Ciuman Pertama Aruna

IV-99. Menghentikan Masa Hukuman



IV-99. Menghentikan Masa Hukuman

0"Iya, sebentar," Thomas memutar handle pintu, dan seketika dia melebarkan matanya. Ajudan yang erat dengan tuan muda Djoyodiningrat detik ini tengah berdiri di depan kamarnya. "Ada apa?"     

"Tuan menunggu anda di huniannya,"     

"Oh' baiklah," Thomas sudah menduganya ketika dia menemukan Herry. Lelaki tersebut bergegas masuk ke dalam untuk meraih blazer dan buru-buru mengenakannya, tak ketinggalan pula menenteng tab yang dulu selalu menemaninya bekerja. "Bagaimana suasana hati tuan?," ketika memasuki lift, dia mendapati sebuah kaca dan spontan dimanfaatkan untuk menata rambutnya. Rambut yang dibiarkan tergerai kini ditata dengan sedikit gel sehingga terlihat lebih rapi, kecuali beberapa bagian yang mengharuskannya menyelipkan di balik telinga.     

"Siapa yang bisa membaca suasana hatinya?" Herry menjawab pertanyaan dengan bertanya balik. Keduanya sekilas saling bertemu mata dan Thomas menemukan jawaban dengan caranya tersebut, bahwa tuan muda Djoyodiningrat bahkan tidak bisa diprediksi oleh ajudan yang paling erat dengannya. Pemuda dengan pembawaan tenang itu berakhir mengamati pria dengan rambut sebahunya, dan memberi ekspresi telisik yang unik. Ada senyum tipis di bibirnya, serta mata lebarnya yang cemerlang ikut menyipit sekilas.     

"Apa yang kau lihat?" Thomas menginginkan jawaban dari Herry. Dia tahu bahwa pemuda di sebelahnya tidak sedang menghinanya, melainkan menggoda dirinya. Pria dengan rambut halus di dagu itu penasaran, apa makna ekspresinya yang terlihat janggal tersebut.     

"Lama tidak melihatmu dengan—," Herry menggerakkan tangannya naik turun walaupun pemuda tersebut konsisten menatap ke depan, namun dia tengah mengomentari penampilan Thomas.     

Tahun yang gelap sudah menghancurkan pria yang hobi memanjangkan rambutnya tersebut. Lebih dari setahun, Herry atau siapa pun yang mengikuti perkembangan Thomas kehilangan aura maskulin yang dulu memancar tiap saat, setiap lelaki ini bertugas.     

"Apa aku kelihatan terlalu bersemangat?" walaupun Herry tidak mengomentari secara lugas tentang penampilannya, Thomas tahu pemuda itu memberinya pujian.     

Herry menggelengkan kepalanya sebelum pintu lift terbuka dan tak jauh dari tempat mereka berjalan, Thomas menemukan pintu hunian tuan muda yang menginginkannya kembali ke negara ini.     

"Bagaimana perjalananmu?" Thomas masih berdiri kaku ketika lelaki bermata biru mengetahui kedatangannya, yang kemudian di susul meletakkan notebook 14 inci dari tangannya. Di samping caranya duduk santai dengan kaki saling bertumpu, Mahendra menggerakan kepalanya meminta pria dengan rambut sebahu tersebut ikut duduk bersamanya.     

"Saya mendapatkan fasilitas first class, tentu saja lebih dari nyaman untuk saya," Thomas bergerak lambat menuju tempat duduk, ketika Herry memilih mundur menyisakan mereka berdua.     

"Aku tidak suka basa basi," mata biru itu mengamati dengan seksama penampilan Thomas. Detik berikutnya, bibir tuan muda di tarik ke samping dan matanya menghangat, "Aku ingin mengetuk pintu kamarmu dan mendiskusikan ini secara langsung. Aku tidak menyangka kau memilih kamar tipe terendah. Kenapa kau melakukannya? Apakah tunjangan yang diberikan keluarga Djoyodiningrat tidak cukup untukmu?"     

"Tentu saja lebih dari cukup," jawab Thomas meyakini.     

