Ciuman Pertama Aruna

IV-84. Kekasih Pura-Pura



IV-84. Kekasih Pura-Pura

0"Kiki??" Siapa yang tidak akan terbelalak, saat dimana gadis pujaan yang telah mematahkan hati tanpa ampun berani datang dengan enteng. Duduk santai di tempat mangkal tiga preman kampung yang unik, seolah mereka teman lama yang tak pernah berjumpa.     
0

Sasono dan dua anak buahnya mengucek mata, mereka menyadari ada yang tidak masuk akal dengan keberadaan gadis tersebut.     

Mengabaikan keterkejutan preman tersebut, Kiki berujar dengan wajah serius, "Apa aku bisa bicara dengan Sasono, berdua saja?"     

"Bos!" salah satu anak buah Sasono menyenggol tubuh bosnya dan mendorongnya ke depan. Tampaknya, pria dengan kulit eksotis dan bertubuh tinggi besar itu hilang dibawa perasaan tertegun, tatkala memandangi gadis berambut hitam panjang yang memikat matanya.     

"Ada apa? Kenapa kau kemari?" di atas pipinya yang coklat terdapat semu merah tipis. Dia menanggalkan ekspresi garangnya, dan kini berubah seperti boneka beruang yang manis.     

Kiki berdesis sebelum menatapnya sangar, "Aku geli dengan sambutanmu!" dia memarahi Sasono, bahkan saat pria itu menatapnya dengan perasaan tertegun.     

"Ya, ya, tak apa," Sasono mengangguk-anggukan kepalanya, duduk bersama di tempat mangkal, pangkalan preman kampung yang sejujurnya sama sekali tidak menakutkan.     

Kadang kala Kiki bingung, mengapa tukang penyedia kredit motor dan barang-barang elektronik termasuk pinjaman harian tersebut menjadi preman?. Dia meyakini, mereka takut pada Sasono sebab belum bisa bayar tepat waktu, bukan karena tubuh gempal pria itu atau tato naga yang kadang lebih mirip cicak bersayap pada lengang kirinya. Padahal, rambut keritingnya yang hitam sebahu terlihat lucu.     

Tak mau basi-basi, ketika Kihrani langsung berujar, "Aku butuh bantuanmu,"     

"Kau sudah banyak uang," sahut Sasono, sembari memesan dua cangkir kopi pada pak RT yang juga pemilik warung tempatnya biasa mangkal.     

"Ini bukan tentang uang," wajah Kihrani yang sangar berubah cemberut.     

"Lalu?," Sasono bangkit, berjalan sedikit dan beberapa detik berikutnya meletakkan dua buah kopi hitam di depan mereka.     

Mengabaikan rasa gengsi, gadis yang kini mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda berujar, "Maukah kau pura-pura jadi pacarku?"     

"Uhuuk! Byuuurrrr!," kopi yang baru mencapai bibir menyembur keluar seperti pipa bocor yang lepas kendali.     

"Kau! Masih panas sudah diminum!!" Kihrani menepuk pundak gempal kuat-kuat menggunakan tangannya yang kontras dengan kaos dan sebuah vest jeans tanpa lengan.     

Masih meredakan batuk dan keterkejutannya, ketika Sasono menimpali "Bukan karena kopinya yang panas,".     

"Jadi kau keberatan membantuku?," dahi gadis itu mengerut, selepas berujar demikian.     

"Bukan begitu!," nada suara Sasono meninggi. "Aku tidak mengerti?!" tambahnya.     

Enggan menimpali kalimat tersebut, Kihrani menuang kopinya pada lepek kecil kemudian membiarkannya mendingin. Gadis itu meletakkan sikunya pada meja, kemudian wajahnya disangga dengan kepalan tangan kanan. Seperti tengah merenungi sesuatu dalam-dalam.     

"Kau membenciku seperti kuman yang perlu dibasmi. Sekarang, kau menawariku menjadi pacarmu? Jelas saja aku tersedak! Tapi, suka juga sih," lalu dia tertawa bahagia sampai perutnya yang sedikit membuncit bergerak naik turun.     

