Ciuman Pertama Aruna

IV-101. Mengapa Dia Disini



IV-101. Mengapa Dia Disini

"terima kasih jamuannya," intan berjalan mengiringi langkah Thomas. Dua dari empat orang yang baru saja keluar dari resto tampak sengaja berjalan lebih lambat dari yang lain. Keduanya jauh tertinggal dari Tiara maupun Bianca. Sehingga Intan mempunya kesempatan bicara dengan pemuda berambut platinum tersebut.     

"Saya minta maaf," dengan nada bergetar yang bahkan kesulitan mengatur nafasnya gadis ini merasakan pria di sampingnya berhenti berjalan.     

"Buat apa," Thomas memutar arah tubuhnya 90 derajat, hingga pria tersebut bisa mengamati kekacauan yang di sembunyikan Intan. "keuangan sedang tidak baik?" dia menduga dan sesungguhnya lelaki ini sudah tahu lebih jauh dari isi kepala lawan bicaranya.     

"Tapi saya tidak berkenan andai anda memilih menjual saham kami ke orang lain," Intan mempertahankan harapannya.     

"kamu takut aku akan merugi dan kau terpaksa menyerahkan sekian persen sahammu untukku?" To the point, Thomas membuat pernyataan yang ditakuti Intan.     

Melihat intan berdiri kaku dan kehilangan kata, Thomas tersenyum samar. "Sepertinya anda belum membuka email yang saya kirim," dan bibirnya kian lebar sampai mata pria ini menyipit. "jangan khawatir, saya hanya butuh nama anda untuk membeli saham Mentari Plaza,"     

"Maksudnya?" Intan menjadi bingung.     

"Baca surel yang saya kirim, setelah itu kemukakan pertimbangan anda terhadap penawaran saya," lalu pria itu berjalan lebih cepat menuju lift. memencet dan mendahului masuk ke dalam kotak baja. Artinya, secara otomatis tubuh pria dan wanita itu perlahan menuruni gedung bertingkat.     

"Jujur saya belum bisa memahami, kenapa anda terkesan membantu saya dari pada berbisnis," sesuatu di dalam kepala Intan berkecamuk hebat, 'jika Bianca mengatakan si misterius Thomas ternyata seseorang yang memiliki pemahaman yang baik tentang bisnis, bahkan di tunjuk sebagai perwakilan khusus pimpinan DM grup dalam berbagai pertemuan penting. buat apa dia mengabaikan pengetahuannya terkait bisnis dan malah berinvestasi pada perusahaan yang berada di titik krisis?' pertanyaan Intan tak terjawab sampai dirinya memasuki mobil dan menyisakan pria yang melambaikan tangan di depan lobi mewah hotel terbaik di kota ini.     

***     

"Tuan?" Seorang gadis baru membuka pintu gerbang ketika pemuda yang di kenali keluar dari mobil mewah. Pemuda itu adalah ajudan yang erat dengan pria yang paling berpengaruh di lingkungan kerjanya.     

Membantu sang pemuda mendorong pintu gerbang supaya lekas terbuka lebar, Kihrani melihat gerakan gesit Herry kembali ke dalam kursi kemudi dan mobil mewah tersebut melintasi dirinya. Ia terpaksa menunduk sekejap, pria yang duduk di kursi penumpang ialah suami nona Aruna. Matanya yang biru menatapnya sekilas, dan ketika gadis ini mendekati motornya kemudian ia memasang helm. Sang tuan berhenti melangkah, "kamu," dalam sekejap kihrani yang tadinya di abaikan menjadi fokusnya. "siapa namamu? Maaf aku lupa,"     

"Kihran, nona memanggil saya begitu," jawab singkat gadis yang detik ini mengurungkan niatnya mengunci pengait helm di ujung jemarinya. malah berakhir berdiri kaku di samping motor matic-nya.     

"Oh' benar ternyata," tangan Mahendra naik sedikit dan telunjuknya keluar dari genggaman. Ia menunjuk dengan ritme konstan semacam mengingat sesuatu, "Ajudan rekomendasi istriku?"     

"Benar Tuan," Kihrani berdiri lebih rapi. Seperti yang di ajarkan Susi punggungnya ia buat tegap, sesopan mungkin.     

Lelaki bermata biru itu mengamatinya lebih lekat kali ini seolah menggali sesuatu. Ketika dia tampaknya hendak membuka mulut untuk memberinya pertanyaan berikutnya, Vian datang menyapa.     

"Silakan masuk, saya merasa terhormat anda datang," entah apa yang terjadi, Vian membuka pintu lebar. Tangan kanannya mempersilahkan lelaki bermata biru itu masuk namun tangan kirinya yang berada di belakang punggung bergerak mengibas-ngibas, gerakan samar dan cepat, mengharapkan kihrani lekas pergi.     

