Ciuman Pertama Aruna

IV-80. Ketahuan



IV-80. Ketahuan

0Pria itu berjalan lebih percaya diri. Walaupun sejujurnya dia selalu percaya diri dan tak akan pernah terlihat terpengaruh oleh apa pun bahkan ketika berada di titik paling krisis. Mahendra memiliki rasa percaya diri yang tinggi, tegas dan selalu sadar pada tiap-tiap tindakannya. Pembawaannya yang dominan tersebut menjadi magnet bagi orang-orang di sekitarnya, hingga mau tak mau mereka yang berada dalam lingkaran kehidupan lelaki bermata biru ini terpengaruh olehnya. termasuk keputusan-keputusannya.      

Seperti hari ini, ketika dia membuka meeting dengan sisa jajaran petinggi Dm construction yang ada. Membuat pernyataan terkait rencana super naif yang pernah di dengar oleh anak buahnya.      

Setelah konsisten menolak jajaran DM construction di saat-saat mereka mengharapkan di terimanya tumpukan penawaran pembangunan Dreame city yang tersaji di atas meja. Dan tatkala dia luluh menyetujui projek 3 kota dan proyek tersebut telah berjalan, –sekali lagi secara tidak masuk akal ia melepas ketiga-tiganya.      

Anehnya, kini pria bermata biru tersebut dengan bangga menyatakan diri bahwa ia bakal memulai proyek impian banyak lapisan internal DM construction dengan mewujudkan pada wilayah otonom dari berbagai daerah di negeri ini khususnya bagian timur. Dia bahkan sanggup mempertaruhkan segalanya termasuk mengabaikan profit perusahaan.      

'aku rasa dia kerasukan malaikat, atau jangan-jangan iblisnya telah tobat,' saking kacaunya salah satu perempuan dalam rapat terbatas tersebut berujar lirih.      

pewaris tunggal Kumpulan perusahaan di gedung kedua dari 4 icon tower yang juga miliknya, mengatakan dengan nada angkuh yang ia warisi dari nama belakang Djoyodiningrat –yang tak terbantahkan, sang keluarga tunggal yang memegang sebagian laju ekonomi pada negara Kepulauan ini– bahwa dia bangga dengan idenya.      

Mempertegas Kenaifan, kejanggalan dan keputusan-keputusannya yang sulit di cerna bagi mayoritas orang.  Seseorang yang berupaya menggunakan otaknya pun tak akan bisa menjadikan penampilannya dan pengaruhnya turun level satu digit saja.      

Pria ini terlalu berkuasa untuk menjadikan orang lain mengatakan bahwa kalimat-kalimatnya pada meeting pagi ini adalah isapan jempol. Sehingga penghuni meja oval yang menjadi saksi pernyataannya terkait ide gilanya tentang membidik suatu kota di timur sebagai target pembangunan dreame City hanya Mampu tercengang. tatkala tinta pada berkas yang dia tanda tangani belum sempat kering, tergeletak di ujung meja pualam gelap.      

Berkas tersebut tanda Mahendra bertekat keras untuk menjalan ide tersebut dan tangannya yang biasa angkuh siap menyambut siapa pun yang berkenan bergabung. Dia gila! Semua orang tahu itu dan semua orang tak mampu mengusik keputusan Tuan muda satu ini.      

Dalam sekejap tak ada hitungan menit. Dokumen di atas batu pualam itu mampir pada tiap pesan gurp Whatsapp jajaran DM construction. Mendebarkan hati orang-orang yang telah memutuskan pergi dan menampar wajah-wajah mereka yang mulai bimbang bertahan. Termasuk meneguhkan mereka yang memutuskan tinggal.      

Dia bakal mendapat kemenangan besar. Dia menemukan firasat itu dan dia menikmatinya.      

***      

Aruna baru saja turun. Dia lekas menuju ke meja makan, dan begitu gugup tatkala mendapati opa Wiryo masih duduk nyaman di tempat yang sama.      

      

"Kemarilah," opa Wiryo menangkap keberadaannya, menatap dan memintanya bergabung pada meja makan.      

      

Detik-detik seperti ini merupakan keadaan yang paling menegangkan bagi Aruna. dirinya tidak bisa berkutik selain menuruti perintah ketua keluarga Djoyodiningrat. ia lalu berjalan mendekati salah satu kursi, mendorongnya ke belakang dengan hati-hati sebelum duduk dalam satu meja.      

Spontan salah satu pelayan meletakkan beberapa makanan di hadapannya.      

"Sukma dan Gayatri belum menyantap sarapannya panggilkan mereka untukku,"  lelaki tersebut memerintah asisten yang sedang melayani Aruna. Dengan sigap asisten tersebut lekas menuruti perintah tetua Wiryo dan meninggalkan Aruna.      

