Ciuman Pertama Aruna

IV-98. Lelaki Keras Kepala



IV-98. Lelaki Keras Kepala

0"Serupa?" mata Kihrani naik ke atas searah dengan cara lelaki di hadapannya menarik perlahan rambutnya ke bawah melalui tangan yang menyusup pada sela-sela rambut di belakang kepala hingga dagu gadis itu mendongak, menengadah. "Kalau kau sampai berbuat buruk, aku tak segan-segan mengadu pada nona," ancamnya, menutupi rasa takut yang melandanya.     

Vian berperawakan besar dibanding dirinya yang tengah meringkuk, duduk di atas karpet. Meja lipat adalah benda rapuh yang mustahil melindunginya andai pria —penuh obsesi menurut Pradita, tersebut memutuskan berperilaku nekat.     

Kihrani merasa Vian sedikit berbeda. Pria tersebut bahkan memainkan tangan kanannya yang lemah untuk menyusuri rambutnya, selepas tangannya yang kiri menarik pita yang mengikat kuat rambut hitam pekat.     

Gadis yang memiliki rambut hitam pekat dan terlihat sehat sekaligus halus memanjang sampai pinggang, melebarkan matanya sebelum berujar, "Hentikan!" Kihrani mencengkeram kedua lengan Vian, dia berhasil membawa kesadaran pria yang menatapnya dengan sendu.     

"Aku berhenti bekerja!" dia menurunkan tangan Vian —sedikit dilempar, tapi tidak dengan tangannya yang kanan.     

Merapikan bukunya buru-buru, Kihrani tidak menyadari sang pria yang menjadi lawan bicaranya kini terduduk kalut dan kosong.     

Sebelum Kihrani bangkit, ternyata Vian beranjak lebih dahulu meraih remot yang dia pikir sebagai alat pengatur sistem cluster mewahnya. Pria tersebut menjatuhkan benda itu tak jauh dari keberadaan gadis berambut panjang, lalu berjalan dengan kosong dan membuka pintu, selebihnya menghilang begitu saja.     

