Ciuman Pertama Aruna

IV-85. Perasaan Gusar



IV-85. Perasaan Gusar

0"Jangan kau pikir bisa membodohiku dengan tindakanmu yang konyol itu," Kihrani sekedar lalu membuka pintu kaca ketika Vian membuntuti langkahnya dengan suara langkah yang seolah menghancurkan lantai. Gadis itu masih terbungkam, bahkan ketika dia menuju kamar mandi dan keluar untuk berganti seragamnya menjadi baju lebih santai.     

Melirik seseorang yang menunggunya di depan pintu kamar mandi dengan perasaan gusar, Kihrani menyadari amarah Vian. Yang tidak dimengerti oleh gadis itu adalah keputusan pria tersebut, bagaimana bisa dia dengan enteng menyatakan cinta padanya?.     

Gadis ini cukup tahu diri untuk menolaknya, ketika pria dengan mata sendunya menyatakan cinta yang terdengar sangat enteng meluncur dari mulutnya. Tentu saja, dia masih terjaga di sana selepas pintu rumah sakit itu di benturkan kasar. Keraguan, kecemasan, dan emosi menekan yang tidak dia kenal menyelubunginya.     

Dia disini untuk bekerja. Lagi, Kihrani mengulangi keyakinannya tersebut. Tidak untuk yang lain, seperti caranya tersenyum ramah kepada para customer —ketika dia masih bekerja sebagai kasir minimarket, di balik kehidupannya yang carut marut. Dan, dia meyakini para pria kaya atau nonanya adalah customernya. Gadis itu harus melakukannya untuk menyelamatkan harga dirinya sendiri.     

Kebutuhannya sekedar bekerja, jadi kejadian apa pun di tempat kerja akan dia anggap sebagai angin lalu. Gadis itu menganggap kehidupannya di tempat ini adalah ruang dimensi lain.     

Kihrani tak akan pernah mau mengakuinya. Meyakini pendengarannya yang kemarin sama dengan menghancurkan prinsip dan hidupnya sendiri. Dirinya cukup dipandang berbeda sejak dia datang dengan begitu saja tanpa kualifikasi yang bagus untuk menjadi asisten sang nona muda, terlebih jadi ajudannya.     

Terlebih lagi, pria dengan mata sendu itu mengenal beberapa orang yang bahkan tak tersentuh oleh pekerja lain di rumah induk. Dan sebaliknya, Kihrani mengenal baik Vian dan Thomas yang termasuk orang-orang disegani dalam lingkungan kerjanya. Itu saja sudah cukup membuat gadis itu sadar bahwa terdapat jurang di antara mereka.     

Jadi, untuk apa menyeberangi jurang yang mustahil itu demi pernyataan cinta yang terdengar sembrono.     

"Kau akan terus diam sampai aku menggertak mu?!" Vian duduk di kursi depan meja pantry. Gadis di hadapannya tengah menyiapkan sarapan pagi untuknya. Dia mengenakan pakaian biasa dan dengan lincah memainkan peralatan dapur.     

Awalnya, hanya ada satu wadah bubur warna putih yang baru selesai di aduk, yang kemudian dia tuangkan pada mangkuk tak jauh dari keberadaan Vian. Lalu, semangkuk lagi opor ayam yang harum rempah-rempahnya demikian menggiurkan datang dan di susul hidangan lain.     

Tangannya memotong daging tak bertulang tanpa suara sedikitpun, hanya gerakan lincahnya yang seolah tak pernah berhenti, yang terlihat oleh mata sendu pria di hadapannya. Benturan pisaunya pada talenan terdengar nyaring, alih-alih menakutkan, dan Vian suka mengamatinya.     

Mengamati Kihrani menuang susu jahe hangat pada cangkir, kemudian disodorkan untuknya tanpa berkata-kata. Selepas satu mangkuk bubur dan tiga buah wadah lain yang berisi sayuran serta topping pelengkap siap dimakan.     

Masih tak bersuara, bahkan tanpa menatap mata sendu yang mengawasi gadis itu dengan jeli, Kihrani membalik tubuhnya kemudian membereskan dapur.     

"Kau tidak makan bersamaku?," tawar Vian. Pria ini baru saja mencicipi opor ayam hangat dan dia sungguh menyukainya. Ada rasa rumahan yang mahal di sana.     

"Aku sudah sarapan," hanya itu yang diucapkan Kihrani, berikut menaruh sisa opornya dalam wadah kemasan.     

Vian lebih banyak melihat punggung gadis itu ketika dia makan. Pikirannya kembali kemasa kecil tatkala melahap makanan ini. Rasanya, seperti dia menemukan ibunya yang terlihat dingin di malam hari saat-saat perempuan itu akan berangkat bekerja atau menyembunyikan dirinya yang berukuran anak-anak dengan mengunci kamar.     

Namun, di pagi hari hingga siang, perempuan dingin itu menghangat. Terlihat dari caranya menyiapkan sarapan, mencium, lalu memeluk, serta menyerahkan baju seragam yang kadang terasa hangat, sebab baru usai di setrika dan langsung dikenakan di tubuh Vian.     

Perempuan itu akan menekuk kakinya di hadapan Vian dan mengatakan bahwa dia -Vian- harta terbaiknya yang akan membebaskan hari-hari mengerikan di rumah mungil yang berdiri di antara gang sempit. Meminta pria itu belajar sungguh-sungguh dan membaca buku sebanyak-banyaknya, termasuk menutup telinga kuat-kuat ketika ada temannya yang menghina statusnya.     