Tanpa ada orang lain yang berada di antara mereka, Aruna merasakan sesuatu di dalam dadanya tertekan. Dulu dia merasakan hal yang sama terhadap Mahendra, tentu sekarang sudah teratasi, sayangnya belum untuk tetua Wiryo. Lelaki paruh baya ini konsisten memiliki aura kuat antara suram dan hangat melebur jadi satu.      

Dia menatap wajahnya dan melihat ke arah Aruna, tangan pada sendok yang harusnya sudah terangkat menjadi kaku seketika. Aruna merasa dia perlu menggunakan energi lebih sekedar untuk mengangkat dan menyeruput supnya.      

"Harusnya cicitku lahir bulan ini, apa yang terjadi?" seketika Aruna tersedak dan wajahnya merah padam. Karena paniknya perempuan ini buru-buru meraih air putih dan bukannya mengais gelas dia malah menyenggolnya sehingga benda tersebut jatuh hingga menimbulkan suara keras.      

Para asisten rumah buru-buru datang, tika yang biasa melayaninya terlihat cekatan membereskan pecahan kaca di bawah meja. Namun sejujurnya dia lebih khawatir dengan wajah pucat nona-nya.      

Aruna meringkuk dan menunduk perempuan ini merasakan tangannya mendingin dan dengan begitu tenang opa Wiryo mengamati perilakunya tanpa ampun. "saya.. Sa.." suaranya berhenti di tenggorokan. Dia pernah berdebat hebat dengan begitu emosional dan berani saat itu. Waktu dirinya dengan segala cara termasuk salah satunya membohongi tetua Wiryo, mengaku hamil supaya Hendra hanya untuk dirinya sendiri. Kebohongan tersebut sembilan bulan lalu. Bagaimana bisa beliau tak melupakannya saja.      

Tetua wiryo benar-benar teliti, dia menghitungnya, atau mungkin diam-diam sangat menantikannya. Butuh dua bulan lagi. Mana mungkin Aruna melahirkan sekarang. Perempuan ini ingin berlari dan bersembunyi.      

Dia berusaha keras mencari alasan, sayangnya suaranya lenyap sebab tatapan telisik opa Wiryo yang memojokkan.      

"Aruna? Kenapa sayang?" untung oma sukma datang dan perempuan paruh baya itu menjadi demikian cerewet pada asisten yang membersihkan pecahan kaca bahkan meminta aruna berpindah tempat duduk. Masalahnya tempat duduknya kian dekat dengan tetua Wiryo. Bisa di bayangkan seperti apa perjuangannya untuk sekedar menghirup nafas dengan tenang.      

Aruna menduduki tempat duduk Mahendra, artinya sangat dekat bahkan terlalu dekat dengan tetua. "saya minta maaf," suara lirih Aruna merupakan usaha super kerasnya melawan rasa tertekan dan canggung.      

Tetua Wiryo mengamati perutnya. Raut wajahnya sedikit berubah, Aruna tak berani menduganya. Berikutnya dia merasa lebih lega selepas mendapati mommy Gayatri datang dengan peluh di pelipisnya, perempuan ini pasti menghabiskan waktu dengan joging di pagi hari atau olah raga yoga favoritnya. Bersama dengan oma sukma dua perempuan ini membahas musim panas yang akan datang, bakal banyak tumbuhan menggugurkan daunnya termasuk pohon mahuni yang ada di pekarangan mereka.      

"aku pikir hanya cucuku  yang posesif terhadap istrinya, ternyata kamu lebih berani dari yang kubayangkan. Belum kudapati Mahendra punya keberanian membohongiku,"      

'Ya. Tentu saja hendra menggunakan otaknya, mustahil membohongi Anda. tapi waktu itu otakku tumpul' aruna hanya bisa menangisi kebodohannya. Menyimpan kalimat untuk dirinya sendiri.      

"Saya tak punya cara lain untuk menghentikan Anda," 'anda akan menikahkan suami saya dengan orang lain, aku harus mempertahankan milikku' mengingat emosinya kala itu aruna dengan berani mengangkat wajahnya dan menatap tetua. Lelaki paruh baya itu tersenyum samar, sangat samar sampai tak ada yang tahu kecuali Aruna.      

"aku tak melihat jiwa Lesmana di dalam dirimu. Tapi aku suka," seketika Aruna menekuk bibirnya. "jangan cemberut, aku yang harusnya marah? Karena keberanianmu berbohong," tetua sekali lagi mengamati perut Aruna. Sepertinya ia mengatasi emosinya dengan mengagumi perut berisi cicitnya. Pikir aruna kebas.      

"semalam kamu penasaran dengan sesuatu bukan?"      

"apa??" dia tersenyum samar melihat mata Aruna yang terbelalak.      

"akan aku hadirkan dia buat cicitku, supaya putri Lesmana lebih berhati-hati. Andai ingin membohongiku," kalimat ini beriringan dengan caranya mengayunkan tangan memanggil salah seorang dan itu Susi.      

"Susi?" Aruna menghela nafas.      

      

       


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.