Ciuman Pertama Aruna

IV-79. Diskusi Para Lelaki



IV-79. Diskusi Para Lelaki

0Wajah Mahendra merah padam, berharap kakeknya tidak melihat apapun yang berada di leher Aruna.     

Lelaki tersebut menggigit bibirnya sendiri. Mendesis lirih adalah upaya untuk meredam rasa malunya. Apa daya semua sudah terjadi. Dia tidak habis pikir, istrinya dengan percaya diri berjalan ke arah mereka dan terlihat tak sadar menyajikan kondisi acak-acakan. Keluarga ini hidup dalam tatanan yang konsisten. Tak ada perempuan yang berantakan separah itu di hadapan anggota keluarganya yang lain.     

"Tadi, anda ingin memberikan masukan apa untuk saya?" demi mengalihkan perhatian kakeknya, lelaki tersebut membuka percakapan terkait kondisi perusahaan Djoyo Makmur Group saat ini.     

Mencoba untuk fokus kembali, Wiryo mengalihkan pandangan kepada cucunya, "Yang paling substansial ketika menghadapi sebuah masalah, perhatikan orang-orang di dalam dan cari tahu apa yang mereka inginkan,".     

"Tidak ada masalah pada tim internal kita. Sudah saya katakan berulang kali, semua yang terjadi pada kita karena sabotase kumpulan dewan itu," Mahendra enggan menyebutkan musuh bebuyutan keluarga Djoyodiningrat.     

"Berhentilah membahas masalah itu. Berhenti membahas latar belakang yang menurutmu sebagai penyebab dari penurunan saham DM Group. Fokus cari solusinya. Sekali lagi, perhatikan dulu orang-orang di dalam kita, sebelum mengamati yang ada di luar. Kalau memang tidak ada masalah di dalam internal perusahaan mu. Lalu, mengapa jajaran pada DM construction mundur satu persatu?," dimulai dari sebuah tanda tanya, pria paruh baya ini mengajak lawan bicaranya melakukan introspeksi diri atas kinerjanya terhadap perusahaan.     

"Tentu, karena saya tidak bisa menjabarkan kronologi yang sesungguhnya. Saya yakin, anda pun tidak akan menjabarkan kronologi yang asli, bukan?" Mahendra mengungkap kondisi yang dia hadapi.     

Pria paruh baya itu tampak meletakkan tangannya pada dagu dan jari telunjuk terlihat lebih menonjol daripada yang lain. "Apa tuntutan mereka yang tak bisa kau penuhi?" beliau seolah tengah menjalankan identifikasi.     

"Menjelaskan latar belakang. Saya sudah menjelaskan pada anda hal ini berkali-kali," Mahendra berujar kesal.     

"Aku menjadi presdir hampir 50 tahun. Tidak ada alasan tunggal. Mungkin itu alasan paling kuat, tapi pasti ada alasan substansial yang bisa kita temukan. Alasan yang paling mendasar, gerakan yang membuat mereka makar," monolog pria paruh baya ini penuh penekanan. Kalimatnya diiringi dengan telunjuk yang mengetuk meja di hadapannya, "Kekecewaan itu adalah gunung es. Sebelum terangkat ke permukaan —di balik Itu semua, ada gunung es yang lebih besar, yang menyokong semua keresahan sehingga masalah tersebut naik ke permukaan. Pikirkan kalimatku baik-baik,"     

Manik mata biru berputar setengah lingkaran. "Selama ini, saya selalu menolak permintaan mereka terkait pembangunan Dream City. Saya sadar bahwa proyek tersebut, bukan proyek yang mudah. Proyek ini membutuhkan daya juang dari sektor pemerintah daerah, maupun kita sebagai pengembang. Masalahnya, jajaran pengurus DM construction begitu berambisi untuk mewujudkan mimpi mereka," ada suara desahan dari bibir Mahendra,     

"Ambisi yang mereka pegang teguh. Ambisi yang mereka pelajari dari buku-buku arsitektur perencanaan pembangunan. Ambisi yang mungkin disadur dari salah satu tokoh arsitektur. Seperti Zaha Hadid, mungkin?" dia mengangkat bahu, menyatakan bahwa dirinya tengah menduga-duga,     

"Arsitektur bisa saja berbicara mengenai kesejahteraan, tempat orang bisa nyaman berada di bawah satu ruang, berlindung, dan berbagi kebahagiaan (Zaha Hadid). Ya. Kalimat ini selalu ada di akhir proposal mereka untuk merayu saya,".     

"Mereka membutuhkan aktualisasi diri, –Hendra. Ke–tercapai–an se-spektakuler sebelumnya, antara dirimu dan tim mu. Mengulang keberhasilan dan bukti manfaat saat mewujudkan Dream City pertama kali bersama Riswan." Tambah Wiryo.     

"Anda benar," Mahendra mengimani kalimat Wiryo. Detik ini, meja makan menjadi perbincangan berat, sehingga Sukma dan Gayatri yang sempat mencuri dengar pembicaraan antara kakek dengan cucunya tersebut, mengurungkan diri untuk bergabung. Mereka berdua tidak ingin mengganggu para lelaki berdiskusi.     

"Bagaimana kalau kau menawarkan pada jajaran DM construction, sebuah proyek yang bisa menjawab keresahan mereka?" usul tetua Wiryo.     

