Ciuman Pertama Aruna

IV-92. Milan Sedang Membeku



IV-92. Milan Sedang Membeku

0"Kau Pulang?" Leona mendapatkan informasi dari asisten rumah bahwa Thomas baru saja tiba, sehingga perempuan tersebut lekas menuju tempat dimana pria itu menghabiskan sebagian besar waktunya.     

Ketika Leona berhasil membuka pintu, dia melihat pria di dalam ruangan tengah mengeluarkan pakaiannya dari lemari. Sebuah koper hadir di dekat kaki ranjang. "Mau kemana kau?".     

"Aku akan berangkat. Aku sepakat dengan direktur, kita akan pergi bersama," dia miskin berucap. Untuk itu, Leona sekedar melihatnya. Sebuah ekspresi lelah ditunjukkan keduanya. Ini tidak ada kaitannya dengan lelah fisik.     

Duduk di tepian ranjang, Leona membiarkan lelaki berambut sebahu itu menghabiskan lebih banyak waktu melipat baju, yang berikutnya terlihat memasukkan lipatan-lipatan tersebut ke dalam koper.     

Perempuan tersebut ingin sekali berucap barang sekecap. Namun, ketika mengingat apa yang terjadi di malam sebelumnya —saat mereka bertengkar hebat atau lebih tepatnya mengutarakan apa yang tersembunyi di hati masing-masing, Leona kehilangan kata.     

Lima belas menit telah berlalu, Thomas hampir siap dengan barang-barangnya dan hanya menyisakan beberapa hal. Mungkin itu adalah laptopnya atau benda-benda elektronik lainnya. Leona mendapati pria itu meraih sesuatu, sebuah jam tangan di laci paling bawah.     

Perempuan yang menaruh perhatian penuh pada pria tersebut tahu, dirinya bersalah atas semua tindakannya terkait balas dendam atau mungkin lebih tepatnya mencari kambing hitam terhadap kemalangan yang sebenarnya bukan serta merta kesalahannya, apalagi salah keluarga besar yang dulunya memberi naungan kakaknya –keluarga Djoyodiningrat-. Mungkin dulu, dia egois dengan merengek menukar posisinya dengan kakaknya. Tapi waktu itu dirinya masih kecil. Yang Leona tahu, dia ketakutan bukan main. Sehingga dia mengharapkan bantuan dengan segala cara.     

Leona memasrahkan dirinya untuk bangkit dari ranjang yang ia duduki, berniat keluar dari kamar Thomas tanpa sepatah kata. Kecuali lelaki itu menginginkan dia bicara.     

Perempuan itu sadar betul, Thomas pasti memendam gundahnya kuat-kuat bersama perubahan lelaki itu selepas ditemukan lagi dari 'kematian'.     

Siapa yang menyangka ketika Leona bangkit, Thomas menghentikannya. Telapak tangan pria berambut sebahu itu memegang sesuatu. Dan perempuan tersebut tahu benda apa itu, seketika pula hatinya menjadi terbakar.     

Dengan tatapan emosional yang ditunjukkan Leona, secara mengejutkan Thomas melangkah mengurangi jarak diantara mereka. Perempuan itu masih merasakan dadanya bergemuruh, gemuruh yang mengabarkan bahwa dia bahkan masih menyukai pria dengan rambut sebahu di hadapannya.     

Thomas menjulurkan tangannya ke arah perempuan di hadapannya, seolah memintanya untuk membuka telapak tangan itu guna menerima sesuatu.     

Dan ketika Leona melakukannya, tak bisa dibayangkan, jam tangan dengan lambang insecta serta tiga buah garis berwarna tersebut berada di telapak tangannya. Ini adalah gelang jam yang paling ia cemburui.     

Gelang jam yang awalnya bahkan tak diperkenankan di sentuh oleh perempuan tersebut. Mengapa Thomas tiba-tiba meletakkan benda itu di telapak tangannya? Sungguh, Leona sama sekali tidak mengerti bagaimana pria ini berpikir.     

"Aku sudah memutuskan," harusnya, kalimat ini terdengar parau atau mungkin nada penuh hasrat seperti yang sering dia dengar dulu, tatkala Thomas mengucapkan rangkaian kata yang menyentuh hatinya dan hasratnya, bersama kado-kado special yang dia serahkan untuk Leona kala itu.     

Dulu, Thomas pernah melamarnya menggunakan rangkaian kata yang sama, 'sudah aku putuskan'. Kemudian pria itu menyatakan keinginannya untuk menikahi dirinya, 'aku akan menanggalkan masa lajang ku dan mengharapkan kau mau menerima lamaranku'. Piano, rumah makan bergaya klasik, dan lampu-lampu berpijar redup yang romantis menghiasi malam itu. Malam yang penuh kesan dan indah. Kini, Leona mengenangnya dengan dada berdenyut hebat.     

