Ciuman Pertama Aruna

IV-86. Kalut



IV-86. Kalut

0Dia tahu istrinya keluar malam hari dan itu membuatnya tak suka. Berjalan menuruni tangga dalam suasana hening dan mendapati seorang ajudan laki-laki sudah menunggu di ujung lorong Tersembunyi.     

Hendra tidak bisa melihat wajah ajudan tersebut dalam temaram lampu dan sudut keberadaannya yang mengendap tak mengizinkan dirinya ketahuan. Aruna berbicara selama 10 menit kemudian dia tahu perempuan itu akan kembali ke kamar mereka.     

Untuk itu malam ini. Malam yang terasa menyiksa bagi Mahendra sebab tindakan dan perilaku istrinya di luar kebiasaan perempuan tersebut. Hendra memutuskan akan memberi waktu lebih pada Aruna sampai perempuan tersebut mengakui apa yang dia jalankan.     

.     

.     

"kamu tidak bekerja?" ada nada bingung di sana ketika Aruna terbangun dan tidak mendapati suaminya berpakaian lengkap dengan jas atau dasi bersama setelan senada. Lelaki bermata biru itu mengenakan baju santai. Kaos ringan dan sebuah celana jeans membalut kakinya.     

"Aku akan bekerja," kalimatnya bertolak belakang dengan perilakunya. Dia duduk di sisi ranjang ketika Aruna dengan perutnya yang kian membuncit bangkit, ia terduduk.     

"Apakah Ada pertemuan khusus," ini bukan kebiasaan Mahendra. Mengenakan jeans terlebih kaos ringan berwarna putih dan sebuah topi berada dalam genggaman.     

"Tentu saja,"     

"main golf?" itu satu-satunya yang ada di pikiran Aruna. Para pebisnis biasanya membicarakan hal peting dengan memainkan bola yang mereka pukul kuat-kuat untuk menunjukkan keangkuhan dan kekuasaan masing-masing.     

"Tidak,"     

Aruna mengerutkan kening sembari menurunkan kakinya ke lantai. Mencoba memahami kata-kata suaminya. perempuan ini meraih dasar perutnya dan berusaha berdiri.     

Hendra segera membantunya, "sudah aku bilang aku hanya hamil, bukan sakit,"     

"Ya. Aku tahu," Lelaki bermat biru itu memperhatikan gerakan langkah kaki istrinya yang lebih lambat dan lekas berdiri memanggil salah seorang asisten rumah induk untuk membantu istrinya mandi.     

Saat di mana Aruna keluar dari kamar mandi, Aruna meyakini ada sesuatu yang aneh dengan Hendra. Pria itu kembali bertingkah seperti dulu, memilihkan baju dan meletakkannya di atas ranjang.     

Dress jumpsuit overall dengan kaus dalam putih senada menggantung di tangan Ratna. "aku rasa tuan muda akan mengajak Anda jalan-jalan nona,"     

"aku tidak yakin tapi aku suka," perempuan itu mengenakannya dan menyadari perutnya demikian menonjol.     

Menuruni tangga, Aruna melihat Hendra sudah menunggu di bawah. Dia duduk kaku pada sofa kulit italy dan terlihat menguasai sofa tersebut menggunakan ekspresi keangkuhannya.     

Ada beberapa hal yang harus Aruna lakukan hari ini di rumah, dia punya janji. Sayangnya dengan ekspresi Hendra yang berkuasa itu dia tak yakin bakal memenuhi janji apa pun.     

"aku akan menanggalkan handphoneku," dia berujar meraih tas Aruna dan mengeluarkan handphonenya. "Biar Herry yang membawa ini untuk kita," Hendra pun menyerahkan smartphone tersebut pada Herry.     

"kamu bilang akan bekerja?"     

"Ya. Aku akan bekerja bersama istriku," dia tersenyum manis tapi matanya menggelap dengan manik mata yang menghunjam kuat. Aruna tidak bisa menelaah apa isi di kepala Mahendra. Dia sedikit berbeda.     

"kenapa harus denganku?"     

"karena aku ingin," Hendra tidak memberi kesempatan pada Aruna untuk berkilah. Lebih dari biasanya pria itu mengeluarkan mobil sportnya dan mengendarainya sendiri.     

Hendra membelenggu dengan tak memberikan izin untuk memegang apa pun hari ini selain jemarinya sendiri yang bertautan.     

"Akan ada hal menarik yang ingin aku tunjukan," 'untuk mencegahmu menjalankan rencanamu sendiri,' pria ini tersenyum demi menutupi separuh isi kepalanya.     