Kihrani tidak tahu bahwa Vian memasuki kamarnya dan meringkuk di atas ranjangnya sendiri.     

~~~     

"Ian sayang, bawa ini dan pergi ke rumah bu guru," perempuan itu menyerahkan sebuah tas punggung berisi baju serta perlengkapan laki-laki kecil di hadapannya.     

"Kenapa mama merapikan bajuku?" dia bertanya dengan suara polos khas anak kecil.     

Mengabaikan pertanyaan tersebut, perempuan itu berujar dengan nada ketus. "Jangan bertanya, lakukan saja!"     

"Kenapa muka mama lebam-lebam?" suara laki-laki kecil itu bergetar, terlihat jelas dia khawatir dengan perempuan yang dia panggil 'Mama'. "Mama kenapa?".     

"Aku bilang pergi sekarang! Cepat!"     

Vian masih menyimpan ingatannya, tatkala dirinya memanjat jendela seiring bersama suara pintu kamarnya yang di gedor-gedor kasar hingga kala itu dia merasa ketakutan, "Lari secepat kau bisa! Serahkan kertas mama pada bu guru!" belum sempat dia bertanya, perempuan itu menutup ventilasi tersebut dengan keras. Itulah terakhir kalinya Ian kecil melihat ibunya sebelum garis polisi melingkari rumah di gang sempit, dan wajah ibunya di perlihatkan sekejap dari balik kantong kuning yang diangkat para petugas keamanan.     

Vian malah lupa bagaimana dia berakhir di Yellow House, sebab dia terlalu sibuk menangisi ibunya.     

Di usianya yang baru menginjak sembilan tahun, dia berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Hal pertama yang dia inginkan hanya satu, mengungkap kasus kematian ibunya di masa depan.     

Saat dia telah dewasa. Tampaknya, itulah mengapa di usianya kini dia bisa menduduki posisi cukup strategis. Menjadi salah satu anak angkat tetua Wiryo, lolos seleksi bergengsi sebagai pimpinan divisi penyidik di bawah lantai gedung bertingkat milik Djoyo Makmur group.     

.     

.     

[Apa kalian sedang sibuk?] Vian membuat panggilan.     

[Jangan bilang kau kesepian dan memintaku masak untukmu] ejek suara di ujung sana.     

[Salah. Pantry ku dipenuhi makanan, masalahnya aku sedang bosan] dia menghembuskan nafas sedikit kasar.     

[Itu sama saja, aku tidak bisa! Juan membawa kabur Syakilla. Timku yang berharga di kerjai ajudan-ajudan sialan itu. Ah' mereka terlalu percaya dengan putra Diningrat, membuat gaduh saja!] ujar Pradita jengkel. Dia dan timnya harus mendapat pekerjaan tambahan, menemukan Syakila dan Juan.     

[Oke, lanjutkan kalau begitu] Vian bangkit dari ranjangnya.     

Setelah hampir satu jam berdiam diri atau lebih tepatnya menenangkan diri, tampaknya keluhan Pradita berhasil membawanya ke masa kini.     

Pria tersebut tertawa geli, mengingat dia lah yang menemukan tempat persembunyian Juan. Sejujurnya, informasi berharga itu adalah pesanan nona muda Djoyodiningrat demi barter dengan gadis yang punya rambut seindah ibunya, netra hitam dan bulu mata pekat yang serupa pula.     

'Sial! Dia memang cantik' dan kian cantik di mata Vian, sebab dia bisa merasakan aura serupa ibunya. Perempuan muda, pekerja keras dengan satu anak yang dia rawat seorang diri, tanpa suami dan sanak saudara.     

Andai orang lain mau menutup mata tentang pekerjaan atau status sosial, ibunya adalah perempuan istimewa dengan kalimat-kalimat penyemangat yang belum pudar dari ingatan Vian.     

"Kalau besok Ian di kata-katai lagi, berusahalah menjadi tuli. Kita tidak bisa mengatur pikiran orang lain saat menilai diri kita. Tapi, Ingat ini! Kita bisa mengatur apa yang kita pikirkan terhadap diri kita sendiri," pesan itu diselipkan ketika Vian pulang babak belur dihajar teman-temannya, dia tidak terima anak-anak sialan itu menjadikan latar belakang dirinya dan mamanya sebagai bahan olok-olok. Maka dari itu, si bocah mungil kelas satu SD tersebut berani memukul kakak kelasnya.     

"Tidak dihargai orang lain tak akan melukai kita, kecuali kita sendiri terpengaruh hingga ikut-ikutan memberi penilaian buruk terhadap diri sendiri. Ian harus bisa memisahkan dua hal ini. Ian tetap berharap, selama Ian bisa memandang positif diri Ian sendiri," Vian masih ingat rasa hangat pelukan mamanya.     

.     

.     

Sayang sekali, ajudan perempuan berambut hitam pekat itu selalu bersitegang dengannya.     

