Ciuman Pertama Aruna

IV-88. Sang Negosiator



IV-88. Sang Negosiator

0Pria itu menanggalkan bukunya dan seluruh tugas-tugas yang dia dapatkan untuk meraih gelar di Bocconi University, sebuah sekolah manajemen dan keuangan yang didirikan pada tahun 1902, sebagai sekolah bisnis terbaik keenam di Eropa menurut majalah Forbes 2017.     

Dia bangkit dari tempat duduknya. Mendekati sebuah laci dan mengeluarkan notebook yang telah lama tidak dinyalakan. Meraih tas dalam ketenangan lalu menyangkutkannya ke bahu dan memutar syal pada lehernya, termasuk sebuah mantel membalut tubuhnya sebelum keluar ruangan.     

"Aku akan ikut," Leona membuntuti di belakang dan segera dia memberi tahu seorang pelayan atas kepergiannya.     

Meninggalkan pinggiran kota, mobil yang mereka kendarai menyusuri jalanan sepanjang 2,5 km. Excelsior Hotel Gallia, hotel koleksi mewah di jantung kota Milan, tempat tersebut lah yang menjadi tujuan mereka.     

Beriringan dengan Trem, atau moda transportasi konvensional berupa kereta di atas permukaan jalan yang masih dipertahankan oleh Milan, pria ini memperlambat kecepatan pada jalanan sempit yang menampilkan bekas kekuasaan kerajaan Romawi.     

Thomas adalah pria tidak banyak bicara sekarang. Dia begitu tenang dan bahkan hanya menjawab sekilas ketika Leona mempertanyakan beberapa hal untuk memecahkan keheningan. Sepanjang keberadaannya di Milan, tidak seorang pun mampu menarik dirinya untuk bergabung dan tenggelam dalam budaya Italia yang ekspresif.     

Dia tidak bicara dengan gerakan tangan dan ekspresi muka yang menonjol khas logat Italia. Lelaki ini terkesan dingin di setiap keadaan dan situasi. Belum ada yang berhasil menjadikannya tersenyum atau sekedar mengernyit.     

Leona beberapa kali menyeretnya hadir dalam jamuan bersama teman lama mereka dan kesemuanya gagal total. Dia bukan lagi orang yang sama. Bahkan, kesempatan bertemu dengan seseorang selalu berujung masalah. Dia menyukai kesendirian. Tenggelam dalam buku-bukunya dan begitu serius meraih gelarnya.     

Tidak ada yang mampu memancingnya keluar, kecuali studynya. Hari ini, setelah sebulan penuh dia tidak keluar —kecuali pergi ke kampusnya, akhirnya pria itu berkenan berkendara melintasi kota dan berakhir pada salah satu resto di Excelsior Hotel Gallia.     

.     

.     

"Tuan Hendra yang meminta saya datang," kalimat itu membuatnya tidak lagi berminat dengan pasta di piring.     

"Apa yang tuan sampaikan?," dia tidak membiarkan lawan bicaranya meraih gelas untuk meneguk air ujung jemarinya.     

"Presdir tidak ingin mengganggu study anda, dia mengetahui anda menginginkan ini, tapi keadaan sedang tidak baik akhir-akhir ini. Saham kami dijual 40% untuk membuat sampel Dream City yang lebih spektakuler pada wilayah timur," tiga buah garis tercipta pada sela alis Thomas.     

"Mengapa dia memerlukan terobosan semacam itu?. Aku yakin, dia tahu tidak akan ada profit besar di wilayah timur," sebuah garpu berhasil meringkus sejumput spageti dengan sekali putar.      

Selepas berhasil meneguk air dalam gelas, sang direktur berujar, "Tidak ada cara lain. Presdir diterpa gelombang protes terburuk selepas menanggalkan proyek tiga kota, ini hanya rumor yang kami dengar bahwa dia terpaksa karena ada permainan kotor di sana. CEO Surya pulang dalam keadaan sakit parah, kabarnya disekap oleh lawan bisnis. Tapi rumor ini belum terbukti sebab ijin resmi yang disampaikan CEO, dia menghabiskan masa bulan madu dengan istrinya,"     

"Pak Surya pria yang konvensional, yang tak akan mampu mengabaikan tanggung jawab di situasi sulit demi liburan bersama istrinya. Itu mustahil," Thomas menyuarakan pendapatnya.      

"Dugaan saya sejalan dengan pemikiran anda," lengkap direktur Mentari Plaza.      

'Jika benar keadaan semacam ini terjadi, artinya surel atas nama Bianca benar-benar Bianca putri Nalendra. Bukankah paman Adam melarang putra putrinya menjadi bagian Tarantula?' dia bergumam sendiri memahami situasi.      

