Ciuman Pertama Aruna

IV-94. Surya Tetaplah Korban



IV-94. Surya Tetaplah Korban

0Dibalik matanya yang menatap begitu serius, lelaki bermata biru tengah menyembunyikan isi hatinya.     

Ia menekuk kaki dan merapat pada tempat di mana istrinya duduk dalam duka. Kedua telapak tangan lelaki itu menangkap wajah mungil sang perempuan, di susul menurunkan kedua telapak tangan yang menutupi dua buah mata coklat.     

"Hentikan tangismu, itu bisa mempengaruhi baby kita," jempol jempol pria itu bergerak di atas permukaan pipi kemudian menanggalkan bulir-bulir air yang membasahi pelupuk mata, dan sebuah kecupan ringan hadir di atas bulu mata.     

"Sudah saatnya kita sarapan, aku yakin Dea dan Surya menunggu," bujuk Hendra mengalihkan perasaan sedih di hati Aruna.     

"Sepertinya aku tak bisa," suara Aruna terdengar rendah. Menatap Mahendra yang perlahan-lahan berdiri selepas mendengar ucapan istrinya.     

"baiklah, akan kuminta pelayan mengantarkan sarapanmu." Mahendra telah melangkah menanggalkan kamar utama Villa. Menyisakan Aruna yang pada akhirnya terdorong untuk merunut banyak hal di kepalanya, Vian tertembak, Surya menghilang, Syakilla menjadi tamu khusus, ini memusingkan. Dan perempuan hamil terpacu untuk berbuat sesuatu atau lebih tepatnya mengingat sesuatu yang harusnya dia pantau.     

Dia membutuhkan alat komunikasi, handphone yang bisa menghubungkan dirinya dengan Syakila.     

Dalam kekalutan dirinya mulai menyadari bahkan Herry yang diminta Mahendra mengamankan handphone miliknya tak pernah sampai ke Villa ini. Hendra menjauhkannya dengan sebuah barang-barangnya. Apakah Hendra berencana mengisolasinya?     

Aruna mencoba menemukan apa saja yang bisa membantunya memahami situasi, mumpung Mahendra tidak ada di sekitarnya. Perempuan ini mencoba mencari di mana letak koper mereka. Akan tetapi sebelum langkah itu mencapai koper, mata Aruna menangkap tas kerja Mahendra. Tentu saja perempuan hamil ini lebih penasaran pada tas itu daripada yang lain.     

Aruna tidak bisa menahan kelegaannya, ia menjadi bergairah tatkala dirinya mulai membuka resleting tas suaminya –yang ternyata berisikan handphone beserta note book berukuran 14 inchi, seperti biasa benda tersebut menemani Mahendra ke mana pun pria itu berpergian.     

Sayangnya saat smartphone lelaki bermata biru telah sampai dalam genggaman. Ia baru ingat bahwa satu-satunya cara untuk membuka alat komunikasi tersebut adalah garis-garis samar pada jari jempol suaminya. Note book pun sama saja benda tersebut meminta password.     

Aruna terduduk pasrah, ia lelah, melamun di ranjangnya, tempatnya menggeledah barang-barang milik suaminya.     

Tak lama suara ketukan menggugahnya. Hatinya berdebar hebat, "iya... sebentar," Aruna buru-buru merapikan benda-benda milik Mahendra, meletakkan di posisi semula.     

Namun, Ketika dia hampir menanggalkan tas tersebut telinganya mendengar smartphone di dalam berbunyi.     

Ada rasa yang membuncah, tak terkendali, sekali lagi ia membuka resleting tas dan mata coklatnya mendapati sebuah nama di layar utama benda yang detik ini menyala tanpa sentuhan pola sudut jari Mahendra. Sang menelepon tertuliskan 'Gibran' perempuan ini bergumam lirih.     

