Ciuman Pertama Aruna

IV-93. Kedatangan Sahabat



IV-93. Kedatangan Sahabat

0"Mari kita kembali," Mahendra mengatakan ajakan tersebut saat tangannya menggapai sudut di belakang lutut Aruna, sebelum dia mengangkat tubuh mungil dan berakhir dalam dekapannya.     

"Hendra!" Aruna tersentak. Detik berikutnya, perempuan tersebut buru-buru memeluk leher suaminya. Dia perlu meraihnya sebelum Mahendra berjalan lebih cepat membawa tubuhnya menuju villa mereka. "Kau tak perlu melakukan ini, aku bisa jalan sendiri!" protesnya.     

"Aku tahu kau berjalan terlalu jauh pagi ini, dan aku tak sanggup melihat mu berjalan lebih lama lagi. Perut besar mu benar-benar mengganggu konsentrasi ku," manik mata biru cemerlang menatap penuh harap supaya istrinya berkenan untuk tetap dalam dekapan.     

.     

.     

"Turunkan aku, kita sudah dekat. Kau bakal membuat ku malu kepada para penjaga villa," Aruna merapikan dirinya ketika Mahendra berkenan meletakkan kedua telapak kakinya kembali di atas pasir.      

"Aku punya kejutan untukmu hari ini," lelaki bermata biru itu menyipitkan matanya, berjalan lebih cepat dan memutar tubuhnya menghadap perempuan hamil. Mahendra menunjukkan bagian muka dirinya, yang secara otomatis dia berjalan mundur ke belakang seritme dengan langkah maju Aruna.     

"Bukankah kau selalu dipenuhi kejutan," sebenarnya ini bagian dari sarkas. Mahendra punya jiwa yang kadangkala melompat dalam waktu singkat. Dia bisa serta-merta menegangkan, lalu sekejap kemudian begitu ramah. Tak Ada yang bisa memprediksi dirinya, sekaligus tindakan-tindakannya.     

"Surya dan Dhea akan datang ke villa ini," Mahendra tersenyum tipis ketika mendapati manik mata coklat di hadapannya melebar.     

"Benarkah?" Kalimat tanya tersebut adalah bagian dari rasa penasaran serta terkejut. Senyum Mahendra semakin lebar mendapati ekspresi Aruna.     

Pria yang kini mengenakan kemeja kuning lemon dengan tiga buah kancing teratas dibuka, juga berhenti berjalan mundur. Sebab, perempuan di depannya menghentikan langkahnya. "Mereka akan tinggal di sini selama satu bulan penuh,"     

"Oh' sungguh??" tanpa sadar, Aruna bersuara dengan nada tinggi ketika mendengarnya.     

"Ya. Aku harap ketika kita kembali, mobil mereka sudah terparkir," mata Aruna kian terbelalak, ini benar-benar kejutan. Dia ingin menemui Dhea sejak beberapa hari yang lalu, akan tetapi belum ada kesempatan. "Surya butuh istirahat. Aku pikir, disini adalah tempat yang paling cocok untuknya menghabiskan waktu bersama istrinya. Aku terlalu banyak merepotkannya, dia belum pernah libur dengan benar semenjak menikah," tangan kanan Mahendra menyusuri sebagian rambutnya, kemudian ditarik mundur ke belakang. Dari gerakan tersebut, perempuan hamil itu bisa membaca bahwa suaminya menyimpan kegundahan di balik kalimatnya.     

"Aku yakin, aku yang menjadi sumber masalah utama," kalimat ini sekedar gumaman lirih. Namun, sepertinya Mahendra masih bisa mendengarnya. Pria tersebut membuka lebar tangan kirinya untuk menemukan bahu kiri Aruna, lalu mendekapnya.     

"Tidak ada yang salah pada seseorang yang tertimpa musibah, cobaan akan silih berganti. Sekarang, giliran kita membalas kebaikan mereka," sungguh, Aruna ingin meneteskan air mata mendengar kalimat tersebut. sebuah ironi sedang di dendangkan pria yang detik ini berjalan dengan ritme langkah yang sama dengan dirinya.     

"Aku suka kau cengeng," tiba-tiba kalimat Mahendra berubah haluan. "Itu artinya baby kita benar-benar putri kecil, membuatku tidak sabar," pria ini pandai sekali menghibur, pikir Aruna. Tidak bisa mengelak dari menangis, perempuan hamil itu pun tersenyum samar.     

Mendengar suaminya mengatakan cengeng adalah anugerah yang membuatnya geli sendiri, buru-buru Aruna menghapus air matanya. "Kita akan tahu baby kita perempuan, kalau kau mengizinkan ku melihat jenis kelaminnya," Mahendra lekas menggeleng sebagai penolakan.     

Aruna menghela nafas sesaat, sebelum mencibir Mahendra, "Dasar keras kepala,"      

"Ya! itu aku," detik berikutnya, lelaki bermata biru kembali berujar selepas melihat cara istrinya menatapnya, "Jangan melihat ku seperti itu," nada protes itu terdengar bersama dengan gerakan bahunya yang terangkat.     

"Kau hanya perlu mengizinkan dokter melihat kelamin baby dan rasa penasaran mu akan terpenuhi," Aruna menawarkan solusi.      

"Masalahnya, aku belum siap," jawaban Mahendra singkat dan tegas.     

