Ciuman Pertama Aruna

IV-96. Dua Kebohongan



IV-96. Dua Kebohongan

0"Beraninya kau berperilaku di luar aturan! Siapa yang memberimu perintah?!" tangan pria dengan dagu dipenuhi jenggot tebal tengah mencengkeram kuat-kuat kerah baju ajudan di hadapannya.     

"Maaf," suara ini bergetar. Detik berikutnya, hantaman merobek bibir ajudan tersebut. Untuk ketiga kalinya, pria tinggi besar berkulit hitam itu mendekat dengan langkah lambat seolah memberi waktu supaya pemuda tersebut mengaku.     

Herry yang berdiri di pojok ruangan hanya bisa memejamkan matanya melihat sahabat sekaligus rekan kerjanya kembali mendapatkan cengkeraman pada leher, "Kau masih beruntung, tuan muda sedang keluar kota," sekali lagi, pria yang dagunya dipenuhi rambut tebal mengangkat tubuh tak berdaya Jav.     

"Sial!," Herry mengumpat, suara bernada rendah tersebut masih bisa di dengar yang lain, "Tuan datang," pemuda yang menjadi ajudan paling erat dengan tuannya ini baru saja menurunkan handphonenya dari pandangan.     

"Aku minta maaf Jav," Andos menurunkan tubuh pemuda tersebut dan menatapnya pasrah. Jav lekas berdiri, tertatih dia meraih Herry.     

"Jangan katakan apa yang aku lakukan, aku mohon," pemuda tersebut merintih.     

"Kita sedang dilanda banyak masalah dan kau menambah masalah. Bagaimana aku bisa memaafkanmu?" Untuk pertama kalinya Herry yang jarang menunjukan ekspresi jengkel, detik ini dia menatap muak pada Jav.     

"Baiklah! Baik, aku akan mengaku." Jav menghapus darah di bibirnya dan duduk pasrah, "Nona, nona Aruna yang memintaku, Aargh!!" dia yang kacau, memekik frustrasi di akhir kalimatnya. Mengacak rambutnya sendiri.     

"Sudah aku duga," Alvin yang lebih banyak terdiam memecahkan keterheningan di antara Herry dan Andos yang masih belum percaya dengan pengakuan Jav.     

"Nona," Herry mendesis. "Kenapa harus Nona!".     

"Kita bisa mengabaikan permintaan orang lain, tapi nona Aruna? Dia bisa membius kita kapan saja," Alvin sudah lebih dari paham bagaimana dia mendapatkan masalah sebab istri tuan muda Djoyodiningrat.     

"Sekarang di mana Syakilla?" Andos bicara sambil merapikan ruangan yang seharusnya menjadi tempat disimpannya tunangan CEO Tarantula tersebut.     

"Di rumahku," ketiganya saling menatap. "Juan beserta ibunya menetap di rumahku selama ini. Kalian tahu, aku lebih banyak tinggal di rumah induk, jadi mereka sementara tinggal disana,"     

"Kau yakin dengan kata-kata mu?" Alvin lekas mengeluarkan handphonenya, menghubungi Wisnu yang detik ini berusaha mengejar motor yang dicurigai dimanfaatkan untuk melarikan Syakilla.     

"Aku berani bersumpah," Jav meyakinkan.     

"Herry, apa yang dikatakan tuan muda?" Andos masih terus bergerak membersihkan ruangan. Pria yang dituakan itu melempar tisu pada Jav.     

"Dia memintaku ikut dengannya," tangan Herry mengepal kuat-kuat, dia begitu kecewa dengan perbuatan Jav, namun tak bisa berbuat banyak. Nona muda ada di balik ini semua, andai tuannya tahu, bahkan para ajudan tersebut tak ingin mengungkap kejadian ini.     

"Gadis kurus itu harus ditemukan! Entah bagaimana pun caranya, atau keluarga ini di ambang masalah besar. Dan kau! Kau salah satu orang yang bertanggung jawab," kesal Herry menodongkan telunjuk pada Jav yang menurutnya terlalu ceroboh. Membalik tubuhnya, pemuda tersebut menciptakan pukulan kasar pada pintu sebelum benar-benar menghilang pergi, "Aku akan mengulur waktu, kembalikan segalanya seperti semula!" dia benar-benar diliputi emosi kali ini.     

Andos menatap nanar pemuda yang baru dia hajar "Kau bisa menghubungi Juan?" Jav mengangguk ringan mengiyakan. "Pastikan keberadaan Juan!" ajudan tersebut berusaha berdiri mencoba menemukan telepon genggamnya.     

"Alvin, siapkan mobil! Dan kau, gunakan ini!" Andos kembali melempar jaket, dia tak ingin orang lain melihat lebam di wajah Jav.     

Andos sendiri lah yang mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sedangkan Alvin serta Jav terbungkam pada kursi pengemudi di sisi belakang.     

Di tengah perjalanan, Alvin yang penasaran atas keputusan ganjil Jav menyuarakan pertanyaannya. "Apa yang membuatmu mengiyakan permintaan Nona?,"     

"Nona memohon, aku tak tahu dari mana dia mendapatkan fakta tentang Juan yang menghuni rumah peninggalan orang tuaku," Alvin mengangguk seperti seseorang yang mengerti dengan sangat keadaan Jav. "Dia tak habis pikir, Juan malah menikung dengan membawa Syakilla kabur," suara pemuda itu terdengar kesal.     

