Ciuman Pertama Aruna

IV-97. Rambutmu Sangat Indah



IV-97. Rambutmu Sangat Indah

0Dasar menyebalkan! Kau menguncinya! Berikan padaku remotenya!" suara gadis itu berapi-api, berjalan cepat menuju ke arah Vian.     

Hal yang paling tidak terduga detik berikutnya terjadi, Vian melempar remote tersebut ke langit-langit. Bersama dengan apa yang dilihat, Kihrani berlari lebih cepat, berharap dia bisa menggapai benda yang terbang ke atas.     

Kenyataannya, remot tersebut meluncur ke lantai dan berakhir hancur berkeping-keping. "Kau! Vian, bodoh!" kepala gadis itu bak air panas mendidih. Mendekati pria yang memasang wajah tak berdosa, tangannya terangkat, sayang dia tak akan mampu memukulnya. Memukul laki-laki yang dadanya masih terluka.     

Tapi bukan Kihrani kalau dia kehilangan ide melampiaskan kekesalannya.     

Tangan kiri Vian yang berupaya melindungi dirinya dari penyerangan gadis yang mungkin saja berakhir memukulnya, diraih. Tanpa diduga, Kirani menancapkan giginya pada lengan tersebut sekuat-kuatnya.     

"Aargh!! Kau gila! Sakit tahu," Vian mencoba menarik tangannya. Sayang sekali, cengkeraman gadis itu lebih kuat dari yang dia bayangkan. Pria tersebut berusaha menggerakkan tangan kanannya tapi tidak sanggup.     

Hingga perlahan-lahan, Vian mendekatkan kepalanya ke arah lengan yang dicengkeram gigi Kihrani. Gadis itu tidak menyadarinya sampai dahi lelaki itu menyentuh rambutnya. 'Kenapa dia mendekat??' matanya membelalak selebar-lebarnya.     

"Kyaaaa!" Kihrani melompat mundur, melepaskan tangan Vian dalam sekejap, selepas pria tersebut dengan keabsurdtannya mengendus sudut di antara hidung dan pipi gadis berambut panjang itu.      

"Aw! Sakit sekali," suara rintihan Vian sembari mengusap-usap lengan yang menyisakan bekas gigi gadis yang masih syok tersungkur di lantai, dia tampak kacau. "Apa kau setengah vampir? Lihat! Gigimu menciptakan bekas yang sempurna!!" gertakan pria tersebut mendapatkan gelengan kepala dari Kihrani.     

Tidak ada jawaban, Kihrani berdiri gusar dan buru-buru berlari ke pantry. Vian takut andai dirinya membuat si pemarah satu ini menangis.     

Mengabaikan rasa sakit di tangan dan dadanya, lelaki bermata sendu berdiri lebih lambat menyusul arah langkah Kihrani. "Kau tak apa?" Vian pikir, dia bakal disambut dengan mata merah berkaca-kaca. Kenyataannya, gadis berambut panjang tersebut sedang menggosok bagian wajahnya yang mendapat tempelan bibir pria itu menggunakan air wastafel.     

Matanya masih menyala penuh permusuhan, dan mata sendu yang mendapati hal itu merasa lega. Dia bahkan tersenyum di dalam hati. 'Ya, ini baru Bomb,' gumamnya, mendapatkan intimidasi dari tatapan gadis yang jelas sedang menghinanya.     

"Kau tidak akan rabies karena bibirku!" ejek Vian. "Minggir!" dia mengusir Kihrani dari depan wastafel. Kini, giliran pria tersebut yang mencuci lengannya. "Akulah yang bakal kena rabies karena gigitanmu!"      

"Aku berharap gigiku mengandung bisa mematikan!" cibir Kihrani. Detik berikutnya, gadis ini mendesah lelah.     

Vian mematikan kran wastafel dan membalik tubuhnya menghadap ke arah gadis berambut hitam panjang yang meliriknya jahat. "Belajarlah di sini, aku akan menemanimu,".     

"Tak Sudi!," mata gadis itu mengembara menatap sekeliling.     

"Kau tak akan menemukan jendela yang bisa kau panjat atau turuni untuk kabur," kalimat Vian terdengar ringan, tapi tepat dugaannya.     

'Kenapa dia bisa baca pikiranku??' Kihrani hampir menyatukan alisnya andai Vian tidak menyentuh tiga garis di tengah alis, berikutnya mendorong dengan sekali sentak hingga kepala gadis itu berayun ke belakang.     

"Sebesar apa pun upayamu menutupi dirimu dengan sikap emosional itu, kau tetap gadis keras kepala yang membuatku kian mudah menebak isi kepalamu," dia melenggang melintasi Kihrani, selepas berujar.     

"Kenapa kau mempersulit hidupku!" dia mengeluh. "Apa kau tidak bosan?".     

"Kau sudah tahu alasannya," Vian berbalik menatap mata hitam Kihrani yang berkilat, "Ayo, ke ruang kerjaku! Tak usah menatapku dengan mata berapi-api, bagaimana kalau aku makin suka?" bahu Vian terangkat ringan.     

"Buat apa ke ruang kerjamu? Aku di sini saja!" Kihrani tegas mengelak.     

