Ciuman Pertama Aruna

IV-90. Angin, Pantai dan Lautan



IV-90. Angin, Pantai dan Lautan

0Dia memalingkan wajahnya kembali, sebelum berujar, "Kau tidak punya bukti," Leona meyakini kata-katanya.     

"Aku memang bukan Vian yang pandai mengungkapkan fakta, tapi aku memiliki kemampuan merayu orang lain untuk menceritakan beberapa kenyataan, salah satunya Madam Graziella, Raka dan Pradita." Dan gadis yang mengurai rambutnya itu, menjadi pucat sebab ucapan Thomas.     

"Kau kembali memasuki lingkungan tetua dengan misi balas dendam demi kakakmu. Memanfaatkan kecerdasan yang kami puja, membuat dirimu bersinar dan kami berlomba mendapatkan cintamu, mungkin hanya Vian yang tak tertarik, tapi harusnya kau tak melupakan bagaimana Pradita dan Raka membenciku karena entah bagaimana kau memilihku. Sekarang aku tak lagi naif untuk mengakui bahwa aku saat itu yang paling menguntungkan untuk dijadikan pasangan. Berhubungan intens dengan pria yang mengatur hal berharga Djoyodiningrat. Saham-saham mereka," monolog pria itu membangkitkan segala situasi. Dia pun berdiri menanggalkan kursinya.     

"Tapi akhirnya aku mencintaimu," Leona ikut berdiri, hingga akhirnya mereka berhadap-hadapan. Tanpa sadar, sungai di malam hari ini menjadi background dan saksi segalanya.     

"Setelah aku terasa benar-benar hilang." Ada nafas tersengal, "Sampai akhir aku masih ingat, aku lah yang mengejar-ngejarmu, kecuali setelah aku kembali dari kematian. Bukan begitu?"     

"Kau tak bisa membuat penilaian seperti itu," mata gadis ini mulai memerah.     

"Aku berhak membuat penilaian atas situasi kita dulu. Saat aku di kabarkan mati, kau tak berupaya mencariku. Kau sekedar mempercayai kakakmu." Thomas menatap geram gadis yang kini melangkah ke depan, dan membuatnya mundur sebanyak Leona maju,     

"Kau tahu, siapa yang berupaya keras mencariku? Lelaki itu, lelaki yang hidupnya ingin kau hancurkan. Tuan muda yang terlihat dingin dan acuh tiap saat. Dia mempercayai aku tidak mati. Dia yakin aku tidak bunuh diri dan mendorong semua orang menemukanku. Sedangkan kau? Kau percaya begitu saja bahwa aku tipe orang yang bisa bunuh diri dengan gampang," dia membalikan badan, lalu berjalan cepat untuk pergi.     

Tak ingin lagi kehilangan Thomas untuk kesekian kali, Leona mengejarnya dan berhasil menangkap lengannya. "Aku minta maaf,".     

"Kenapa baru sekarang?" dia menarik lengannya. Lalu kembali berjalan, mengabaikan gadis yang memanggilnya.     

"Mari kita perbaiki dari awal Thom" Leona tak bisa lagi menahan setetes air di pelupuk matanya, ketika dia mengucapkan kalimat tersebut.     

"Sudah terlambat," kembali tangan Thomas tertangkap dan sekali lagi, dia menariknya. "Semua upayamu ini hanya akan sia-sia,"     

"Thom, asal kita mau, aku percaya kita bisa mengembalikan keadaan," matanya menatap penuh harap kepada pria yang dia dekap erat lengannya.     

"Sayangnya," Thomas berupaya lebih keras melepaskan diri, "Aku sudah tidak mempercayai cinta, atau ikatan apa pun yang mengatas namakan cinta, jadi carilah orang lain dan buat dirimu bahagia. Thomas yang dulu kau kenal sudah mati," pria dengan manik hitamnya menatap dingin, menjadikan Leona terpaksa melepasnya.     

.     

.     

Sesampainya Leona di rumah, dia tak mendapati Thomas kembali ke tempat tinggal mereka, Hunian madam Graziella. Kamarnya kosong sampai pagi.     

***     

"Angin, pantai dan laut. Apa yang kamu pikirkan tentang ketiganya?"     

"Kebebasan," Aruna berjalan lamban di tuntun Mahendra. telapak tangan kanan perempuan itu masih berada dalam dekapan suaminya, ditarik naik dan mendapatkan kecupan pada punggung jemari di dekat cincin pernikahan mereka. Lelaki bermata biru itu menghentikan langkahnya mendorong tubuhnya menghadap lautan. Menatap matahari yang sebentar lagi akan menampakkan diri. Aruna mengikutinya, melakukan hal yang sama dengan pria di sisinya.     

Pria itu pemandu yang andal, seperti magnet yang menggerakkan siapa pun di seputarnya. Hendra punya penguasaan diri yang kuat. Sadar akan tiap-tiap tindakan yang dia putuskan dan dia jalankan. Dia memahami dirinya dengan baik dan menguasai banyak hal sekaligus.     

Sejak datang ke hunian ini Mahendra lah yang mengawali semua aktivitas dan Aruna dengan senang hati mengikutinya. Memasak, Makan berdua di tepian pantai, berenang bersama sampai menghabiskan waktu mencoba berjelajah di kebun menggali umbi-umbian untuk di bakar di malam hari dan berakhir dengan buku dongeng baru yang di bacakan untuk bayi di perut istrinya sampai perempuan hamil itu tertidur.     

