Ciuman Pertama Aruna

IV-87. Paling Berambisi



IV-87. Paling Berambisi

0"Kau tak bisa mempekerjakan seseorang tanpa kualifikasi perawat," suara sang dokter terdengar nyaring dari celah kamar Vian. Gadis berambut hitam panjang tersebut menempelkan punggungnya pada dinding di samping pintu.     

Kihrani kian meyakini bahwa dirinya selalu kurang di tempat ini. Dia berusaha keras berlatih bela diri ala para ajudan perempuan yang lain, namun kenyataannya dia tak mendapatkan apa-apa selain rasa lelah luar biasa. Tak satupun dari empat seniornya yang memiliki kemampuan separah dia, terlebih menggunakan senjata. Bahkan dia hampir berlari ketika pertama kali mencoba menembak suatu titik, sebab bunyi dengungan senapan itu sangat menyiksa. Dia gadis biasa dan mustahil bersaing dengan mereka yang punya bakat sejak lahir.     

"Sayangnya, aku bisa mati lemas kalau tak melihatnya sehari," dan Kihrani masih bisa mendengarkan gurauan enteng Vian dengan dokter tersebut. "Akan aku pertimbangkan seorang perawat untuk menjagaku,"     

"Akan saya kirim yang paling cantik, supaya kau tak mati lemas," dokter Martin menimpali. Sesaat kemudian gadis dibalik pintu memilih kembali ke dapur di hunian tersebut, dia merasa satu-satunya tempat paling nyaman untuknya adalah disana.     

"Aku rasa kau memang paling cocok jadi ibu rumah tangga dan memasak untuk suamimu, kemudian memarahinya karena melempar kaos kaki sembarangan," sebuah suara menjadikan Kihrani berjingkat. Dia menoleh dan mendapati seorang pria memakan sesuatu yang tersaji diatas meja pantry, "Pantas saja Vian menyukaimu. Dia tergila-gila dengan istilah keluarga," suara kunyahan Pradita terdengar. Menatap gadis tersebut dengan geli, kemudian melompat dari tempat duduknya.     

"Terima dia, atau kau akan di buat frustasi olehnya," kalimatnya berujar sambil lalu menuju tangga, "Dari kami berempat, dia yang paling ambisius mencapai ambisinya dibanding siapapun. Kau tahu kita semua kumpulan pria yang diliputi ambisi, dan Vian paling parah," kemudian berlari melompati tiap-tiap anak tangga. Mengabaikan tatapan dingin yang disuguhkan Kihrani.     

"Aku juga gadis yang berambisi!" Kihrani meletakan kasar sesuatu yang dia pegang sampai bunyi benturan terdengar nyaring. "Ibu rumah tangga?" dia menertawakan kata-kata yang keluar dari bibirnya. "Aku sudah jadi ibu rumah tangga bahkan sebelum lulus SMA. Mana mungkin orang lain perlu mengukur tingkat cocok tidaknya diriku tentang itu? Bukan lagi cocok! Aku sudah ahli!" sambil berujar kesal, dia meraih semua hal yang dirasa berantakan dan membereskannya dalam kemarahan.     

***     

Aruna mendapati dirinya terpesona oleh sesuatu yang terhampar di hadapannya. Bugatti Veyron Grand Sport Vitesse melaju meninggalkan kesibukan kota dan terus ke utara.     

Mata dengan iris coklat terang bak daun maple di musim gugur, mendapatkan kesempatan menyapu hijaunya hamparan persawahan. Kemudian menaiki lereng perbukitan, dan beberapa menit berlalu sampai akhirnya dia menemukan celah di antara lereng-lereng bukit yang menawarkan warna biru muda, "Pantai!" pekik perempuan hamil tersebut.     

"Kita akan menuju ke resort," Aruna tak perlu mempertanyakan apakah mereka akan menginap, karena Mahendra pasti menginginkan itu dengan membawanya sejauh ini.     

Sampai bau asat laut mengudara berpadu dengan angin laut yang menyegarkan, mobil convertible tercepat di dunia versi atap terbuka itu telah meninggalkan jalanan beraspal dan kini memasuki jalur lain yang berupa batuan tersusun membentuk jalan buatan.     

"Kau masih merasakan guncangan?" Mahendra memelankan laju mobilnya, namun Aruna merasa ini terlalu pelan. Pria itu meletakkan telapak tangannya pada perut yang menonjol di lapisi jumpsuit overall berbahan jeans berwarna biru pekat. Lelaki dengan segala sifat posesifnya itu pikir, dia akan melindungi sesuatu yang berharga di dalam perut istrinya dengan melakukan tindakan tersebut. Padahal, tidak akan ada yang terjadi sama sekali dengan melakukannya. Tapi perempuan hamil itu membiarkannya, sebab dia suka mendapat perhatian dari suaminya.     

Jalan berbatu itu terhenti ketika sebuah gerbang menjulang tinggi hadir di hadapan mereka. Sepasang suami istri tersebut perlu menunggu beberapa saat sampai mereka dapati seorang penjaga hadir di balik pintu gerbang, lalu membukanya lebar-lebar sambil tersenyum lebar.     

Kendaraan yang mereka tumpangi menjadikan debu naik ke atas sesaat, dan buru-buru Mahendra menggerakkan atap mobil untuk menutupi keduanya. Mengamati istrinya dan memastikan perempuan itu tak terganggu dengan debu-debu yang berterbangan.     

