Ciuman Pertama Aruna

IV-95. Salam kenal



IV-95. Salam kenal

0"aku tidak mengerti denganmu?" Dhea menggeleng kepalanya. Dia masih belum bisa memahami emosi berbeda yang di suguhkan Aruna. Sang sahabat tampak bukan lagi gadis dengan emosi tenang. Aruna sepeti lepas bebas dan tidak terkendali.     

"bagian apa yang tak kamu mengerti?" Manik mata coklat bergerak menangkap wajah Dhea.     

"Dirimu," tegas memberitahu, Dhea tak menemukan Aruna yang dia kenal selama ini.     

Perempuan Hamil ini sekedar tersenyum, meneguk zat cair terakhir di gelasnya. "Saat kita menikah sebagian hidup kita di pengaruhi suami kita. Terlebih ketika hamil, aku merasa separuh diriku tersisihkan dan jiwa asing yang selama ini bisa kita kubur dalam-dalam menguar begitu saja, tak terkendali, ada ambisi yang diam-diam muncul ke permukaan. Ini aneh, sayangnya aku benar-benar kehilangan daya menahan dorongan itu,"     

"Kamu kehilangan mimpi-mimpi indah di masa muda. Dan.. Apakah ini wujud protes itu?" Dhea memproses argumentasinya.     

"Bukan seperti itu," perempuan ini menaikkan kedua kakinya dan melipatnya. Dia bersila di atas kursi nyaman. "Perasaan ini semacam, kamu punya harapan baru. Seolah anugerah besar sebentar lagi di titipkan pada kita. makhluk kecil lain yang bakal melanjutkan estafet perjuanganmu di dunia. Karena kesadaran tersebut kamu merasa perlu memahami segalanya, apa pun itu, seperti induk singa dengan naluri ilmiahnya yang berupaya keras menghilang dari kelompok, bahkan tidak kembali sebelum bayinya 8 minggu. anggap aku berbeda di sebabkan naluriku. Aku tidak bisa membiarkan babyku lahir dalam kondisi berbahaya, hanya ada 40% dari bayi-bayi singa yang bisa bertahan lebih dari setahun. Mampu selamat dari di mangsa kelompok lain, itu mengerikan. Manusia sama saja, mereka yang membentuk kelompok dan saling bermusuhan bisa jauh lebih kejam dari segalanya, melampaui yang dapat kita bayangkan," monolognya unik hingga Dhea hampir tak sadar telah mengerutkan alisnya.     

"kamu tahu," Dhea berujar sembari menatap lamat sahabatnya, "kamu baru saja menyamakan dirimu dengan singa," ingin rasanya tidak tertawa akan tetapi perempuan ini tak bisa mengendalikan diri, sebab Aruna tertawa lebih dahulu.     

"Bagaimana denganmu Dhea?" Aruna memindahkan topik pembicaraan, dia ingin mengetahu kian dalam bagaimana perempuan di sampingnya tampak sangat tegar melihat kondisi suaminya.     

"Aku?" Dhea memegangi dadanya sendiri. Aruna mengangguk, "tak ada yang menarik," Dhea mengarahkan tatapannya pada laut lepas.     

"Aku tidak bisa membayangkan Hendra dengan luka seperti itu," Aruna mempertegas ucapannya bahwa dia juga ingin mendengarkan keluh kesah sahabatnya.     

"daging yang tergores atau kulit kepala yang robek bisa di perbaiki, ada banyak teknologi untuk menjadikannya kembali sempurna. Yang tak ada ialah cara membuat diri ini terus tegar, sehebat apa pun dokter menghipnotis kita agar tetap positif. Hanya kita sendiri yang bisa mengondisikan jiwa kita terus positif. Aku dan Oppa Surya sedang tidak baik-baik saja, jika aku mengeluh dan hancur saat melihatnya bagaimana dengan dia?. Jadi aku putuskan tidak menambah beban. Hanya itu yang ada di pikiranku," perempuan ini menarik bibirnya lurus.     

Aruna menggigit bibir bawahnya sendiri menahan sesuatu, "aku tahu kamu gadis yang emosional dalam artian mudah tersentuh, tapi aku baru tahu kenyataannya kau sangat kuat," Aruna bangkit dan berakhir memeluk perempuan di kursi sebelahnya. pada akhirnya Dhea menangis juga.     

"jangan merundukkan tubuhmu!, ada baby," Dhea menggeleng mengelak kenyataan bahwa pada akhirnya dia tak tahan di hadapan Aruna.     

"menangis saja, aku sekarang juga suka menangis," Aruna menambahkan. "Walaupun aku tahu, aku tetap cantik ketika menangis,"     

"kau ini!"     

