Ciuman Pertama Aruna

IV-81. Permohonan



IV-81. Permohonan

0"Susi?" Aruna menghela nafas. Pantas saja Susi tidak membantunya kemarin, ketika dia ingin tahu siapa yang tinggal di lantai tiga. Ternyata, ajudan perempuan tersebut memilih menolak keinginannya, sebab dia dikendalikan oleh opa Wiryo.     

Manik mata coklat itu memandang ajudan tersebut dengan perasaan kecewa. Aruna tidak tahu, bahwa Susi sebelumnya pernah tertangkap basah melakukan tindakan paling makar. Dan karena hal itu pula, mustahil baginya untuk mengulang sekali lagi. Membantu menghilangkan jejak Anna demi Sukma dan Gayatri. Maka dari itu, selepas kejadian tersebut, dia -Susi- cenderung patuh daripada mengambil resiko untuk dirinya dan para juniornya.     

Tiga perempuan Djoyodiningrat masih menikmati sarapan mereka di meja makan, bersama tetua Wiryo yang lebih banyak memandangi koran, ketika seorang gadis bertubuh kurus datang mengekor langkah Susi dengan wajah tertunduk.     

Awalnya, Aruna lebih banyak murung. Dia tidak suka dengan apa yang dia dapat di pagi ini. Sekilas, selepas menatap wajah gadis yang belum juga mengangkat raut mukanya, perempuan hamil itu merasa tak asing dengannya.     

"Duduklah di sini, kita makan bersama," pria paruh baya itu menoleh pada Aruna, selepas mempersilakan gadis kurus tersebut. "Ada yang penasaran denganmu" entah mengapa, Wiryo kini menunjukkan senyum secara terang-terangan. Seperti tengah menggoda. Mungkin, beliau menduga perempuan hamil yang penasaran dengan seseorang di lantai tiga, disebabkan rasa cemburu.     

Akan tetapi, itu salah besar. Dan, Aruna tidak suka dengan senyum yang diumbar oleh pria paruh baya itu. Mahendra memberinya banyak cinta tadi pagi, dan dia sama sekali tidak curiga akan hal-hal seremeh itu.     

Aruna memutuskan untuk mengabaikan kedatangan gadis tersebut. Dia tidak mau memandangnya sedikitpun supaya opa Wiryo tidak tersenyum puas, sebab berhasil membawa tamu khusus Mahendra.     

"Kak Aruna?" anehnya, gadis yang dibawa Susi malah memanggil nama perempuan hamil yang seolah bersikap tak acuh. Aruna mengerutkan alisnya, kemudian memberanikan diri untuk mengangkat wajah dan memandangnya.     

Spontan, mulutnya terbuka lebar. Matanya sedikit berputar ketika mengingat sebuah nama. Mereka pernah makan bersama. "Kekasih Juan??," Aruna pikir, gadis itu akan tersenyum padanya. "Syakilla," sayangnya, dia malah menunjukkan ekspresi kesedihan yang begitu mendalam. "Kemarilah! Duduk bersamaku," dan sikapnya berubah ramah, menggeser kursi di sampingnya. Tempat dimana biasa dia duduki.     

Sama seperti dengan ekspresi riang perempuan hamil tersebut, Sukma dan Gayatri menyambutnya dengan hangat. Sebab, ketiganya pernah berjumpa dengan gadis ini sebelumnya.     

Sukma memilih berdiri dan menuju dapur. Sepertinya dia akan mengeluarkan segala hal yang spesial dari dapurnya. Dan, Gayatri, kini terlihat jauh berbeda dari dirinya yang dulu. Perempuan ayu itu menyapa gadis yang duduk di sebelah Aruna. "Bagaimana kabar Juan?".     

Juan erat dengan keluarga ini, oleh sebab itu, Gayatri tak sungkan bertanya keadaan laki-laki tersebut. Walaupun dia dahulunya sekedar ajudan, tapi diam-diam setiap lapisan di keluarga Djoyodiningrat, mengetahui pemuda tersebut masih memiliki ikatan darah dengan mereka.     

Syakilla terlihat mengerjapkan mata. Tangannya tergenggam erat. Sembari tersenyum getir, dia berujar, "Kuharap, dia baik-baik saja,".     

Dua perempuan saling memandang, bahkan opa Wiryo menurunkan korannya. Beliau berdehem sebelum memulai kalimat yang menghentikan percakapan ringan, tapi menegangkan bagi Syakilla, "Bisakah kalian menyelesaikan makan, baru bicara?" ini adalah aturan yang dipegang. Jarang berbicara ketika hidangan masih penuh di atas piring. Kecuali kau belum menyentuhnya.     

Dan, Aruna makan dengan gembira kali ini selepas melihat siapa yang menjadi tamu khusus Mahendra. Tapi kemudian pikirannya menjadi kacau. 'Mengapa gadis ini menjadi tamu khusus? Mengapa disembunyikan? Apa hubungannya dengan masalah-masalah yang detik ini dihadapi Hendra?'.     

Isi otaknya menjadi buyar, selepas oma Sukma datang membawa hidangan yang lebih meriah lagi.     

Dalam hitungan detik, piring gadis itu dipenuhi tumpukan makanan yang sepertinya mustahil akan dia habiskan, mengingat tubuhnya yang tak begitu berisi.     

"Ayo, ayo, silahkan! Coba juga yang ini," sibuk mengurus meja makan, para perempuan itu tidak menyadari wajah gadis tersebut memucat dan ragu.     