"Kenapa kau tak pernah membawaku ketempat ini?" Aruna tampak acuh tak acuh dengan debu yang dikhawatirkan Mahendra ketika dia menatap sekitar, tumbuhan mengelilingi bangunan di hadapan mereka. Tumbuh-tumbuhan yang didominasi buah-buahan, serta tanaman obat herbal yang sudah jarang dibudidayakan.     

Resort di depannya seperti bernuansa lama. Bangunan yang memiliki atap indah berbentuk limasan dan terdapat kesan waktu telah mundur sepuluh dasawarsa ke belakang, namun terawat dan tentu saja beberapa hal dirasa lebih tampak modern. Rumah kayu dengan ukiran dimana-mana dan tembok batu bata merah yang mempertahankan kekhasannya.     

Selain bangunan yang mengesankan, ada hal lain yang jauh lebih indah. Yakni, laut dengan pasir pantai putih menawan yang masih asri dan tak tersentuh.     

"Dulu, kupikir aku akan menikah dengan Tania dan memilih rumah ini sebagai tempat untuk mengisolasi diri dari hiruk pikuk dunia di luar," kalimat yang diucapkan Mahendra, mengundang mata coklat membulat lebar.     

"Kau!!" pekiknya, lalu memukul tangan Mahendra.     

"Dan aku tak melakukannya, sebab aku memilih menikahimu," dia tersenyum jahil, sesaat sebelum menuruni mobil. Mata Aruna belum lepas tatkala pria tersebut mengitari sisi depan mobil dan membuka pintu untuk istrinya.     

"Sekarang, aku datang ke rumah ini bersama perempuan yang sangat aku cintai dan itu memang bukan Tania. Dia adalah gadis polos yang sekarang berubah menjadi perempuan hamil yang sulit dikendalikan," melihat istrinya memalingkan wajahnya, menghindari tatapannya. Lelaki bermata biru merundukan tubuhnya, lalu mendaratkan kecupan di pipinya, "Kalau pun aku menikah dengannya -Tania-, belum tentu aku bisa bercinta dengan dia," Aruna terkejut selepas mendengarkan kalimat tersebut. Dia spontan menoleh dan sebuah kecupan di bibir didapatkan dari pria yang detik ini menyipitkan matanya. "Sebab, hanya kau yang bisa tahan denganku dan menjadikan aku sembuh. Kau yang terbaik. Ayo keluar!," Mahendra menegakkan punggungnya, kemudian membuka lebar pintu mobil. Kepalanya bergerak ringan menginstruksikan supaya perempuan yang masih larut dalam keterkejutannya supaya lekas keluar.     

Tak butuh waktu lama untuk Aruna menapakkan kakinya, menerima uluran tangan Mahendra dan berjalan memasuki rumah di hadapannya.     

Saat pintu berbahan kayu jati dengan ukiran rumit terbuka, Aruna tak pernah menduga di dalamnya begitu modern. Sofa, televisi, serta hal-hal lain yang indah, tersaji sempurna. Di sisi samping rumah tersebut terdapat balkon mengarah ke pantai. Seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan duduk di salah satu kursi nyaman di balkon tersebut. Itu yang dipikirkan perempuan tersebut.     

"Jika aku memutuskan menginap disini, berapa lama kau bisa bertahan tak menginginkan pulang?" tanya Mahendra.      

"Mungkin satu minggu," jawab Aruna ringan, lalu terkekeh. Berjalan menuju balkon dan membuka pintu kaca transparan di hadapannya. Perempuan ini masih bisa mendengar bagaimana Mahendra meminta seseorang yang tadi membuka pintu gerbang untuk menyiapkan sesuatu yang bisa membasahi tenggorokan istrinya.     

Sesaat setelah selesai bercakap-cakap singkat, Mahendra menyusul Aruna untuk duduk pada kursi yang nyaman, "Aku akan tinggal disini dan menemanimu sepanjang hari sampai aku tahu, apa yang ingin kau raih dari perilakumu?"     

"Maksudnya?" Aruna spontan menoleh pada Mahendra. Celah diantara alisnya mengerut, dan lelaki bermata biru itu membalas tatapannya. Sesaat wajahnya terlihat kaku, namun kemudian tersenyum hangat. Istrinya menjadi bingung dibuatnya.     

"Tidak ada," dia menggeleng kepala dan menjadikan Aruna sulit memastikan arah pembicaraan mereka.     

***     

"Apa malam ini kau rela meninggalkan meja belajar. Tesoro?"     

"No, devo finire il mio lavoro," dia mulai fasih bahasa Italia, tapi tidak dengan logatnya. [Tidak, aku harus menyelesaikan pekerjaanku]     

"Aku rasa kau tak akan melewatkan kesempatan bertemu dengan direktur Mentari Plaza. Dia jauh-jauh datang ke Milan untuk menerima masukan mu," Pria yang tadinya berkonsentrasi penuh pada bukunya, menanggalkan kumpulan kertas tebal tersebut dan matanya beranjak menatap seseorang yang berdiri di ambang pintu kamarnya.     

"Apa kau bisa dipercaya kali ini?" pria itu memastikan.      

"Sejak kapan aku mendapat label pembohong?" Dia mengerutkan alisnya, "Tu sei il traditore, non io,". [Kau adalah pengkhianat, bukan aku]      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.