"Kebebasan," pria ini mengulangi kalimat istrinya, dia mendesah berat dan perempuan bermata coklat mengangkat wajahnya untuk menemukan mata Mahendra, "Saat aku seusiamu aku juga menginginkannya, aku ingin menjadi seseorang yang lepas dan bebas, pergi ke semua tempat, menjangkau buku-buku kuno di seluruh dunia. kamu pasti akan tertegun kalau aku menceritakan ini. Cita-citaku yang sesungguhnya adalah menjadi kolektor," pria itu tersenyum matanya menjadi biru menyala selepas cahaya menguning hadir di tengah laut lepas. Semburat kuning cakrawala yang kemudian disusul cahaya sang surya yang bergerak perlahan-lahan.     

"Kolektor buku?" Aruna menimpali dengan pertanyaan untuk memastikan rasa penasarannya.     

"dan lukisan," celetuk Mahendra.     

"Kau suka lukisan," Aruna terheran.     

"Aku suka menggambar, Kamu pasti tak percaya," mata Mahendra menyipit tertimpa senyumannya.     

"Oh, aku ingat," Perempuan hamil ini mengangguk-angguk sembari tersenyum samar, "Aku menemukan gambar diriku di hunian lantai tertinggi Djoyo Rizt Hotel," Aruna melirik pria itu.     

"Ya.. Aku menggambarmu karena rindu sekali," dia yang bicara melepas telapak tangan kiri Aruna yang ter dekap tangannya. Mundur satu langah pria ini memeluk dari belakang tubuh istrinya. Perempuan mungil itu memegangi siku yang mengalung di lehernya.     

Mengingat masa-masa berat di ambang perceraian menjadikan keduanya larut merasakan lebih dalam sentuhan yang di berikan satu sama lain.     

"Kenapa kamu tak mencoba mengembangkan minatmu melukis?" Tanya Aruna.     

"Tentu saja karena hidupku tidak sebebas mengikuti kehendak hatiku," kalimat Mahendra menjelaskan segalanya. Aruna merasakan bahasa tanggung jawab di sana. "bisa saja aku melarikan diri ketika menempuh study di luar, sejujurnya aku tahu aku tak sekedar berdua dengan Surya, ada orang-orang kakekku yang mengintai kami. Walaupun begitu sangat mungkin untuk orang sepertiku kabur."     

"Dan kamu tidak melakukannya," imbuh Aruna.     

"Hampir," tukas Mahendra.     

"Benarkah? Kamu akan melarikan diri dari keluargamu –dulu?" Aruna tak yakin mendengarnya.     

"Ya. Aku masih muda ketika sekolah di luar, bahkan lebih muda darimu. Hidupku di atur dan semua anggota keluargaku adalah tiga manusia pupus, tak punya harapan atas kehidupan mereka," Aruna tak lagi bertanya, dia bisa merasakan kondisi Mahendra saat itu. Ibunya yang depresi, nenek yang selalu pura-pura segalanya baik-baik saja dan tetua Wiryo yang berkeras hati mempertahankan perusahaan di tengah kehidupan keluarganya yang di ujung tanduk. "kamu tidak ingin tahu kenapa aku tidak melarikan diri? Padahal aku sudah pernah mengemas semua barang-barangku,"     

"Aku takut tak bisa menahan air mata jadi aku menahan diri bertanya," jawab Aruna, perempuan itu sempat membisu anehnya lelaki bermata biru malah terkekeh mendengar pernyataannya. Tawa Mahendra menepis bayangan masa lalu yang tergambar di otak masing-masing dan menggiringnya kembali di pagi ini. Fajar bersama mentari yang menghangat. Dia kembali membawa tangan istrinya dalam dekapan, menyusuri tepian pantai pasir putih yang menjelma layaknya pantai pribadi.     

"Aku tidak jadi pergi sebab petuah si sialan Surya, dia percaya selepas malam gelap yang panjang Tuhan akan menghadirkan fajar -mengawali hari baru," Mahendra terdengar santai berujar.     

"Kamu pikir aku akan percaya dengan kata-katamu?" Aruna menarik tangan lelakinya. Memberinya tatapan cibiran, "Kau pria yang mengoptimalkan otakmu ketika membuat keputusan, mana mungkin masukan Pak Surya bisa mempengaruhimu?!"     

"Ternyata istriku sangat mengenalku, aku pikir cuma aku saja yang ahli mengenali lekukan tubuhnya," dia berbisik lirih di telinga.     

"Hendra!" Perempuan ini memukul ringan bahu lebar dengan wajahnya yang sudah merah padam. Dan Pria itu tertawa renyah. Dia senang berhasil menyingkirkan beberapa hal yang suram di masa lalunya.     

.     

.     

"Sekarang aku benar-benar penasaran mengapa kamu memilih tinggal," selepas keduanya telah jauh berjalan. Perempuan dengan rambutnya yang tergerai pajang dan sesekali melompat di terpa angin pagi. Hendra menanggalkan caranya menggambar sesuatu yang membentang di atas pasir pantai dan berlari lebih dekat pada istrinya.     

Deburan ombak menjadi pengiring monlong yang di awali kata, "Sebab hari itu aku kebingungan meletakkan ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.