"Apa yang anda pikirkan?" direktur tersebut menangkap ekspresi bisu Thomas.      

"Ah' tidak ada," pria ini tersenyum di buat-buat. Leona memahaminya. Thomas kembali menampakkan bagian dirinya yang sulit di tembus.      

"Ah' iya, saya melewatkan satu hal yang utama," direktur Mentari Plaza berucap selepas menelan makanannya, "Presdir meminta waktu anda. Jika Anda tidak keberatan,"      

"Waktu?" belum yakin dengan ucapan yang dilontarkan lawan bicaranya, Thomas membumbui tanda tanya.     

"Ya. Dia menaruh kepercayaan pada anda untuk sebuah negosiasi. Sekali lagi, dia tidak ingin mengganggu study anda. Jadi secara khusus dia mengirim saya, demi rasa ingin tahunya. Apakah anda punya waktu untuk perjalanan bisnis kali ini?," Mata lawan bicara Thomas menatap penuh harap.      

"Bagaimana bisa dia menghargaiku setinggi itu? Terakhir, aku hanyalah seorang supir. Aku rasa ini terlalu berlebih," pria berambut sebahu yang detik ini separuh rambutnya dikuncir pada bagian atas, terlihat sangat maskulin seperti dulu.      

Direktur Mentari Plaza tersenyum ringan mendengar kalimatnya. "Cucu tetua Wiryo tidak akan mungkin meletakkan orang seperti anda sebagai supir, kecuali dia punya niatan khusus,"      

"Ya, dia ingin menghukumku karena kelakuan burukku," tersenyum samar, kemudian Thomas membalas tatapan direktur. "Mana mungkin aku bisa menolak permintaan seseorang yang telah menanggung segala biaya studyku,"      

"Jika negosiasi bisnis ini berjalan mulus, anda hanya butuh meluangkan waktu tiga sampai lima hari, paling panjang satu Minggu. Sekali lagi, Presdir menekankan bahwa dia tidak menyukai study anda terganggu, jadi anda diizinkan mengatur jadwal sendiri," Thomas mengangguk ringan mendengar monolog sang direktur     

Mencoba menggali pemahaman ketika Thomas bertanya, "Negosiasi terkait apa yang harus aku jalani?,"      

Gerakan sigap di tunjukan sang direktur. Mengeluarkan beberapa berkas dari dalam tas yang sejak tadi menemaninya, "Departemen store Intan putri Salim, saya tidak tahu mengapa Presdir mengatakan hanya anda yang tahu tentang sahamnya di sana,"      

"Ya. Aku yang menanganinya, bahkan dia menamakan saham itu atas nama istrinya," Thomas membuka beberapa lembar. "Aku sadar, aku tidak sempat mentransfer beberapa pemahamanku pada penggantiku," 'di lantai D,' pria ini tidak tahu, bahwa Mahendra tidak pernah menunjuk penggantinya. Presdir tersebut menggabungkan divisi Thomas di bawah kepemimpinan Vian, walaupun kenyataannya tim negosiasi tidak bisa mendapati pengarahan yang berarti dari seorang penyidik yang buta akan seluk-beluk bisnis dan komunikasi.      

Vian bisa membuktikan sebuah kejadian hebat terkait pemanfaatan uang perusahaan atau membidik beberapa orang yang jelas-jelas membelot dari Djoyo Makmur Group, tapi dia tidak akan mampu memberi saran dan pengarahan terkait memenangkan tender besar untuk perusahaan.      

"Presdir ingin mendorong Intan membeli 40% saham Mentari Plaza, dia menginginkan perempuan itu tertarik dan membelinya. Jika Intan tidak mendapatkan sokongan dana, Presdir sendiri yang akan menyuntikan dana pribadinya, dalam perusahaan itu,"      

"Hah!" Thomas meletakkan berkas yang dia buka penuh, sebelumnya dia ingin membacanya dan semua konsentrasinya buyar sudah. "Aku tahu dia jeli dan perfeksionis dalam segala hal, tapi tidak pernah sekalipun aku membayangkan dia bisa bermain politik selicin ini, untuk apa semua upayanya ini? Ini sama saja membeli miliknya sendiri,"      

"Tentu saja untuk istrinya," celetuk Presdir Mentari Plaza. "Dia ingin nama istrinya hadir dalam surat-surat berharga Djoyo Makmur Group, mungkin," tidak bisa dibayangkan, senyum Thomas hadir kali ini. Dia tersenyum murni tanpa di buat-buat, merasa geli sekaligus tersentuh secara bersamaan.      

"Tunggu! Bukan kah Mentari Plaza milik kakakku??"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.