Kihrani buru-buru mengunci helmnya dan mendorong motornya. Vian seolah tengah menyelamatkan mereka berdua -entah dari apa. Kihrani sendiri tak mengerti, tapi dia mengikuti instruksi Vian sebaik mungkin sejalan dengan ekspresi keseriusan yang sempat menghiasi wajah Vian ketika menemukan lelaki bermata biru berkomunikasi dengan dirinya -kihrani-.     

Sayangnya tuan muda Djoyodiningrat tak semudah itu memenuhi harapan orang lain. Ia berhenti melangkah bahkan menghentikan gadis yang mendorong motor hampir mencapai batas gerbang. Kihrani terpaksa berhenti.     

"Ada urusan apa? kau yang di sana, berada di rumah ini?," hendra menjatuhkan pandangan yang awalnya pada gadis dengan motor matic ditangannya kini berpindah pada Vian. "mengapa dia di sini?" hendra menatap Vian.     

"Dia, em.. kami sepasang-,"suara Vian tertelan ketika gadis di ujung gerbang tak ingin pernyataan kacau keluar sebagai pengakuan palsu Vian.     

"Saya di minta nona," Kihrani menyerobot penjelasan Vian. Mendengar pengakuan Kihrani mata vian melebar dan wajahnya menjadi pucat yang kemudian berubah merah padam. Kihrani mengerutkan keningnya, apa yang salah dari kejujuran?. Gadis tersebut tak mengerti.     

"Oh' begitu ya," tuan muda Djoyodiningrat mengangguk-angguk ringan. Selanjutnya mempersilahkan gadis dengan tas di punggungnya melanjutkan niatnya pergi.     

Kini yang tersisa adalah Vian yang terlihat kehilangan muka ketika ia mengikuti langkah memimpin Mahendra -memasuki hunian sang pimpinan divisi. Hendra duduk pada salah satu sofa, tak jauh dari sofa yang biasa dimanfaatkan Vian membaringkan punggungnya sekaligus menghabiskan waktu selepas dinyatakan tidak di perkenankan banyak menjalankan aktivitas fisik.     

"Apakah kamu cukup sehat?" kalimat ini semacam sarkas yang ditujukan pada Vian. Pria tersebut masih berdiri. dia enggan duduk di sofanya sendiri padahal Vian jelas perlu segera membaringkan tubuhnya mengingat kondisi dadanya kurang baik.     

Sedangkan dalam sudut pandang Vian, duduk di sofanya sama halnya dengan siap di interogasi. Vian tak sepenuhnya mengerti kenapa pria ini tertarik membuka percakapan bersama Bomb. Tapi, pernah kan lelaki bermata biru bertindak tanpa pemikiran? Dan itu l ah yang ditakutkan Vian. Vian hafal betul segala ketertarikan yang di ciptakan sang presdir merupakan bagian dari kejeliannya.     

"Jadi bagaimana kondisimu?" sekali lagi Hendra membuka percakapan, kali ini ia bernada ringan sesaat selepas Vian terbaring pada sofa khususnya bersama beberapa bantalan sofa yang menyangga tubuh tersebut.     

"menurut dokter martin, saya perlu menjalani satu pemeriksaan total sekali lagi hingga di nyatakan sembuh. Hanya saja-"     

"Apa efek samping tembakan itu?" hendra sepertinya memahami kondisi vian dengan baik. Yang vian tidak tahu bahwa tim dokter yang meninjau perkembangan para korban ke biadapan tarantula selalu mengirimkan laporan harian kepada sang presdir.     

"Tangan saya tidak akan mampu berkendara lama baik mobil maupun motor." Jelas Vian.     

"bagaimana dengan mengangkat benda?" lanjut Hendra.     

"Dokter Martin tidak menjelaskan, lain kali akan saya tanyakan," Hendra mengangguk ringan menanggapi monolog Vian.     

"Herry!" Ajudan itu buru-buru keluar dari klaster Vian, tatkala kembali dia membawa sesuatu di tangannya. Jelas, tuan muda Mahendra memberi Vian sesuatu bernilai sebagai simbol kedatangannya dalam rangka menjenguk para korban.     

"Baik, sekarang jelaskan padaku. Tentang -apa yang baru kulihat," Permintaan mahendra demikian implisit.     

Vian mengangkat bahunya tidak paham.     

Sejenak lawan bicara vian tersenyum janggal, "Menurutmu, apakah aku perlu menurunkan kualitas komunikasi yang keluar dari mulut kita?"     

Vian kian bingung.     

"Heh! Baiklah!" alisnya hampir menyatu tatkala berkata : "ada kaitan apa istriku mengirim ajudan pribadinya ke rumah ini?"     

'mati aku!' Vian memejamkan mata, mencoba sekuat mungkin mengoperasikan isi kepalanya. Berharap menemukan alasan yang tepat.     

"jangan buat aku menunggu!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.