Ciuman Pertama Aruna

IV-89. Pria Sedingin Es



IV-89. Pria Sedingin Es

"Kita tidak sedang membahas tentang Mentari Plaza milik kakakmu atau bukan, itu bukan bagian dari masalahku," Thomas bicara tanpa menatap Leona dan direktur di hadapan dua orang tersebut mengernyit seketika, menyadari ada rentang di antara keduanya. Pria yang menguncir sebagian rambutnya melanjutkan makan tanpa berkata-kata lagi. Sampai semuanya selesai, dia menjabat tangan sang direktur dan menepuk bahunya, "Kapan anda kembali?,"     

"Secepatnya," Thomas mengangguk dua kali mendengarkan ini.     

"Saya juga akan mengatur jadwal secepatnya," Dia membalas tatapan direktur.     

"Aku akan ikut ke Indonesia, aku akan mencari tahu hak kakakku," Direktur tersebut bisa merasakan pria berambut sebahu itu mengeratkan gigi karena ucapan gadis di antara mereka.     

Ketika ketiganya sampai lobi, sang direktur memisahkan diri. Sedangkan Leona dan Thomas keluar menuju mobil mereka.     

"Apakah kau layak mengatakan itu, bahkan ketika kakakmu hampir merenggut nyawa dua orang sekaligus?" Thomas mengakhiri kalimatnya dengan mendecih sebelum masuk ke dalam mobil. Dia menutup pintu kendaraan tersebut dengan keras, selepas duduk dibalik kemudi.     

"Bukan sekedar karena hak kakakku di ambil, aku juga ingin tahu sejauh mana dia dirawat, siapa yang menjamin seperti apa dia diperlakukan, apakah dia ditempatkan pada tempat yang layak," mata Leona menatap tajam sekeliling mereka, selepas dia duduk di kursi penumpang sebelah Thomas.     

"Terserahmu! Aku tidak peduli. Aku akan pergi dalam perjalanan bisnis ini sebaik yang aku bisa. Kalaupun kau berangkat, kita tidak dalam satu rombongan," Mobil menderu dan Thomas kembali menjadi sedingin es.     

"Ya. Dan sebaliknya kau menyempatkan diri menemui keluarga yang menolongmu, lalu berjumpa dengan gadis yang jam tangannya masih kau simpan di bawah laci mejamu," tiba-tiba mobil itu berjalan lebih cepat, menit berikutnya berdecit hebat ketika menemukan sebuah tempat parkir dan pria berambut sebahu itu menanggalkan sabuk pengaman, "Kau akan kemana?"     

"Aku akan menemukan jalan pulang dengan cara lain," Thomas membuka pintu dan dengan sigap, Leona mencengkeram lengan pria tersebut tepat pada sikunya.     

Perlahan tapi pasti, Thomas menangkap tangan Leona dan menurunkannya. Pria itu berjalan cepat meninggalkan mobil. Sangat cepat, sampai gadis yang baru keluar dari kendaraan beroda empat tersebut perlu berlari ringan untuk menemukannya.     

Dan disinilah Leona menemukan Thomas, duduk pada sebuah kursi kosong di tepian jalan menghadap sungai. Berdiam diri dalam ketenangan, seolah pikirannya terbang tidak pada tempatnya.     

Thomas tidak sepenuhnya menyadari ketika Leona berhasil duduk di sisinya.     

"Kenapa kau selalu melarikan diri? Ini bukan yang pertama. Kenapa kau tak mau menghadapi kenyataan bahwa kita memiliki sebuah masalah. Ada jurang di antara kita," Leona bicara selembut mungkin supaya pria itu terbangun dari kekosongannya dan kembali pada dirinya tanpa pergi menghindar lagi.     

"Tidak ada kata 'di antara kita', kita sudah usai." Pria itu menoleh, dan mendapati gadis di sebelahnya menatapnya datar. Mereka bertemu mata beberapa detik. Menghembuskan nafas di antara udara yang mendingin, selebihnya kembali mengarungi panjang dan lebarnya sungai.     

Leona sudah pernah mendengar kata 'usai' sebelumnya, jadi dia tidak terkejut.     

"Apa karena pemilik jam itu? Yang ini aku belum pernah berani bertanya, hari ini aku mengumpulkan keberanianku. Keberanian tentang kau yang kemungkinan berkata 'iya'," suara gadis itu bergetar, seolah sikap dingin pria di sebelahnya mengalahkan dinginnya cuaca malam ini.     

"Tidak ada hubungannya dengan dia. Hubungan kita sudah hancur sejak pertama kali aku mendengar pembelaanmu untuk Nana," Thomas akhirnya berkenan bicara.     