"Belum siap?" perempuan hamil itu terheran-heran, bagaimana bisa dirinya menikahi, bahkan mencintai pria yang konsisten mempertahankan prinsip, termasuk keras kepalanya pada hal-hal sepele yang sesungguhnya tak begitu penting.     

"Aku belum sanggup menerima fakta kalau ternyata prediksi ku salah dan baby lahir laki-laki," Aruna hanya bisa menggeleng mendengar alasan terkonyol yang ia dapati.     

"Bagaimana kalau ternyata baby lahir dan dia benar laki-laki?" dia menawarkan perumpamaan.     

"Tentu saja aku sudah melupakan jenis kelamin yang aku inginkan karena terkubur rasa bahagia, sebab dia lahir dan bisa ku peluk," sungguh keras kepala, tapi alasannya cukup masuk akal. "Hai. Surya," Mahendra memekik keras, sembari melambaikan tangan.     

Melupakan diskusinya dengan istri, lelaki bermata biru berlari mendekati sahabatnya yang sudah berdiri di ambang pintu mobilnya. Benar dugaan Mahendra, kendaraan roda empat warna merah milik Surya sudah terparkir di halaman villa yang menghadap ke pantai.     

Sayangnya, saat Aruna mengamati bagaimana kedua pria itu saling berpelukan dan menepuk satu sama lain, dia tidak bisa melihat sahabatnya, Dhea. Perempuan hamil itu mencoba menjelajah, mengamati sekeliling dengan berjalan cepat.     

Sekali lagi Aruna tidak mendapati Dhea, kecuali kendaraan roda empat lain berwarna abu-abu yang datang, lalu parkir beriringan dengan mobilnya Surya. Dan di belakangnya, barulah terlihat perempuan berhijab berjalan mengikuti tibanya mobil tersebut.     

Seorang sopir dan perempuan lain yang terlihat seperti asisten, buru-buru membuka bagasi mobil tersebut.      

Dhea terlihat sangat sibuk, memerintahkan ini itu dan menurunkan beberapa barang sendiri. Aruna belum berani menyapanya, tapi dia tahu Surya berjalan mendekat dan sebuah penjelasan membuatnya geleng-geleng, "Aku sudah mengatakan padanya, kita tidak sedang pindahan rumah melainkan liburan, tapi lihatlah apa yang dilakukan temanmu itu, dia membawa seisi rumah Kita," barulah tawa menguar dari nona muda Djoyodiningrat, sebab dia lebih dari tahu siapa sahabatnya, perempuan paling perfeksionis di surat ajaib.     

Jika dulu main bersama, pergi ke taman hiburan, bahkan masih satu kota, perempuan berhijab tersebut akan membawa satu ransel lengkap dengan peralatan p3k, termasuk minyak kayu putih atau obat anti mabuk perjalanan darat.     

Tidak peduli ketika teman -teman mengatakan: 'Tidak akan ada yang muntah ketika menempuh perjalanan sependek dua puluh kilometer'. Dan kenyataannya, teman-temannya muntah sesaat selepas turun dari roller coaster, kecuali Aruna dan Damar. Sehingga peralatan p3k yang dibawa Dhea berhasil menyelamatkan Lily dan Agus.     

"Aku harap kau tidak mengatakan, kalian berdua akan tinggal disini selama satu bulan," Aruna menimpali pernyataan Surya.     

"Nah, Itu masalahnya, dan lihatlah! Dhea bahkan membawa selimut favoritnya. Dia pikir kalian tidak terlalu kaya untuk menyiapkan fasilitasi selimut lebih nyaman dari pada miliknya." Surya terkekeh, menertawakan istrinya yang detik ini memeluk selimut yang dia sebutkan sembari mengatur cara penjaga villa mengeluarkan barang-barangnya dari dalam mobil.     

Detik berikutnya, kekeh geli Surya mampu menarik perhatian Aruna untuk memutar tubuhnya menangkap keberadaan sahabat suaminya.     

'Oh! Ya Tuhan apa yang terjadi?' Aruna menyimpan keterkejutannya di dalam hati. Kepalanya pening seketika. Entah karena terik matahari, atau penampakan Surya yang detik ini mampu membuat syok perempuan hamil tersebut.     

Kepalanya kian berat, dan Aruna sadar dia butuh bersandar. Sebelum benar-benar hilang kesadarannya, perempuan hamil ini berjalan cepat masuk ke dalam villa. Setengah berlari dia menuju kamarnya. Mahendra menangkap keanehan itu, atau mungkin lelaki bermata biru tersebut memahami apa yang dialami istrinya saat ini.     

Beberapa detik berikutnya. Selepas Mahendra berhasil menggapai Aruna di dalam kamar mereka, pria tersebut lekas memeluk perempuannya. Dan Aruna tak bisa menghentikan raungan tangisannya.     

Pantas saja Dhea bahkan tak sempat menyapanya. Sahabatnya pasti tengah memastikan suaminya dalam keadaan baik ketika memutuskan menetap di Villa ini selama satu bulan.     

"Jangan bersedih," ucapnya lirih, mengelus punggung Aruna dengan gerakan menenangkan.     

"Hendra, tutup pintunya. Aku tak mau Dhea mendengar tangisanku," perintah Aruna lekas dijalankan. Saat Mahendra berbalik, yang dia lihat adalah perempuan yang duduk di atas ranjang putih sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangan.     

'Aku ingin kau tahu resiko yang akan terjadi ketika melampaui koridor yang kubangun' gumam Mahendra.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.