Pria dengan kemeja putih itu tak menyisakan apapun pada tiap mangkuk yang disajikan Kihrani. Meneguk semua minuman hangat pada cangkir, lalu mengusap bibirnya. "Aku sudah selesai," gadis itu terkejut melihat Vian yang makan cukup cepat, bahkan saat dia belum usai membereskan dapur. Kemarin, dia masih kesusahan dengan usahanya menggunakan tangan kiri. Namun, hari ini seperti tak ada kendala. "Dadaku mulai nyeri. Aku akan tiduran di sofa depan televisi, letakkan saja obatku di dekatku,"     

"Kau tidak kembali ke kamar?" Kihrani bertanya, sembari mengais wadah kotor di atas meja pantry.     

"Aku bosan menunggu pagi datang, menunggumu dengan berbaring di kamar terus. Aku akan berbaring di situ, supaya bisa mengamatimu bekerja," gadis itu menatap sekilas pria yang baru saja melontarkan kalimat tersebut. Dia menyebalkan dengan kemampuannya bicara. Enteng sekali mengatakan ini itu sesuai isi hatinya tanpa berfikir.     

Menyadari keduanya bertautan mata, Kihrani lekas membuang tatapannya.     

"Kau akan jatuh cinta padaku, aku yakin itu," dan kalimat terakhirnya sebelum meninggalkan kursi pantry lebih menyebalkan dari ucapan 'Bomb' yang sering gadis itu dengar untuk memanggilnya.     

Mata pria itu sayu, tapi dia punya cara memandang yang unik. Menyipit sedikit ketika menelisik, kemudian menghentikan langkahnya.     

"Sejak kapan kau pacaran dengan Sasono?" Kihrani tak mau membalik tubuhnya, dia tahu Vian di belakang punggungnya detik ini tengah berdiri dengan percaya diri dan siap menyerbunya penuh penghakiman tanpa memikirkan bahwa dia perlu melindungi dirinya dari semua hal di dimensi lain ini.     

Mencoba terdengar biasa, ketika Kihrani menjawab pertanyaan Vian, "Satu bulan,"     

"Berapa?" entah pura-pura tak dengar atau apa, Vian meminta jawaban sekali lagi.     

"Satu bulan," sekali lagi Kihrani berujar, lalu dia mendengar pria itu berdecih menghinanya.     

"Kau membohongiku supaya bisa menolak ku terang-terangan," dia mendesis tajam. Saat gadis itu membalik tubuhnya, Vian sudah menggenggam handphonenya dengan otot-otot menonjol pada jemari tangan kirinya yang sehat. Kihrani merasakan emosi yang menderu di jiwa pria tersebut. Matanya kian menyipit, sesaat sebelum dia berujar, "Orang ku menemukan fakta bahwa kau baru kemarin berpacaran dengan Sasono, kau menerima preman kampung berantakan itu demi menghinaku."     

Telapak tangan kirinya berubah mengepal dan seolah akan membanting smartphonenya. Tapi kesadaran menghampirinya, ketika dia berucap, "Aku tahu, aku bodoh karena menyukai gadis sepertimu. Tapi aku tak tahu, kau bisa menggunakan cara serendah itu untuk menghinaku, bahwa Sasono lebih baik dariku." mata hitamnya berkilat-kilat, tanda Vian sedang marah.     

Tanpa mengalihkan pandangan, Kihrani membela dirinya dengan menjawab, "Aku hanya melindungi diriku,".     

"Melindungi diri?" Vian akan maju, namun kemudian dia meringkuk, memegangi dadanya. Bulir-bulir air meluncur dari pelipisnya, yang menyadarkan Kihrani bahwa pria itu menahan rasa sakit cukup lama dengan bertahan berdiri di sana.     

Kihrani memberanikan diri melangkah, tapi tidak sepenuhnya mendekati Vian. Dia menuju sofa nyaman yang lebih mirip tempat berbaring, yang tersaji tidak jauh dari Vian berdiri.     

Tangannya cekatan menata bantal dan berdiri di samping sofa tersebut, ketika Vian berjalan mendekatinya dengan mata tak lepas menatap tajam gadis yang memilih melihat kearah lain.     

"Kau akan menyesal sudah menghinaku," suaranya terdengar lelah dan wajahnya memucat. Terbaring, menghembuskan nafas lelah. Kihrani hendak beranjak, tapi tangannya di tangkap pemuda itu dalam mata tertutup. "Sasono tidak akan menjemputmu nanti sore, dan dia tak akan pernah berani menampakkan batang hidungnya di depanmu," gadis itu mengerut khawatir, lalu dia mendapati mata pria itu terbuka perlahan. "Orang-orangku mengancamnya dan dia takut. Dia cukup rendah untuk bersaing denganku!".     

Spontan mata hitam itu membulat lebar, sesaat sebelum berujar lantang, "Vian, kau!" dia mengibaskan tangan kirinya yang dipegang Vian, yang detik berikutnya membuat laki-laki tersebut menggeliat hebat ketika merasakan rasa sakit di dadanya. Sebab, dia menjerat tangan Kihrani dengan tangannya yang kanan, dan gadis itu tak menyadarinya, "Vian, maaf. Kau tak apa?".     

"Panggilkan dokter! Sekarang!!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.