"Antara polos, bodoh, dan terlalu baik, memang sulit dibedakan," suara Andos mendesah berat, menjadikan Jav kembali mengacak rambutnya.     

"Aku rasa bukan hanya kau yang berada di bawah kendali nona," kalimat Alvin agaknya terlambat, akan tetapi menjadikan kepala dua orang lawan bicaranya bekerja lebih keras.     

***     

"Aku lelah mengemudi mobil ini sendirian," Mahendra melempar kunci mobil pada Herry, lalu menuju pintu belakang, sementara ajudan tersebut dengan hati-hati memasuki kursi pengemudi. Dia sempat melirik tuannya yang merebahkan punggung, sembari memejamkan matanya rapat-rapat.     

"Kemana kita akan pergi tuan?" suaranya dibuat setenang mungkin.     

"Djoyo Rizt hotel,"     

'Kau masih beruntung Jav,' di balik caranya mengemudi, Herry menghubungi rekannya yang lain, mengabarkan keberuntungan yang mereka dapatkan.     

***     

"Aku sudah menyiapkan menu siap makan untuk mu sampai jam makan malam, sepertinya aku sudah tak dibutuhkan. Sayangnya, nona Aruna belum membalas pesan ku,"     

"Lalu?" lelaki dengan matanya yang menatap sayu, tengah duduk santai di sofa empuknya. Terlihat berkuasa, dia memangku kakinya yang kanan pada kaki kiri.     

"Jadi, aku akan pulang lebih awal. Siang ini Susi memberi ku izin pergi ke kampus," Kihrani tak menatap pria yang menjadi lawan bicaranya.     

Dahi Vian sedikit mengerut, selepas mendengar jawaban Kihrani, "Bukankah kau mengambil kelas malam?"     

"Aku ingin mengunjungi perpustakaan," gadis itu menjawab ringan di bibir 'Termasuk kabur darimu!' dan menyalak di dalam benaknya.     

"Buku apa yang kau butuhkan?"     

'Sial. Buku apa ya?' mata gadis berambut panjang tersebut berputar setengah lingkaran menyusuri pelupuk matanya yang ditumbuhi bulu mata hitam lebat. "Oh, the wealth of nations,"     

"Adam Smith, 1776, aku punya," tukas Vian. Spontan bibir Kihrani ditekuk.     

"Em' satu lagi, Development as a Freedom," celetuk Kihrani.     

"1999, Sen, em' Amartya Sen," merasa menang, pria ini melipat tangannya.     

'Kenapa benar sih!' kejengkelan gadis ini hanya bisa di simpannya rapat-rapat.     

"Sebutkannya saja buku apa yang kau inginkan di kelas ekonomi. Jika itu buku standar seperti yang kau sebutkan, aku bahkan sedang mempelajari hal yang sama," nadanya terdengar sombong. Kenyataanya, Vian berusaha keras memahami semua itu demi sebuah divisi yang di tinggalkan Thomas lalu di sandarkan padanya. Berusaha dari tingkat dasar untuk memahami bisnis dan ekonomi secepat mungkin.     

"Pak Vian, anda sudah saatnya minum obat," suara lembut berikut ini berasal dari suster baru yang dikirim dokter Martin.     

"Letakkan di situ saja," pria sialan versi otak Kihrani masih menatapnya penuh intimidasi, mengabaikan susternya meletakkan racikan obat di atas meja tepat di depan dia duduk.     

Masih mencoba mengontrol rasa jengkelnya, Kihrani kembali berujar, "Aku ada kerja kelompok. Jadi selain buku, aku butuh waktu diskusi dengan teman-temanku,"     

"Dua," aneh, dia mengatakan dua secara tiba- tiba sembari mengangkat telapak tangan kanannya yang menyisakan telunjuk serta jari tengah membentuk simbol dua.     

"Apa yang dua?" tanya gadis berambut panjang tersebut.     

"Kebohonganmu," dia yang bicara mengumbar senyuman super menyebalkan.     

"Siapa pula yang berbohong!" intonasi Kihran mulai tak terkendali.     

"Ingin bukti?" dia menawarkan, "Pergi ke perpustakaan adalah kebohongan mu yang pertama, disusul kerja kelompok!," kalimat Vian lebih dari tepat. "Mata bergerak-gerak dan cenderung melirik ke arah kanan, beberapa kali senyum di buat-buat, pelipis berkeringat, kedua telapak tangan mu saling menyatu tanpa kau sadari," dia meraih remot di atas meja, bukannya obat yang harus di tenggak.     

"Anda boleh pulang sekarang, anda sangat jujur," Vian memerintah suster yang terlihat bahagia seketika dan buru-buru menuju ruangan sebelah, lalu keluar dengan tas selempangnya.     

"Terima kasih pak Vian," sapanya ramah, menundukan kepala sebelum meninggalkan keduanya.     

"Lalu aku bagaimana?" keluh Kihrani.     

"BIP," pria di hadapan Kihrani memencet sebuah tombol pada remotnya, "Karena kau berbohong, tentu saja dapat hukuman,"     

Mata gadis itu menajam, "Memang kau siapa? Berani menghukum ku,"     

"Pulang saja kalau kau bisa," suara Vian menantang, membuat Kihrani lekas melangkah menuju pintu.     

"Dasar menyebalkan! Kau menguncinya Ya! Berikan pada ku … … ….     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.