"Lalu?" Mahendra butuh jawaban yang lebih jelas.     

"Saya sadar posisi saya, dan saya rasa diizinkan bermalam pada salah satu kamar Djoyo Rizt hotel termasuk keberuntungan saya yang luar biasa," Andai nona dan keluarga tuannya tidak mengampuninya, bisa jadi Thomas masih menghuni ruang putih di bawah lantai gedung bertingkat ini.     

"Aku meminta Herry memindahkan barang-barangmu ke kamar first class," mata biru Mahendra kembali memandangi layar yang menyala, sekilas.     

"Tidak perlu, tuan. Saya–" Mahendra memindahkan pandangan dari smartphone ke arah Thomas. "Terima kasih," imbuhnya, menutup penyangkalan dengan persetujuan. Tatapan pria di hadapannya membuatnya tak bisa berkutik kecuali mengiyakan.     

"Seperti apa rencanamu mempengaruhi Intan?" tuan muda Djoyodiningrat melompat dari sebuah permintaan yang bersifat personal, ke sebuah pertanyaan tentang pekerjaan.     

Thomas lekas memfokuskan dirinya. Mengeluarkan sesuatu dari tas yang dia bawa, lelaki tersebut menampilkan jumlah saham yang dimiliki Mahendra pada departement store milik keluarga Salim, termasuk taksiran nilai uang yang dimiliki tuan muda itu sejak memutuskan menyuntikkan modal pada store milik keluarga Salim yang tengah menghadapi krisis kala itu.     

"Anda hampir menyentuh 50% kepemilikan. 47,25%, ini angka yang sengaja mereka jaga," tentu saja tidak ada pemilik perusahaan yang menginginkan penanam modal bisa melebihi angka 50%. Hal ini semacam egosentris, atau mungkin bagian dari mempertahankan diri. Tujuannya, tentu saja demi sugesti terkait perusahaan tersebut masih miliknya.     

"Apa kau menemukan pemegang saham lain? Selain aku dan keluarga Salim?" dia menggali informasi lebih lanjut.     

"Anda membeli semua yang dilepas departement store Salim," Thomas bisa melihat Mahendra tersenyum puas.      

"Sayangnya, akhir-akhir ini salah satu dari kepalanya tahu bahwa saya bagian Djoyo Makmur group," imbuhnya.     

"Mereka harus tahu, cepat atau lambat," Mahendra berujar ringan dan kembali meraih smartphone, memainkan jarinya di atas layar sentuh tersebut. Mengetahui Thomas terdiam oleh ucapannya, tuan muda tersebut menghentikan aktivitasnya. Mengangkat wajahnya, dan menemukan ekspres ragu pada raut muka pria di hadapannya. "Apa yang ada di kepalamu?" suaranya mendorong kalimat yang sempat terhenti di tenggorokan mantan kepala divisi negosiasi tersebut.     

"Saya bakal membuka identitas saya hari ini," Mahendra berdehem ringan, "Di pertemuan pertama saya? Bagaimana pendapat anda?".     

"Aku tidak begitu peduli dengan proses, yang aku mau ialah hasil akhir sesuai target," Thomas mengangguk memahami sepenuhnya cara kerja pria di hadapannya.     

"Terima kasih anda percaya pada —saya, sepenuhnya," kalimat Thomas hampir menggantung di udara, sesaat ketika melihat notebook di tangan tuan muda Djoyodiningrat bergeser membelah meja kaca di antara mereka dan mendarat di tangannya selepas dia tangkap. Manik hitamnya naik menatap sejenak Presdir Djoyo Makmur grup, sebelum menenggelamkan diri membaca portal online.     

"Apa pendapatmu tentang itu?" pertanyaan Mahendra, selepas memberi waktu Thomas untuk membaca sebuah portal berjudul: Di tengah gempuran unjuk rasa, CEO Djoyo Makmur group meninggalkan kursinya.     

Terdengar kekeh singkat, sesaat sebelum Thomas berujar, "Sangat mengada-ada," dia memberi jawaban ringan. Jelas di luar konteks yang diinginkan Presdir yang menunggu komentarnya.     