"Kau tak apa-apa?" Aruna menemukan gadis tersebut gugup. Dia juga sering mengalaminya dulu.     

"Oh," spontan, Syakilla terbangun dan selebihnya dia menyajikan senyumannya. Senyum yang dipaksakan.     

"Kau lega sekarang?" Ini suara opa Wiryo. Aruna bingung dengan tanda tanya tersebut. Ketika dia memberanikan diri menatap mata tua di hadapannya, perempuan tersebut mendapati warna hitam di antara wajah pria paruh baya itu menghangat.     

Sepertinya, beliau mendatangkan gadis tersebut di dekat cucu mantunya sebagai tindakan supaya Aruna merasa lebih tenang, begitu juga cicit di dalam perutnya.     

Aruna tidak habis pikir dengan adanya Syakilla disini, dan dia ingin menyangkalnya. Tapi kenyataannya, pria tua yang tadi menemukan kebohongannya malah membalas semua tindakan tersebut dengan melunasi rasa penasarannya -Aruna-. Beliau menunjukkan rasa kasih dengan cara dingin yang unik. "Jaga baik-baik cicitku. Aku tahu, kau masih muda dan menyimpan rasa penasaran tinggi, aku peringatkan untuk mengurangi hal-hal semacam itu," pesannya sama seperti Mahendra. Hanya kalimatnya saja yang berbeda.     

Perempuan hamil itu tak mampu membalas. Bahkan sekedar menuangkan salah satu dari sejuta alasan yang tenggelam di kepalanya. Sampai pria paruh baya itu pergi bersama dua roda yang menggelinding di bawah kursi yang beliau duduki.     

Aruna sempat terkecoh dengan percakapannya bersama opa Wiryo, hingga dia tidak sadar, gadis di sampingnya kini bukan lagi pucat, wajahnya memerah dan matanya berkaca-kaca.     

Perempuan muda dengan rasa penasaran tinggi itu mendengar bagaimana oma Sukma dan mommy Gayatri menceritakan kenakalan Juan ketika tinggal di rumah ini. Pemuda yang di hajar Mahendra, sebab dia lebih memilih membantu Aruna daripada menuruti perintah tuannya.     

Membantu nona muda Djoyodiningrat bertemu mantan kekasihnya. Yang tidak mereka ketahui adalah bagaimana hubungan Aruna yang sebenarnya dengan pemuda tersebut, tapi mereka menganggap sebagai pasangan kekasih yang ingin melarikan diri.     

Dua perempuan itu bisa menertawakan kejadian mengerikan dulu. Akan tetapi, Aruna tak bisa memprotes canda tawa mereka, hal-hal yang dulu memang layak untuk di tertawakan. Dulu, dia terlalu naif. Tapi kali ini, dia tidak bisa ikut tertawa. Ada gadis yang berusaha keras menyimpan air matanya.     

"Oma, tadi sebelum pergi, opa Wiryo bilang membutuhkan anda?," Aruna berbohong untuk mengusir perempuan paruh baya tersebut. "Mommy, bisakah saya ikut senam ibu hamil versi mommy? Anda butuh mempersiapkannya sebelum saya ikut bergabung, bukan?" sontak wajah Gayatri berubah sumringah. Mengangguk ringan dan beranjak dari meja makan, selepas kepergian oma Sukma.     

"Ada apa denganmu?" Aruna meraih tisu banyak-banyak kemudian menyerahkannya pada Syakilla, yang menggelengkan kepalanya dan berusaha untuk mengalihkan pandangan dari perempuan tersebut. "Apakah Hendra membawamu kesini dengan kasar? Apa suamiku berbuat jahat padamu?" sekali lagi dia menggeleng. "Lalu, kenapa? Bicaralah? Bicara padaku. Aku bisa kau percaya," dia terus membujuk gadis yang terdiam dan terus memalingkan wajahnya.     

Masih menundukkan kepala, Syakilla berujar, "Suami anda tidak kasar sama sekali. Anda dan keluarga ini sangat baik, hanya itu,".     

"Mustahil!" Aruna bukan gadis yang bisa dibodohi dengan ungkapan manis. "Pasti terjadi sesuatu, katakan saja, aku yang akan jadi temanmu" kalimat tersebut membuat lawan bicaranya mengangkat wajah, lalu menatap manik coklat itu.     

"Apakah anda bisa mempertemukan saya dengan Gesang, maksud saya Juan?" sesaat Aruna dibuat bingung dengan permintaan ini. "Saya sudah berpisah dengannya sejak dia keluar dari rumah sakit. Hari dimana anda dan suami anda mengunjungi Juan saat dia—" dan Syakilla menangis lagi. Sesenggukan bukan main. Tangisan yang lirih yang sangat dalam.     

"Bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah kau kekasihnya?" jujur, Aruna tidak paham.     

"Saya, em' tunangan kakaknya, saya sebenarnya calon istri Gibran" dia berbicara di tengah isak tangisnya.     

Dahi Aruna mengerut, sebelum dia bertanya lagi, "Gibran? Siapa dia? Oh' dia kakak Juan, maksudku Gesang?"     

Gadis tersebut mengangguk, "Tapi saya di paksa, saya di sekap, saya tidak ingin di kembalikan padanya," membuka tabir tentang hubungan pelik, Syakilla memberanikan diri memohon sesuatu, "Bolehkah saya meminta bantuan anda, sekali saja pertemukan saya dengan Gesang?"     

'Bagaimana caranya?' benak Aruna bertanya-tanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.