Membuka pintu kamar, suara langkah kaki Vian menuruni tangga sejalan dengan gerakan gadis —yang duduk pada sofa ruang tengah, berdiri menatap pria tersebut.     

Vian mengernyit, bukan karena dadanya sakit. Hanya saja dia heran, mengapa Kihrani masih disini. "Kau??" pria tersebut menghentikan langkahnya. "Kau bilang ingin pergi kuliah lebih awal,"     

"Kau memberiku remot AC. Apa kau lupa remot pintu sudah hancur?" dia yang bicara berujar kesal. Matanya yang menatap Vian yang menuruni tangga, lalu berpindah menatap nanar benda hitam yang bercerai berai tak jauh dari keberadaan dirinya.     

Menunduk, gadis ini berakhir jongkok membersihkan baterai yang berserakan. Satu jam sudah menyia-nyiakan waktu dan selama itu pula, dia mengabaikan semua yang dia lihat. Kihrani bolak balik berniat mengetuk pintu kamar Vian. Nyatanya, dia tak punya keberanian selepas pria itu berani mendekati dirinya sejam yang lalu.     

Keduanya sering kali mengejek dan bertengkar, tapi sekalipun tak pernah dirinya dan Vian sedekat itu sampai-sampai nafas pria tersebut bisa dia dengar.     

"Hehe, aku lupa" Vian terkekeh, dan tentu saja tak ada rasa bersalah. "Bagaimana aku bisa lupa, ya?" Gadis galak itu meliriknya sekilas, enggan bertautan mata. Pria tersebut masih menuruni tangga ketika dia berujar, "Buat panggilan dengan telepon rumah, kode 05,"      

"Baiklah," Kihrani bergegas menjalankan perintah lelaki tersebut. Tak lama kemudian dia mendapati seorang perempuan dan laki-laki membuka pintu dari luar, lalu menyerahkan remot baru selepas di pastikan berfungsi.     

Gadis berambut hitam pekat itu baru tahu siapa dan untuk apa dua orang yang baru datang tersebut, selepas mereka menanyakan kenapa tak diizinkan membersihkan rumah serta menyiapkan kebutuhan Vian padahal pemuda itu sedang sakit. Dan dengan demikian, Kihrani sadar bahwa selama ini dia mengerjakan tugas orang lain.     

Vian menyia-nyiakan fasilitas yang disediakan cluster mewahnya dan membuat Kihrani terperangkap di tempat tersebut seperti pembantu rumah tangga, masak tiga kali dan membersihkan rumah mewah sepanjang hari.      

Ketika dua orang pelayan sudah pergi, tersisa Kihrani serta Vian di ruang tengah, gadis berambut hitam panjang itu enggan keluar dari cluster tersebut. Dia merenungi banyak hal selama satu jam penuh. "Vian, aku sudah bilang sekeras apapun kegilaan yang kau buat, aku tidak akan bisa menerimamu. Aku bukan gadis yang tumbuh dari keluarga utuh,"     

"Sama," Vian menimpali.     

"Tunggu dulu, biar aku bicara!" dia mengambil oksigen sebanyak-banyaknya, "Aku yakin kau tahu bagaimana anak-anak broken home memandang hubungan percintaan?" Pria itu mengangguk.     

"Tapi bukan berarti nasib yang sama terjadi padamu, iya 'kan??" Vian mencoba mencari celah untuk mematahkan argumen Kihrani yang dirasa-rasa menuju ke penolakan.     

"Ya. Tak ada yang menginginkan itu. Masalahnya, ibuku yang menghancurkan kehidupan kami, aku dan adik-adikku. Sedangkan diriku sendiri seorang perempuan. Itu tidak mudah." Kihrani melirik ke arah kanan mengais memorinya, Vian tahu itu. "Aku tidak bisa hidup bahagia sendirian. Ada dua adik yang harus aku besarkan, termasuk ayahku yang kadang masih suka melamun. Jadi, apakah kau bisa melihat alasan mengapa aku tak bisa menerimamu?,"      

"Sama sekali tidak ada," konsisten, Vian mematahkan segala alasan Kihrani.     

"Apa??, Selain aku tidak percaya dengan komitmen sepasang kekasih —bahkan suami istri, aku tidak punya waktu untukmu, seperti menemanimu nonton bioskop, jalan-jalan, atau hal semacam itu. Kemewahan seperti itu mustahil ada di hidupku. Bukan karena aku tak punya uang, aku bahkan miskin waktu. Jadi kurasa, aku tak menemukan dimana hubungan baru harus ku letakkan?!" dia bicara panjang lebar dan Vian suka mendengarnya.     

"Tak masalah, aku tidak menuntut apapun darimu," Vian tetap konsisten.     

"Kau aneh!" Kihrani mendidih, "Dan keras kepala!" gadis ini menarik tasnya, memilih pergi dari hunian lelaki yang tak bisa diajaknya bicara.     

.     

"Tuan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.