis surat wasiat lengkap dengan bukti-bukti yang ada. Ia siap membuka aib Rio pada lawan utama bisnisnya, bahkan musuh bebuyutannya, keluarga Djoyodiningrat andai salah satu dari mereka –Gesang dan ibunya- di nyatakan hilang atau meninggal.     

Ibu Gesang mendapatkan ide tersebut sejalan dengan pemahamannya atas latarbelakang Jav, pemuda yang berbaik hati memberinya tempat tinggal. Pemuda tersebut kadang kala tanpa sadar menceritakan pekerjaannya sebagai Ajudan keluarga Djoyodiningrat, pemuda tersebut sering kali duduk bersamanya, bercanda dengan obrolan ringan dan ternyata Jav begitu banyak bicara ketika keduanya menjadi akrab.     

Beruntung sekali, ancaman itu mampu menjadikan Rio tak berkutik.     

Entah-lah, tak ada yang tahu isi hati dan pikiran pria pecinta tembakau dan kopi tersebut. Apakah ia sengaja memberinya kelonggaran atau ada hal lain? yang pasti Rio menyatakan dirinya tak akan lagi mengganggu. Sang ibu dan putranya masih bisa hidup nyaman di negara ini hingga jadwal kepergian mereka ke England.     

..     

Anehnya dalam keadaan terkendali semacam ini, lantas kenapa putranya demikian panik bahkan memintanya segera berangkat? Siapa gadis yang membeku di sudut meja makan? Kenapa dia harus ikut bersama?     

"Apa kalian berniat kawin lari?" kata pertama yang keluar dari mulut sang ibu.     

"Apakah anakku mengambilmu secara sepihak dari keluargamu?" belum sembat menjawab perempuan tersebut kembali berujar dan gadis itu menggeleng kepala kuat-kuat.     

Mengabaikan bujuk rayu Gesang putranya. sang ibu perlu mengambil keputusan yang tepat. "Lalu kenapa kita berangkat terburu-buru?" ia menatap putranya, detik berikutnya mengalihkan pandangan pada gadis tersebut sembari mengusung ekspresi kebingungan, "Jika memang, kamu kekasih putraku dan keluargamu menyetujuinya. harusnya kita tak perlu pergi secepat ini, sebagai ibu Gesang aku ingin menemui keluargamu,"     

"Tidak bisa seperti itu Ma," tukas Gesang.     

"Dengarkan dulu. Pertalian dua insan alangkah baiknya di mulai dengan jalan yang benar. Biar aku saja yang menjalani kehidupan pernikahan tidak masuk akal, tapi tidak untuk kalian berdua," gadis kurus yang detik ini mendapat tatapan dari ibu Gesang tak bisa berkata-kata.     

Syakilla mengamati ibu dan anak di hadapannya. Dia mulai membayangkan, Apa yang akan terjadi selepas ini? Pastinya akan lebih banyak masalah saat mereka bertiga berhasil kabur.     

Mungkinkah mereka bisa kabur dari dua keluarga yang memiliki pengaruh kuat di negara ini. Andai dulu tantangannya sekedar keluarga Baskoro –keluarga ayahnya- dan tentu saja Diningrat. Kali ini, ia dan Gesang tak akan luput dari buruan tuan muda Djoyodiningrat. Pria bermata biru itu pasti turun tangan. Tentunya ia merasa terhina ketika tak bisa mengembalikan Syakilla tepat waktu.     

"Kembalilah ketempatmu," tiba-tiba suara lembut itu mendorong kesadaran Syakilla bahwa upaya ini mustahil.     

"Ma.. Mama tak boleh berkata seperti itu, kami bisa bertemu bahkan aku bisa membawanya di hadapan mama," Gesang berhenti berkata, ia enggan mengutarakan isi kepalanya.     

"Dengan cara diam-diam? Kalian kabur -bukan?" Ibu Gesang menduga, dan pria itu menunduk mengakui.     

"Ada kalanya kita harus berdamai pada keadaan. Aku tahu menyakitkan sekali saat kita merelakan sesuatu yang terlanjur kita yakini dan kita cintai," perempuan yang kini terlihat lebih segar membelai rambut putranya. "Menghindari bencana yang lebih besar dengan menahan apa yang di hati, -lebih terhormat. Silakan kalian pergi. tapi Mama tak bisa ikut, kalau caranya seperti ini," perempuan tersebut beranjak dari tempat duduknya.     

"Ma.." Gesang menengadah menatap mamanya.     

"Maaf sayang, jangan ulangi kesalahan ayahmu," dalam sekejap sebuah kabut hadir di mata perempuan di hadapan Gesang. Tangan yang membelai rambut itu turun meninggalkannya. Sang ibu bangkit dari duduknya. "Kembalikan dia.." kalimat perempuan tersebut belum usai tatkala ketukan mengeras di ambang pintu. Dan dengan kooperatif sang ibu membuka pintu. "mereka di dalam Jav,"     

"Terima Kasih tante,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.