Mata gadis itu melirik sinis pada Sasono, "Huuh! Aku sedang kacau. Kalau kau mau, aku akan membayarmu," dia mengangkat lepek dan menyeruput habis kopi. Aroma kafein menguar, membuatnya lebih tenang.     

"Lama tidak melihat pengendara motor mahal itu berkeliaran di sini, apa gara-gara dia?" maksud Sasono adalah Vian. Dia tahu pemuda itu pengganggu yang membuatnya merasa mustahil untuk bersaing, sekaligus geram.     

Mengangguk ringan, lalu berujar, "Tepat sekali. Aku butuh menghindarinya," Kihrani memutar tubuhnya setengah lingkaran ke arah Sasono dan pria gempal itu menjadi kaku.     

"Jangan menatapku seperti itu!" gertak Sasono ketika mendapati mata gadis di hadapannya, menatapnya lamat-lamat.     

"Apa kau benar-benar menyukaiku?," Ini pertanyaan konyol yang dilontarkan Kiki.     

Mengurangi ketegangan, ketika Sasono kembali menyeruput kopinya. Lantas berujar, "Semua orang di kampung ini tahu, kau galak sekaligus cantik. Tapi lebih dari itu, siapa pun yang menjadi suamimu akan beruntung,"     

"Sejak kapan kau belajar memiliki kata-kata bermakna?" Mendengus sesaat, sebelum Kihrani melanjutkan kalimatnya, "Kebanyakan nonton berita ya?"     

"Tidak! Aku kebanyakan nonton Shah Rukh Khan," jujur Sasono, yang membuat Kihrani tak bisa menahan kekeh gelinya. "Segalak-galaknya dirimu, ibu-ibu di kampung ini pun tahu bahwa kau anak yang berbakti. Bapakmu hampir gila, tapi kau masih bisa menghidupi orang tak berguna itu dan adik-adikmu,"     

"Kisahku terdengar mengenaskan daripada mengesankan," cibirnya pada pujian pria tambun tersebut.     

"Pria di pinggir sungai itu sudah di temukan orang-orang sebelum bapakmu. Mereka lebih suka lapor polisi, tapi dia merintih tak mau. Bodohnya, bapakmu membawanya pulang. Anehnya lagi, kau mau juga memberinya makan," Sasono menambahkan. "Tapi aku sebal, sebab kau menikah dengannya," tiba-tiba meja di hadapan mereka mendapatkan pukulan keras sampai Kiki melonjak kaget.     

"Kalau sampai mejaku rusak, awas saja!" Suara pak RT ngamuk membumbung tinggi.     

"Maaf pak RT," pentolan preman itu menimpali tak kalah keras.     

Mendesis sinis, sebelum Kihrani berucap, "Dasar preman! Biasa saja kenapa?" dia menatap penuh lelaki bertubuh tambun dengan kerutan di dahinya.     

"Kau membuatku emosi waktu itu! Sekarang juga, aku emosi mengingat suami mu yang minggat entah kemana!," Sasono mengucapkan kalimat itu dengan berapi-api.     

"Aku menikah bohongan, itu cuma pura-pura," dan tanpa dosa, Kihrani menyeruput kopinya,     

Sasono luar biasa terkejut, hingga dia berseru lantang "Apa??" matanya melotot penuh.     

Dan, di balasan delikan pula oleh Kiki, "Kenapa teriak! Kau membuatku terkejut!"     

"Aku yang terkejut!" balas Sasono, masih dengan nada tak santai.     

"Kalian, kalau bertengkar jangan di warung ku!" pak RT datang membawa gorengan di atas piring, lalu meletakkannya.     

"Pak! Dia membohongi kita!" Jari dengan cincin berhias batu akik sisik naga bercorak emas, menunjuk gadis di hadapannya, "Kiki belum nikah ternyata!,"     

"Aku sudah tahu," dan pak RT menimpali dengan santai. Ikut duduk bersama Sasono, meraih gorengannya sendiri lalu memangku kakinya sambari mengunyah tahu isi besar sekali lahap.     