[Izinkan aku bicara dengan Shakila, supaya....] setelah panggilan mati detik berikutnya Sebuah pesan masuk, sayang hanya beberapa kata yang dapat terbaca, notifikasi pendek pada permukaan wallpaper bergambar foto maternity nya. Sekali lagi atas nama: "Gibran??"     

"kami membawa sarapan anda nona," sang pengetuk mengulangi ketukan, seseorang di luar sana tampaknya mulai kehilangan kesabaran.     

"Ya, silakan," Aruna buru-buru menimpali, ia merapikan dirinya, duduk di atas ranjang senormal mungkin demi menyambut kedatangan pelayan yang perlahan masuk bersama troli yang di atasnya terdapat hidangan.     

"Dimana saya harus meletakkan ini nona?"     

"aku bisa makan di meja itu," telunjuk Aruna mengarah pada balkon kamar yang langsung menghadap pantai.     

"panggil saya jika anda menginginkan yang lain,"     

"baik," singkat jawaban Aruna, berharap pelayan tersebut lekas pergi.     

.     

.     

"Aku tidak melihat Aruna," Dea menemukan kursi kosong di sebelah Mahendra. Dia yang tengah minum menggunakan wadah keramik antik mengintip melalui lengkungan gelas tersebut.     

Lelaki bermata biru itu terlihat menarik bibirnya lurus, "Aruna kurang enak badan,"     

"Oh'," terdengar suara penuh kekhawatiran khas Dea, "aku sempat dengar kabar Aruna mengalami hipertensi?" nada konfirmasi di tunjukkan pada Hendra.     

"Ya. Maka dari itu aku membawanya ke tempat ini," Hendra mengimbuhkan senyum di bibirnya. Dia memotong ikan laut yang di kukus bersama rempah-rempah. tersaji dengan bau harum khas daun jeruk, jahe dan potongan bawang merah serta putih.     

sarapan yang cukup unik menghiasi piring pria itu. dan detik berikutnya potongan ikan tersebut menempel di ujung garpu yang bergerak naik sebelum di sambut bibir merah. Mahendra tampak menikmati ikan segar tersebut.     

"aku ingin melihatnya setelah sarapan," pernyataan Dea terlontar sebagai bagian meminta izin.     

"Lakukan, aku yakin dia akan senang melihatmu," balas Mahendra.     

Sarapan bersama Hendra bukan sesuatu yang menyenangkan bagi Dea, tentu saja.     

Akan tetapi menjadi berbeda bagi Surya, suaminya terlihat sangat antusias, menghabiskan waktu berbincang-bincang dengan lelaki bermata biru. Mereka membuat para penjaga villa harus berhati-hati merapikan meja makan, dua pria yang berbincang enggan menanggalkan tempat duduknya.     

Melihat suaminya menemukan lawan bicara yang tepat. Dea dengan segera memilih datang ke kamar Aruna. Mengetuk pintu dan mendapati Aruna makan sendirian di balkon kamar.     

"apa aku mengganggumu?" Aruna tersenyum kecut tak menyukai ungkapan Dea. Dea mendekat ikut duduk bersama Aruna. Perempuan bermata coklat menatap penuh telisik, berupaya menarik bibirnya agar sebuah senyum hangat hadir, kenyataannya dia memilih berdiri lalu larut memeluk perempuan di hadapannya.     

"Maaf," kata ini meluncur sesaat sebelum pelukan lepas dan warna merah hadir di matanya, "aku menjadi cengeng setelah Hamil,"     

Dea meliriknya, diiringi gerakan merapikan rambut perempuan hamil yang tumpah ke berbagai arah, "aku tak menyangka, terakhir kali kulihat rambutmu tidak sepanjang ini,"     

Spontan Aruna menahan kuat-kuat sesuatu di dadanya. Dia sadar Dea sedang tidak berkenan menanggapi air mata Aruna yang tumpah. Dengan jelas Dea menutup situasi yang keduanya sadari bakal mengarah kemana -pembahasan luka yang membekas di wajah Surya-     

Tentu Aruna pun berupaya keras menekan gumpalan besar yang detik ini hampir naik ke tenggorokan dan nyatanya berhasil membuatnya tidak bisa mengimbangi ungkapan Dea.     