Sayangnya, ekspresi Thomas kali ini datar dan cenderung dingin, atau lebih tepatnya suara itu layaknya hujan salju yang sedang berguguran di luar sana. "Aku tidak akan jatuh cinta lagi, jadi kuberikan benda ini untukmu. Kau bisa menyimpannya. Simbol bahwa kau tak perlu mengkhawatirkan diriku akan dekat dengan siapa atau bakal berubah jadi orang lain. Aku memang sudah berubah," Milan sedang membeku.     

Ruangan yang seharusnya memiliki penghangat suhu, kini seolah benda tersebut tidak berfungsi sama sekali. Yang didapati hanyalah dingin yang mencengkam, "Jadi, carilah kebahagiaanmu. Bebaskan dirimu dari masa lalu kita. Kalau perlu dari pengaruh rasa bersalah terhadap kakakmu, jika aku masih diizinkan memberi masukan," kemudian dia bergegas mendekati kopernya kembali. Meraih laptopnya, kemudian memasukkannya ke dalam tas punggung di luar koper.     

"Tapi benda ini milik gadis itu, bukan?" Leona tak bisa menghentikan dirinya untuk tidak bertanya.     

"Ya. Dan aku tidak mungkin menyimpannya, maka dari itu aku berikan padamu. Supaya kau bisa melanjutkan hidup tanpa menengok ke belakang, terlebih mencari-cari alasan mengapa atau siapa yang menjadikan kita terpisah," Thomas tidak benar-benar menatap Leona. Perempuan tersebut baru mendengar pengakuannya semalam dan detik ini, dia bisa membuktikan dengan mata telanjang. Pria itu bahkan tidak bisa melihatnya dengan benar.     

Thomas tak berkenan menatap dirinya, seseorang berkontur wajah serupa dengan kakaknya yang dia sebut pembunuh. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri lagi, "Aku tahu, sejujurnya kau hanyalah gadis yang menanggung rasa bersalah, sampai-sampai terbebani hutang budi terhadap kakakmu. Sayangnya, rasa itu terlalu kuat sehingga menghancurkan dirinya sendiri," pria tersebut bicara seolah dia baru mencair. Dia tidak pernah berbicara sebanyak ini sebelumnya kecuali semalam.     

Thomas menarik kopernya melintasi Leona. Melihatnya membuka pintu kamar dan berjalan keluar, hal tersebut menjadikan dada seorang perempuan bergemuruh hebat.     

Lima detik berlalu, pria dengan rambut sebahu itu menutup pintu tak rapat, sehingga Leona bisa mendengar bagaimana Thomas berpamitan dengan nada sopan pada madam Graziella.     

Ya. Pria tersebut bahkan tak menunjukkan nada suara yang berbeda dari sebelum-sebelumnya, seolah tak ada pertengkaran dengan Leona maupun keadaan dimana beberapa detik sebelumnya terjadi komunikasi meremas sesuatu di dada.     

"Buon Viaggio," ucapan madam Graziella membuat seorang perempuan di dalam ruangan tersentak, bangun dari lamunannya, 'Semoga perjalananmu menyenangkan,' artinya sudah saatnya Thomas pergi.     

Leona lekas membuka pintu kamar lebar-lebar, berlari ke depan dan mengunci pintu keluar guna menghadang Thomas, membuat pria tersebut mengerutkan dahinya. "Mamma, Vaglio andere con Thomas," (Mama, aku akan ikut pergi bersama Thomas).     

Madam Graziella tak terkejut mendapati hal tersebut, dia menghela nafas dan malah tersenyum seolah masih mempercayai keduanya adalah pasangan yang tak terpisahkan. Sebaliknya, Thomas mengerutkan dahinya. Dalam ekspresinya yang spontan, pria tersebut jelas tidak sepakat dengan keputusan Leona.     

Perempuan di depan pintu berkeras hati, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di sana. Di negeri yang menumbuhkan pria ini dan bahkan rumah baginya. Thomas memang sangat giat dengan studynya, tapi godaan rumah sama mustahilnya untuk diabaikan.     

Leona berjalan melintasi Thomas, dia berbisik rendah, "Aku ikut bersamamu untuk mengunjungi kakakku, tidak lebih," singkat, yang kemudian disusul lari dan cara merapikan barang cepat-cepat.     

Seperti Thomas, Leona tak membutuhkan banyak barang untuk dibawa. Perempuan itu punya segalanya di negara yang akan mereka tuju. Untuk itu, koper kecil dengan santai dia seret mengekori langkah pria yang terbungkam walaupun tak ada persetujuan yang terbaca pada raut wajahnya.     

Lelaki dengan rambut sebahu itu hanya tak mau bertengkar di hadapan madam Graziella, perempuan yang mencintai kedua putrinya dengan tulus seburuk apapun keduanya terlihat di mata orang lain.     

"Kutegaskan kita tidak dalam satu rombongan, berpencarlah denganku jika kita telah sampai bandara Soekarno-Hatta," kalimat ini meluncur selepas pintu rumah tertutup.     

"Aku usahakan,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.