"Mustahil. Hal itu akan bertentangan dengan perjanjian anda dan Clara," Mahendra menamati mata kakeknya lebih intens.     

"Tidak. Ketika tidak ada profit yang hebat di sana." pria paruh baya itu mengerut beberapa kali. Jelas, dia tengah berkonsentrasi mencari solusi, "Cari daerah yang lebih timur, yang tidak mampu memberi profit berlebih pada perusahaan mana pun." Suara Wiryo lebih dari serius. Ada letupan semangat di sana.     

"APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) mereka sangat kecil. Mustahil membayar kita," kalimat ini menyadarkan pria paruh baya tersebut.     

"Ya! Itulah yang kita cari. Perhatikan duduk perkaranya. Melepas tiga proyek potensial tanpa ada latar belakang, tidak ada angin tak ada hujan. Mereka-mereka yang mengharapkan keberhasilan berakhir kekecewaan. Tentu saja para stakeholder di tiga kota tersebut speak up ke publik atas kekecewaannya terhadapmu. Terhadap perusahaan kita. Sehingga, trust untuk perusahaan kita merosot tajam sampai mengganggu kestabilan saham," Wiryo memberi arahan sesuai pengalamannya yang panjang.     

"Saat ini, bukan lagi profit yang utama. Saya harus mengembalikan kepercayaan publik," Mahendra menyuarakan apa yang ada di benaknya.     

"Ini baru didikan Djoyodiningrat," kalimat ini meluncur dengan energi positif. "Dan, kepercayaan orang-orang di dalam internal DM construction. Itu yang utama, Hendra," mata itu menyorot penuh harap pada lawan bicaranya.     

"Iya. Saya paham maksud anda," dan dengan demikian, Mahendra menutup diskusi mereka ketika pria tersebut berdiri dari duduknya. Meraih smart phonenya, termasuk sandwich yang diabaikan sejak tadi.     

"Duduklah dulu. Sarapan dengan tenang, baru pergi," ada rasa keberatan sesaat, sebelum pada akhirnya lelaki bermata biru duduk kembali untuk menikmati sarapannya.     

Saran-saran dari kakeknya memang terdengar tidak gamblang. Bisa jadi, seperti itu cara berkomunikasi para laki-laki. Terutama lelaki Djoyodiningrat.     

Melalui diskusi sederhananya dengan sang kakek pagi ini, Mahendra menemukan konklusi yang dia cari selama berhari-hari. Kemarin malam, lelaki tersebut duduk di meja kerjanya untuk memikirkan sesuatu hingga melibatkan istrinya. Ternyata, jawaban yang dia cari ada pada kakeknya.     

Jika Tarantula tidak akan menyentuh sektor yang mustahil menghasilkan profit, wilayah timur cenderung bebas dari bidikan mereka. Artinya, tak akan ada efek terkait persaingan sengit yang diwariskan dua keluarga ini.     

Untuk itu, kakeknya meminta proyek pembangunan Dream City hadir di sana. Para jajaran DM construction yang meninggalkan mereka bisa saja kembali, selepas mengetahui bahwa Presdir Djoyo Makmur Group memberi mereka kesempatan yang lebih untuk mencapai visi misi perusahaan. Untuk memenuhi hasrat mereka dalam mewujudkan teori pembangunan kota yang telah mereka rancang bersama selama bertahun-tahun.     

Selebihnya, Mahendra bisa beretorika, mengapa dia melepas tiga kota tersebut dan memilih kota yang tak tersentuh. Kota-kota yang tertinggal jauh dan membuat siapa pun menjadi bergairah melihat kegilaannya. Namun, disisi lain, para pemilik perusahaan dan pemegang modal bakal melirik tindakannya yang penuh anomali ini.     

Dia sangat percaya akan konsep yang diusung DM construction. Pembangunan berdasarkan SDGs, termasuk indikator-indikator peningkatan indeks kebahagiaan berdasarkan budaya lokal. Jika kemustahilan ini berhasil, maka kepercayaan terhadap DM Group kembali ke titik semula.     

"Kakek, membangun kota membutuhkan pembiayaan besar. Kalau kita benar-benar tidak mendapatkan apa pun dari kota-kota yang ada di timur, apa yang harus saya lakukan? Mungkinkah yayasan Charity milik oma Sukma kita manfaatkan?" ini adalah momen langka, ketika Mahendra dan Wiryo tampak saling bicara panjang lebar dengan kepala dingin.     

"Jangan ambil platform anggaran yang sudah kita tetapkan sebagai hak orang yang membutuhkan," Wiryo kurang setuju dengan gagasan Mahendra. Yayasan yang di pegang oma Sukma memang tak spektakuler. Program-programnya belum banyak berubah, tapi ada banyak penyandang beasiswa, termasuk anggaran Yellow House serta mental healthy care yang mustahil diabaikan. "Andai tidak ada jalan lain. Pilih satu perusahaan paling stagnan dan jual saja sebagai modal awal. Aku lihat, Mentari Plaza bisa kau mainkan," saran opa Wiryo.     

"Anda yakin? Mentari Plaza sudah menjadi bagian dari DM Group selama dua puluh tahun, anda jangan bercanda," Mahendra kurang setuju atas saran dari kakeknya. Bagaimanapun juga, dua puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk melepas perusahaan tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.