Dua perempuan tersebut tidak sadar di balik pintu kaca seseorang mengamati mereka berdua.     

.     

.     

"Surya, katakan pada Aruna aku akan kembali malam hari," Hendra berdiri di ambang pintu mobilnya. Di depan sana pintu gerbang Villa di buka oleh penjaga.     

"tentu," Surya mengaguk ringan, "aku harap kamu bisa membujuknya,"     

"Kamu setuju dengan penilaianku?" ini tanggapan Hendra, berkata sembari memasuki mobilnya.     

"Ya. Aku bahkan takut dia lebih baik dariku dan aku tak lagi dibutuhkan ketika sembuh," Hendra tertawa nyaring mendengarkan pernyataan Surya.     

"Aku selalu punya tempat untukmu," dia yang bicara memutar pengendali mobil.     

"kalau dia tidak mau, paksa saja!," Surya berteriak selepas mobil itu bergerak, dibumbui tawa.     

***     

[email protected]     

Subject : Salam Kenal     

Hai, Saya Thomas. Anda benar, saya beberapa kali berjumpa kakak anda Angga dalam perjalanan bisnis. Saat ini saya berada di Indonesia. Saya tidak tahu seberapa lama saya akan menetap di Indonesia. Jika anda ingin bertukar pikiran dengan saya untuk beberapa hal yang menjadi masalah anda. Anda bisa menemui saya pada pukul 20.00 di Djoyo Rizt Hotel lantai 7. Saya sudah reservasi satu tempat untuk pertemuan bisnis dengan klien saya. Aku yakin anda mengenalnya, jadi jangan khawatir mari bergabung.     

'terkirim'     

[email protected]     

Subject : Terima kasih Undangannya     

Ini kejutan luar biasa bagi saya. Dan anda tak perlu menggunakan kalimat formal pada saya. Saya lebih muda dan tentu saja jauh di bawah kapasitas anda. Tapi sejujurnya saya sedikit khawatir. saya kurang akrab dengan hotel tersebut. Selebihnya sangat berminat untuk datang. Bolehkah saya tahu siapa rekan anda yang menurut anda saya pasti mengenalnya.     

[email protected]     

Subject : Rekan     

Intan Susmitha Salim, CEO departemen store Salim.     

[email protected]     

Subject : Terima kasih Undangannya     

Aku pasti hadir tepat waktu.     

***     

"Tiara!" Bianca membuka pintu bersemangat. Bunyi benturan itu membuat seorang di dalam terkejut dan hampir memakinya.     

"Bisakah kamu mengetuknya dengan sopan!" gertak Tiara.     

"Tahu kah kamu, Thomas yang aku ceritakan?" tampak malas, Tiara acuh tak acuh dan tetap fokus pada berkas di tangannya. "kita akan bertemu," dia memekik, "Dan dia ternyata rekan bisnis kakakmu,"     

"kakakku?" Tiara spontan mendongak menanggalkan berkas di tangannya.     

"Ya! Dia mengundangku dan sepetinya aku dan kakakmu akan bertemu," imbuh Bianca.     

"Tunggu! Bukankah dia rekan kakakmu di DM grup?" perempuan ini menelisik dan seolah mengendus sesuatu yang kurang ia suka, "aku akan ikut kalian," Tiara memutuskan begitu mendengar nama kakaknya di sebut.     

"sebelumnya komunikasiku dengannya hari ini, dia memberitahu bahwa dirinya sudah mengundurkan diri setahun lalu," jawab bianca.     

"apa alasannya?"     

"Dia kecelakaan. Lalu memilih melanjutkan study di Milan, pernyataannya yang ini aku yakin benar, sebab nomor terbarunya berkode Italia," Bianca mengakhiri kalimatnya dengan nada menggoda.     

"Kita lihat saja seberapa berbahaya nya dia, Ingat! Dia pernah menjadi bagian dari DM grup," celetuk Tiara, "Oh, siapa tahu dia setua kakakmu," ada nada cibiran di mulut Tiara.     

"Bisa juga sih," Bianca menghela nafasnya.     

"jadi kamu merelakan Ken?" maksud Tiara adalah Gibran. Sekali lagi cemooh ringan ikut terselip pada intonasi Tiara.     

"Aku bukan gadis bodoh yang membuat diriku terjebak dalam cinta bertepuk sebelah tangan, atau cinta palsu asal bisa menggabungkan saham dua keluarga demi memperkuat posisi," Bianca balas menghina Tiara.     

"aku tahu kamu perempuan cerdas, kalau sampai kata-katamu ini di dengar orang lain jangan salahkan aku andai kita berakhir jadi musuh," Tiara mengintimidasi, matanya menyipit. Dia sedang serius kali ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.