Ciuman Pertama Aruna

IV-91. Keluarga Baru



IV-91. Keluarga Baru

0Deburan ombak menjadi pengiring monolog yang diawali kata, "Sebab, hari itu aku kebingungan meletakkan foto keluarga,"     

Aruna melirik suaminya dengan tatapan bingung. "Bagaimana bisa kau memikirkan foto keluarga ketika akan kabur?,"     

"Sudah aku bilang, aku masih sangat muda saat itu," Mahendra melempar ranting yang tadi dia gunakan untuk menorehkan gambar di atas pasir. Benda itu terbang, melompat dan menghantam deburan ombak. "Aku meraih foto berbingkai yang diletakkan kakekku di atas meja belajarku. Beliau datang menjengukku satu bulan sebelumnya, bersamaan dengan perjalanan bisnis. Begitu tiba-tiba, sampai Surya dibuat gugup. Beliau tak membawa apa-apa selain mengoreksi seluruh ruangan yang aku tinggali. Dan setelah beliau pergi, kutemukan foto itu. Jadi kupikir, aku perlu membawanya supaya aku tak lupa dari mana diriku berasal" dia terkekeh sesaat, sebelum berujar, " Begitu naif," Aruna tersenyum ringan mendengar narasi panjang suaminya.     

Manik mata biru memandang sesaat perempuan di sebelahnya, sebelum melanjutkan monolognya. "Lalu, alih-alih menemukan celah di dalam ranselku yang penuh sesak, aku malah mengamati foto itu. Seorang perempuan dengan tatapan kosong, satu lagi tersenyum dibuat-buat, serta pria tua yang menatap tajam, matanya bisa jadi menakutkan tapi di wajahnya telah dipenuhi banyak kerutan,"     

"Dan kau merasa tersentuh? Begitu?" gali Aruna.     

"Bukan sedih karena mereka adalah keluargaku. Lebih dari itu. Aku merasa kasihan pada individu-individu itu, sebab aku yakin kesemuanya tak merasa bahagia tapi mereka bertahan. Dan aku mulai bertanya-tanya, mengapa mereka bertahan dalam situasi tanpa kebahagiaan," monolog ini syarat akan makna.     

Yang mengundang perempuan dengan manik mata coklat semakin diburu rasa penasaran, "Apa yang kau temukan?"     

"Aku menemukan diriku sendiri," jawab Mahendra singkat. Dia menoleh, dan mendapati ekspresi istrinya yang tak paham. "Mommy berdiam diri di rumah tanpa pemberontakan. Setelah aku pikir-pikir, mungkin karena satu-satunya yang bisa menghidupiku dengan layak saat dia sendiri tak sehat secara mental adalah nenek dan kakekku. Tetua juga sama, dia mempertahankan perusahaan yang ujung-ujungnya di wariskan padaku. Oma Sukma, menaruh cinta yang besar untukku. Dan aku tak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi kalau mereka mendapati diriku melarikan diri" terdengar helaan nafas, sebelum dia melanjutkan kalimatnya, "Saat aku mulai memperhitungkan berapa lama kira-kira kebahagiaan mereka akan datang, aku tak mendapatkan apa pun di sepanjang perhitunganku, kecuali kenyataan bahwa mereka hanya akan bertahan sepuluh hingga lima belas tahun saja,"     

"Bagaimana bisa kau menemukan prediksi semacam itu?" Aruna mengerutkan alisnya. Dia meletakkan telapak tangannya pada lengan Mahendra dan perlahan-lahan sembari memegangi dasar perutnya, dia berniat untuk duduk di atas pasir.     

Lelaki bermata biru yang menangkap niat perempuan tersebut, terdapati lebih tegang dibanding pemilik tubuh dengan perut besar yang tengah berupaya duduk. Memperhatikan gerakannya dengan tangan melingkar di punggung istrinya. "Apa kita perlu kembali," tawar Mahendra.     

"Biarkan aku istirahat sebentar," Aruna menatapnya. Meyakinkan Mahendra dengan meletakkan kepalanya pada dada bidang suaminya, "Lanjutkan kalimatmu tadi," ternyata, dia masih penasaran.     