"Baiklah. Aku lebih suka melihatmu di pantry, seperti menatap istri masa depan," dia tersenyum miring mengejek.     

"Ya, Tuhan. Apa kau tidak punya urat malu sedikitpun?" cibir Kihrani, "Atau minimal iba padaku?" sayangnya, hal tersebut selalu gagal melukai pria bermata sendu.     

"Buat apa? Aku merasa lega dengan bicara lugas dan apa adanya," Vian membela diri. Dia lebih dari percaya diri. Atau tepatnya, dia tengah memastikan dirinya tak akan menyerah sampai kapanpun kecuali pria tersebut ingin menghentikannya sendiri. Serupa dengan pesan Pradita.     

"Lalu, bagaimana cara memberitahu pria lugas tentang penolakan?"      

Vian berhenti melangkah selepas mendengar kalimat Kihrani.     

"Kau akan menyesal menolakku. Percayalah, aku pria dengan spesifikasi yang bagus," sekali lagi, Kihrani tidak mendapati cela untuk membalas pernyataan blak-blakan Vian.     

.     

.     

"Apa kau punya yang terjemahan?" suara Kihrani, melirik sesaat pria bermata sendu.     

"Berikan padaku, akan aku bacakan untukmu," Vian yang duduk setengah berbaring, mengulurkan tangannya ke arah gadis berambut panjang.     

"Tak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri," dia mengeluarkan sesuatu dari dalam celana yang dikenakan. Ternyata, gadis itu lebih memilih memanfaatkan aplikasi terjemah dan mulai mengambil buku lain dari dalam tas punggungnya. Kihrani sedang belajar, selain bersemangat saat marah, dia juga terlihat semangat ketika belajar.     

"Kenapa kau mengambil kelas ekonomi?" pria dengan buku di pangkuannya, terusik rasa penasaran.     

"Karena aku suka uang," jawabnya ringan. Apa adanya.     

"Jadi, kau pikir belajar ekonomi bisa menstabilkan keuanganmu?" dia yang kini menaruh perhatian penuh pada Kihrani, tergelitik menanggapi.     

"Tentu. Memang itu 'kan, tujuan mendasar belajar ekonomi?" mata dan konsentrasinya masih pada buku di atas meja lipat.     

"Beberapa gadis memilih mempelajari make up demi mendapatkan pria idaman, dengan begitu ekonominya lebih cepat stabil daripada membaca buku Adam Smith lalu menerapkannya," goda Vian. Tapi Kihrani tak tersulut untuk membalas pernyataan tersebut. "Kenapa kau diam?" imbuhnya, seolah tak bosan menggoda gadis itu.     

"Pernyataanmu sama sekali tidak lucu!" Kihrani mengeluarkan ujung runcing bolpoin dengan membenturkan tegas si kepala bolpoin pada kursi lipat, bunyinya kuat sekali.     

Vian sempat mengerjap beberapa saat dan menelan ludahnya sendiri. "Boleh aku tahu, kenapa kau menolakku?" kali ini suaranya terdengar dalam.     

Kihrani menghentikan goresan di atas kertas. "Menurutmu, apa yang terjadi andai aku menerimamu?" Vian tak memberinya jawaban, "Selanjutnya menikah, begitu kan urutannya?," gadis itu mendongak, matanya menyapu pandangan pada pria yang duduk di kursi nyaman di hadapannya.     

Kursi yang Vian duduki perlu beberapa bantal khusus, sehingga pria itu mudah merebahkan punggungnya.     

Vian mengangguk, memangku pelipisnya menggunakan tangan kirinya yang bersandar pada pegangan kursi.     

"Dan aku belum ada rencana ke arah sana," lugas kalimat Kihrani. Lalu kembali menatap buku tulisnya. Pensil yang dia selipkan di jari telunjuk dan tengah bergerak-gerak dengan ritme berayun.     

"Aku bakal menunggumu sampai kau siap," ada penekanan pada intonasi Vian.     

"Hah! Kau bakal membuang-buang waktu, percuma! Seseorang yang sudah menikah bisa terpisah. Dan kau pikir, hubungan semacam itu menjamin hati seseorang tetap pada tempatnya?" maksud Kihrani adalah pacaran.     

"Kita bukan anak muda, aku tahu." Lelaki itu bangkit, dan Kihrani tidak menyadarinya. "Tapi percayalah, andai kau mengizinkan, akan kujamin kan hatiku," dia menekuk kakinya.     

"Hehe," tertawa ringan, gadis itu konsisten menggoreskan penanya, "Bicaramu sangat naif,"     

"Rambutmu sangat indah," tiba-tiba Kihrani merasakan sebuah tangan menyusup di sela-sela rambutnya tepat di atas telinga.     

"Vian, aku tak ingin memukulmu!" Menanggalkan pena, gadis ini terkesiap. Menghujam tatapan mengancam pada lelaki yang sudah demikian dekat dengannya.     

"Benar dugaanku. Semakin dekat, kau benar-benar serupa dengannya," Pria ini seolah tak melihat ancaman Kihrani.     

"Serupa??"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.