Lelaki yang kini mengenakan kaos polo hitam dengan blazer abu-abu gelap, hanya tidak tahu apakah dia berhak menanggapi portal yang sepertinya akan digiring tuan muda sebagai bahan percakapan mereka, atau mungkin bahan assessment terhadap dirinya. Dia perlu mengusir sesuatu yang melintas di pikirannya.     

"Ada yang lain?" Mahendra kembali bertanya.     

"Pak Surya mustahil meninggalkan jabatan, kecuali terjadi hal yang terburuk dari yang paling buruk," lawan bicaranya mengangguk mendengarkan komentar Thomas.     

"Dia tidak akan kembali, mungkin satu atau dua bulan masa penyembuhan. Apakah kau mengikuti perkembangan perusahaan selama di Milan?" Thomas menggelengkan kepalanya, ada ekspresi duka yang dia sajikan sebagai bagian menghargai keresahan yang mungkin dipendam Presdir DM Group.      

Surya bukan orang biasa bagi lelaki di hadapannya, dan dia memahami itu, walaupun Mahendra tidak menunjukkan emosi apa pun.     

"Saya menghabiskan banyak waktu di kampus dan menyelesaikan tugas study saya, terdengar sangat naif. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa saya menikmati masa hukuman saya," Thomas tidak lupa bahwa dia diminta tetua terbang ke Milan sebagai bagian dari hukuman.     

"Apakah kau akan kecewa jika aku menghentikan masa hukumanmu dan menggantinya dengan tugas lain?,"      

Mata Thomas terlihat melebar sesaat, apakah mungkin sesuatu yang sempat melintas di kepalanya sedang dihidangkan lelaki bermata biru padanya, saat ini?. "Aku akan jujur," Mahendra mendesah, lalu meraih note booknya. "Aku membutuhkan seseorang yang bisa menggantikan posisi Surya, semacam pelaksana tugas sementara. Kondisi perusahaan stagnan tanpa Leader. Aku tidak menemukan orang lain yang lebih paham darimu tentang bisnis dan tentu saja kondisi-kondisi tertentu terkait perseteruan yang diturunkan padaku," dia menghentikan kalimatnya ketika dia mendapatkan ekspresi ragu dari lelaki di hadapannya. "Tapi kalau kau merasa mustahil meninggalkan study mu, aku tidak akan memaksa,"     

"Bukan begitu tuan," Thomas memberanikan diri membalas ucapan Mahendra, "Anda seharusnya tak melupakan kekacauan besar yang saya perbuat, saya merasa kurang pantas. Terlebih jabatan saya terakhir adalah supir pribadi anda, saya rasa anda perlu meninjau ulang keputusan anda,"     

Mahendra tersenyum tipis. "Kau meremehkan intuisiku? Apa kau pikir aku orang yang melangkah tanpa memfungsikan isi kepala? Hah!" nada suaranya berubah sedikit kasar.      

"A-apa? Saya -saya tidak," menjadi bingung, Thomas tidak tahu dia harus bicara apa, "Tidak mungkin meragukan keputusan anda. Hanya saja—"      

"Jika kau tidak ragu padaku, kau tak akan menentang keputusanku. Apa lagi memintaku meninjau ulang!" Mahendra merasa puas karena berhasil memainkan lidahnya dengan baik, sehingga Thomas terperangkap olehnya dan tidak perlu memaksanya seperti saran Surya. Mantan kepala divisi negosiasi itu hanya perlu di jebak dengan umpan kata-kata yang juga sering di mainkan lelaki berambut sebahu tersebut.     

"Anda sedang menjebak saya saat ini," Thomas pasrah pada akhirnya.     

"Baguslah kau memahaminya dengan baik," Senyum tipis kembali disajikan oleh Mahendra. "Sudah cukup berpura-pura naif. Lakukan tugasmu hari ini, dan ikuti Herry besok pagi. Aku dan Surya menunggumu menerima tanda tangan serah terima,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.