Sepanjang jalan Aruna mengamati lelaki bermata biru di sampingnya. Mahendra mengemudi dengan kencang, menghindari lalu lintas pagi yang padat dengan cekatan sampai jalanan bisa ditembus.     

Ia menekankan kaki ke pedal gas, mobil melesat bagaikan kuda pacu menuju garis finis dengan kecepatan tinggi. Aruna tersenyum samar saat merasakan sentakan kecepatan dengan tenaga itu karena seperti Mahendra, ia pun menyukainya.     

Atau mungkin itu hanya karena atap mobil diturunkan dan matahari pagi menyinari keduanya, "ini yang kusebut bekerja," dia berbisik dan melirik, "bekerja menciptakan ketenangan di hati istriku, dan tentu saja rasa bahagia," Mahendra jarang berperilaku santai seperti ini. Dia pria sibuk, menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja.     

Namun dibalik itu semua, apa pun yang Aruna mau, pria ini menjadikan segala sesuatu yang mustahil seakan-akan mungkin.     

Tentu saja Aruna berbangga oleh perilakunya. Sayangnya Aruna saat ini sedang membutuhkan berjauhan dengan lelaki bermata biru, semua rencana Aruna masih ada di sana-di kepalanya. perjanjiannya dengan Syakilla, dan perasaan membuncah bahwa dia telah menemukan tanda-tanda keberadaan Juan.     

Juan masih tinggal di kota ini walaupun pemuda tersebut kabarnya tengah mengisolasi diri bersama ibunya sebelum berencana meninggalkan kota dan tanah airnya untuk menetap di London –tempatnya menghabiskan waktu meraih gelar sarjana.     

Vian dan orang-orangnya lebih dari handal, pemuda bermata sayu itu tak mau membuka tabir penembakan atas dirinya, akan tetapi berkenan membantu dalam hal lain. Aruna merasa beruntung dia tak bertanya-tanya mengapa dirinya mencari Juan. Padahal Aruna sangat yakin segalanya berkaitan.     

Sekali lagi dirinya menyayangkan apa yang terjadi detik ini. Ia di bawa pergi oleh Mahendra, melihat cara Mahendra yang lebih banyak menatap jalanan dengan keangkuhan yang kentara, Aruna berupaya menekan sesuatu lain yang tak ia kenal.     

Untung firasat asing tersebut lekas di tepis. Embusan angin menerbangkan rambutnya dan matahari menghangatkan wajahnya, ia bisa melupakan rencananya.     

Aruna mau tak mau mengakuinya, bahwa ia suka mengawasi cara Mahendra mengemudi. Menyukai kepercayaan diri pria itu ketika menangani mobil, gerakan samar jemari pria itu saat memindahkan persneling, sentakan otot pahanya yang kuat saat mengemudikan mobil. Mahendra membuat mengemudikan mobil menjadi sesuatu yang Menawan. Bagi Aruna, segala sesuatu yang dilakukan lelaki bermata biru menawan dan ketertarikan kuat itulah kelemahan Aruna. Dan Aruna kehilangan kemampuan memikirkan hal lain.     

Ia mengalihkan pandangannya dari godaan, menyisir rambut dengan tangan dan melirik ke belakang. "Mereka mengikuti di belakang?"     

"Herry?" Mahendra memindahkan pandangan sesaat padanya, "dia kuminta berada di jarak yang jauh,"     

"Bukankah itu tak baik?" Senyum singkat Mahendra mampu meluluhkan dan menguasai Aruna sekaligus.     

"Jangan khawatir. Aku mampu menjagamu dan lagi pula tempat yang kita tuju memiliki petugas keamanan." "Oh." Harapan Aruna bahwa mereka tidak akan menginap di tempat ter pencil nan jauh pupus sudah.     

Dia takut melewatkan hal besar di rumah induk. Dia tak yakin JAV bisa menanganinya. Mempertemukan dua pasangan tersebut sehingga Syakilla membuka tabir yang hadir mengganggunya tiap saat.     

"Ke mana tujuan kita, Hendra?"     

"Itu kejutan. Tapi kau bisa memercayaiku bahwa aku sedang bekerja untuk membahagiakan istriku,"     

"Apa aku pernah ke sana?" Perempuan hamil ini di gerogoti rasa penasaran serta keinginannya mendapatkan handphone atau lebih tepatnya siapa pun bisa membantunya bebas dari pengaruh Mahendra sesaat, "Bisa dibilang belum."     

Aruna menyerah karena Mahendra jelas takkan membebaskannya, perempuan hamil yang kalut ini menyandarkan kepala ke kursi dan mengamati daerah yang di lalui berubah menjadi haparan sawah pedesaan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.