"Seperti apa rasanya mengandung?" menepis keheningan yang jarang terjadi di antara keduanya, Perempuan berhijab mengelus perut yang mendesak Aruna hingga tepat di bawah dada. Bayi di dalam pastilah besar pikir Dea.     

"Tak seburuk yang kamu pikirkan," Aruna menanggapi raut wajah Dea yang terlihat takjub sekaligus khawatir.     

"ini sangat besar, ibuku pernah mengandung adikku dan aku tidak melihatnya sebesar ini,"     

"Semua orang bicara seperti itu," Aruna mengelus perutnya, "kamu harus ingat siapa Daddy nya," keduanya tertawa dan perlahan mencair.     

"tapi Hendra bilang kamus sedang-" kalimat ini belum usai tatkala Aruna menyisipkan kata: "lelah, aku sering lelah.. baby mengambil banyak bagian,"     

"Bayi ini pasti punya selera makan sama dengan Daddy nya," timpal Dea.     

"Ya. Menurutku kata-katamu tepat," Aruna menyetujui Dea, ia memalingkan wajah menatap Dea dengan suasana hati yang terkendali.     

"dia harus serupa ayahnya," suara ini seolah-olah terdengar mengagumi Mahendra. Dea dan teman-teman Aruna jelas tidak begitu menyukai Mahendra.     

"mengapa harus," Aruna bernada bercanda.     

"mengapa tidak??" Dea terdengar membela Hendra. "Dia lebih dari hebat dengan segala prediksinya,"     

Ini jelas sarkas, Aruna tidak mengerti. "aku tidak mengerti Kata-katamu," Aruna sekali lagi bernada bercanda.     

"Harusnya suamiku, Opa Surya mendengarkan saran atasannya." Dea menghela nafas, "Andai dia tak pernah mendebat keputusan Hendra suamimu, aku tak perlu melihat luka itu,"     

"Tak semudah itu memahami suamiku Dea," Aruna secara tegas membela Surya. "aku mengarti mengapa pak Surya melampaui batas yang di buat Mahendra, setiap jiwa bebas manusia cenderung tertantang untuk berbuat sesuatu lebih dan lebih, ketika dirinya secara tidak langsung berada di sebuah dimensi yang terbatasi,"     

"Segala sesuatu yang di bentuk selalu punya batasan Aruna. Buka saja matamu lebar-lebar dan sadarkah kamu warna biru di langit adalah batas kemampuan penglihatanmu?" suara Dea terlihat berbeda detik ini.     

"Tapi kita manusia Dea. Aku yakin kamu pun tahu kisah Adam Hawa yang terbujuk rayu dan berujung memakan buah khuldi?" Alih-alih berbicara ringan keduanya mulai berdiskusi, "mereka penasaran dengan bumi, padahal bumi tak sebanding dengan kampung halaman mereka di surga," Aruna menghela nafas, "Maaf, aku tahu kadang cobaan membuat kita berduka hebat. Tapi aku tak setuju melanggar batasan menjadikan pak Surya tidak terlihat sehebat dulu atau seseorang yang serta merta bersalah. Pak Surya tetap yang terbaik, dia menerima luka itu dan berusaha bangkit, sepeti Adam dan Hawa yang bertobat. aku yakin sebelumnya dia hanya tidak memahami situasi. Sehingga ia menjadi korban," Aruna menggenggam erat tangan Dea, "Dia korban, bagiku pak Surya korban. Ada seseorang di luar sana yang selalu memburu kita, Hendra dan orang-orangnya terutama keluarganya, aku akan menemukannya, siapa pun mereka,"     

Kini dea lah yang di landa kebingungan, dia tidak menyangka kalimat sederhananya di tanggapi begitu serius oleh Aruna. Apa yang terjadi pada Aruna?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.