Semakin terkejut Sasono, sesaat sebelum dia meyakinkan dirinya sekali lagi dengan bertanya, "Kau tahu pak?"     

"Semua warga kampung juga tahu. Iya 'kan, Ki?" dan si empunya nama terdiam. Sekedar tersenyum menimpali ucapan pak RT.     

"Bagaimana bisa hanya aku yang tak tahu?," wajah pentolan preman itu mengerut dan hampir marah.     

"Dasar bebal!," pak Rt malah menghinanya, "Kita gerebek rumah Kiki karena terbawa omongan mu, dan disaat tahu pria yang tinggal di rumahnya adalah korban bunuh diri di sungai sana, orang-orang jadi memaklumi. Mau pura-pura nikah atau apa, kita semua bisa maklum. Sekali-kali otak taruh kepala, jangan kebanyakan ditaruh di perut," lalu beliau terkekeh.     

"Ya sudah kalau begitu, aku sepakat," Kiki sedikit bingung dengan kalimat Sasono yang ini. Namun ketika pria itu berkedip sebelah mata, gadis dengan rambut hitamnya baru sadar tentang tawarannya menjadi kekasih pura-pura.     

"Pak RT, bapak saksinya ya? Sekarang, aku pacar Kiki," lalu pria bertubuh tambun itu terkekeh dan perutnya bergerak sekali lagi.     

"Yang bener ki? Daripada jadi pacarnya, jadi istri kedua ku saja. Kau punya hutang pada Sasono?" kini, pak RT yang terkejut bukan main.     

"Anggap saja begitu pak," lelah Kiki mengurai percakapan absurd di tempat mangkal orang-orang kampungnya dan kurang dari sehari, sepertinya berita ini bakal menyebar di seluruh kampung.     

Kiki tidak tahu anak buah Sasono telah mengabarkannya pada tiap orang yang didatangi untuk ditagih hutang. "Hari ini kalau ada yang ngebon cicilan, kita maafkan. Bos lagi happy, akhirnya pacaran sama Kiki,".     

***     

"Bye! Sasono, nanti jemput ya!" sungguh menggelikan, ketika Kiki akhirnya harus bersikap sedikit manis dan ramah pada preman yang dulu selalu dia usir apabila hendak mengganggunya.     

"Jam berapa, Sayang?" Sasono sudah mirip seperti seekor beruang besar pada salah satu tokoh kartun ketika tersenyum menyeringai.     

"Yang benar saja? Kau berbicara seperti itu padaku," gadis itu mengangkat satu tangannya, kemudian mengepal.     

Mengacuhkan hal tersebut, ketika Sasono berucap dengan santai, "Kita 'kan pacaran,"     

"Hanya Pura-pura!" suaranya mendesis lirih, tapi tidak dengan kepalan yang hampir mengenai bahu Sasono, sesaat sebelum sebuah deheman mengubah segalanya. Tangan mengepal berubah jadi elusan lembut, "Jumpa lagi nanti ya, sayang. Bye, bye!," Kiki melambaikan tangannya dengan seberkas senyum manis yang aneh, mengiringi lajunya motor meninggalkan pintu gerbang cluster mewah.     

"Apa yang terjadi padamu?" Vian baru keluar dari pintu rumahnya yang mayoritas hanya dibatasi kaca.     

Gadis itu mengangkat bahunya. Berjalan melewati seorang pria yang berdiri kaku, sebab tubuhnya tak bisa banyak bergerak kecuali kakinya. Vian mengenakan kemeja putih, dimana sebuah perban masih menempel pada dadanya.     

"Kenapa kau memanggil preman itu Sa—?" dia ingin mengatakan kata 'sayang' namun tak yakin.     

"Sayang?" Kiki menganggukkan kepalanya, "Iya, aku menyayanginya. Dia pacarku,".     

"Aku tahu kau sedang bercanda," Vian menggelengkan kepala pelan-pelan. Berbeda dengan detak jantungnya yang berdegup tak karuan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.