"Nana seperti itu karena aku. Kau sudah tahu bukan? Bagaimana dia menggantikanku di masa lalu," gadis ini membuka ingatan keduanya tentang kisah masa kecil bersama kakaknya.     

"Ya. Itu masalahnya. Kau mustahil menanggalkan rasa bersalah terhadap kakakmu, dan akan terus mendukungnya sampai kapan pun. Aku yakin kau akan ada untuknya dan tak terpisahkan." Thomas menolehkan wajahnya sejenak dan mendapati Leona mengangguk, membenarkan ucapannya.     

Raut wajahnya masih datar, tak menunjukkan ekspresi apapun ketika pria berambut sebahu melanjutkan kalimatnya, "Sama dengan kemustahilanmu menanggalkannya, seperti itu pula aku tak akan bisa melupakan bagaimana diriku yang hanyut di antara arus deras sungai itu, bergumul bersama sampah karena perbuatannya. Kita tidak lagi sama. Aku tak bisa melihatmu lamat-lamat, karena kontur wajahmu dan beberapa bagian dari dirimu serupa dengannya. Di mataku, dia tak termaafkan. Sebaliknya, kau akan terus membelanya dan aku akan terus membencinya. Hidup kita berseberangan,"     

"Tapi aku bukan dia," nada suaranya meninggi, ketika Leona menyahut kalimat Thomas.     

"Biar aku selesaikan kata-kataku, kalau kau ingin aku bicara," pria dengan rambut sebahu itu coba meredam sesuatu di dadanya.     

Ketika semuanya lebih tenang, Leona memulai percakapan terlebih dulu, "Kau harus bisa membedakan urusan kita berdua,"     

"Kau yang tak bisa melepaskan diri dari kemelut kita bertiga. Bukan aku," Thomas meluruskan sesuai sudut pandangnya.     

"Aku keluarganya dan aku yang bertanggung jawab atas kondisinya," dan, Leona menggunakan alasan yang sama.     

"Untuk itu aku sudah putuskan. Tak ada harapan bagi kita. Selama di Milan, aku menimbang-nimbang keadaan ini." Thomas kembali menoleh sejenak kepada Leona. "Aku tak bisa menerima dirimu yang seperti itu." Jujurnya, "Entah kau anggap sebagai pengabdian atau apa, aku tegaskan, aku tidak bisa. Kau tak akan mengerti bagaimana penderitaan orang menuju maut, sebab diperlakukan tidak adil. Itu menakutkan dan menyakitkan. Mungkin orang lain bisa menerimamu dengan tangan lebar, sayangnya kita di situasi yang berkaitan. Mentolerir perbuatan Nana sama dengan membenarkan perilakunya," dan pria tersebut terdiam.     

Disusul diamnya Leona, sebelum gadis itu berujar kembali, "Dia sakit,"     

"Dan aku benci alasanmu," Thomas tak lagi menyisakan ruang untuk bernegosiasi.     

Tapi tidak dengan Leona, ketika dia membenarkan alasannya sendiri, "Itu kenyataan,"     

"Kata-katamu semakin mengingatkanku pada seseorang yang membantu, bahkan memberi jalan 'orang sakit' datang di antara dua orang yang sedang berjuang mempertahankan hubungan sakral pernikahan," suaranya menggeram, menahan gejolak yang hendak meluap-luap.     

Leona menyadari kalimat Thomas ketika dia mengaku, "Seseorang itu aku,"     

"Baguslah kau sadar. Aku juga bersalah, bedanya aku terdorong oleh cinta buta sedangkan kau berinisiatif," dan pria dengan rambut sebahu itu mendesah lelah.     

Seolah tak terima, Leona bersuara dengan nada bergetar, "Bagaimana kau bisa membuat kesimpulan sejauh itu?,"     

"Aku merunut segalanya, sepanjang hari selama tinggal di sini. Aku diam sebab aku kian paham siapa dirimu. Kau tak bisa mengelak," Thomas menghela nafas sesaat, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya, "Kau memfasilitasi Nana untuk menghancurkan pernikahan tuan muda dan istrinya. Kau mencari kambing hitam atas nasib buruk kakakmu dan kau menemukannya. Untuk itu kau mengharapkan kehidupan lelaki bermata biru itu ikut hancur, bukan?" todong pria itu gamblang.     

"Tuduhanmu tidak sepenuhnya benar," Leona menolehkan wajahnya, menatap pria di sebelahnya.     

"Dan tidak salah" tegas Thomas.     

Dia memalingkan wajahnya kembali, sebelum berujar, "Kau tidak punya bukti," Leona meyakini kata-katanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.