"Prediksi." Mengulangi kata-kata istrinya, Mahendra yang detik ini duduk di sisi Aruna, mendekap bahunya dan sebuah sesapan hadir di sela pelipisnya, "Aku menyadari kelemahanku dengan baik. Dan kemungkinan besar, aku hanya mampu menjadi versi Hendra terbaik di mata mereka sampai diriku tumbuh menjadi pria yang harusnya siap menikah, dan mereka sekali lagi akan terhantam kesedihan ketika menyadari aku bahkan tak bisa bergaul dengan perempuan," dia menoleh pada perempuan di sebelahnya, menangkap manik mata coklat yang juga menatapnya dengan begitu intens dan serius. "Dan aku memutuskan mengurungkan niatku berlari. Aku berjanji pada diriku untuk menghibahkan sepuluh tahun ku sebelum mereka benar-benar hancur. Atau tepatnya sebelum hancur, aku bakal melarikan diri," dia mendesah berat, dan detik berikutnya, istrinya melepaskan kepalanya dari dadanya.     

Manik mata biru melempar pandangan pada debur ombak di hadapan mereka, sekilas sebelum kembali bermonolog, "Kemudian kakekku, entah bagaimana dia membuat rencana itu bertahun-tahun lalu. Perjanjian pernikahan," dia tertawa geli, "Tapi aku suka," sekali lagi, Aruna merasakan sesuatu yang hangat, ubun-ubunnya mendapatkan sesapan lebih dalam. "Tanpa kegilaannya, kau tak akan datang pada kehidupan kami dan merubah segalanya," dua lengannya bergerak, dan perempuan hamil menemukan dirinya dalam dekapan erat. Menempel pada dada suaminya. Dia bisa mencium bau harum Mahendra, termasuk sesuatu lain yang tak berbau tapi jelas meliputi dirinya.     

Aruna melepaskan tangan dan membalas pelukan. Entah karena matahari menghangat atau kah tubuh Mahendra yang memeluknya, detik ini, perempuan tersebut menemukan rasa hangat yang bahkan bisa merasuk ke dalam dadanya, lalu menyebar ke seluruh tubuhnya. Dan sang ibu merasa, babynya ikut merasakan rasa nyaman tersebut.     

"Kata-kata Surya terbukti," Mahendra tertawa ringan.     

'Akan ada fajar yang mengawali hari baru, selepas malam panjang,' gumam Aruna.     

"Kau hartaku, harta terbaik yang dikirim Tuhan untuk hari baru ku," dia merenggangkan pelukan, menurunkan pandangan matanya pada perempuan dalam dekapan. Aruna tahu mata itu menginginkan senyumannya atau bahkan anggukannya, berharap pernyataannya benar-benar terkonfirmasi sebagai fakta yang diyakini juga oleh lawan bicaranya. Dan begitulah Mahendra mempengaruhi orang lain.     

Aruna mengikuti kehendaknya, dia tersenyum semanis mungkin dan kembali meletakan kepalanya pada dada Mahendra. Pria dengan manik mata sebiru laut terlihat menangkap rambut panjang yang jatuh lembut, yang menggelitik telapak tangannya untuk mengusapnya.     

Dulu, Mahendra sering mengatakan, 'Aruna adalah hartaku. Tidak ada yang boleh menyentuhnya, apalagi mengambilnya,' dengan nada angkuh dan     

selalu diliputi kemarahan membabi buta kala itu, tatkala ayah Lesmana meminta perempuan tersebut pulang dan kakeknya memenuhi pemintaan itu.     

Kabarnya, pria mantan pengidap PTSD itu dengan gila menodong semua orang menggunakan pistol di tangannya. Aruna tahu itu dan kini dia mengerti, mengapa suaminya bisa senekat itu dulu.     

Namun detik ini, yang Aruna dapati bukan sekedar mengapa dirinya menjadi berharga bagi Mahendra. Lebih dari itu. Ternyata kehadirannya dalam kehidupan tuan muda Djoyodiningrat, hingga mendorong datangnya kesembuhannya, adalah perjuangan panjang yang dilakukan lelaki bermata biru dalam bertahan menghadapi rasa takut atas sindromnya dan tanggung jawab yang demikian besar pada keluarganya.     

"Lihat lah, apa yang aku gambar," Mahendra bangkit dengan gembira, selepas menanggalkan pelukan untuk Aruna. Dia berbalik dan mempersembahkan gambarnya di atas pasir. "Keluarga baru, kita," dia berujar riang. Berlari menunjukkan hamparan garis-garis yang diciptakan melukiskan tiga orang berpegangan tangan, "Ini aku dan itu kau," katanya, sekian langkah kaki lebih dekat dengan gambar dirinya sendiri di atas pasir.     

'Dan itu baby,' Aruna tersenyum bersama gumamannya. 'Perempuan,' mata perempuan itu meredup, dan nafasnya mengalir melalui celah di antara bibir.      

Mahendra melukiskan gadis kecil di antara celah dirinya dan istrinya. Gadis kecil dengan rambut uncir dua dan rok selutut bermotif bunga-bunga.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.