Ciuman Pertama Aruna

IV-78. Hukuman



IV-78. Hukuman

0Mahendra menggerakkan kepalanya, dia menghendaki asisten yang membuntuti keberadaan istrinya menghilang secepatnya.     

Tidak ada senyum sama sekali ketika lelaki bermata biru mengurangi jarak di antara dirinya dan istrinya. Dan, Aruna sadar, itu tanda-tanda bahwa di dalam diri Mahendra terdapat kecamuk yang sedang dia tahan. Tiap langkah maju yang diambil pria tersebut, menggiring perempuan hamil berjalan mundur hingga menempel pada dinding. Kepalanya menunduk dan dia tidak tahu harus bagaimana.     

"Kenapa bangun sepagi ini?" Suaranya lembut walaupun ada intonasi berat di sana.     

"Aku jalan-jalan ke taman. Aku ingin, em' udara segar dan menghirupnya banyak-banyak," lelaki yang menjadi lawan bicaranya meraup wajah mungil yang masih menunduk, lalu menengadahkannya ke atas. Manik mata biru cemerlang menatap datar ketika dia mengelus rambut istrinya.     

"Kau sangat susah dikendalikan, akhir-akhir ini. Sudah aku katakan, menemui Vian di rumah sakit adalah kesalahan fatal terakhir." dari kalimat dingin yang diucapkan Mahendra, Aruna tahu bahwa suaminya berada di level kemarahan tertentu. "Sekarang, kau membuatku sulit mengendalikan diriku,".     

Tiba-tiba saja tubuh Aruna terangkat. Lelaki itu membawanya dalam dekapan, lalu berjalan menaiki tangga dan berakhir di atas sulur bunga lili yang melapisi ranjangnya. "Apa yang bisa aku lakukan pada ibu hamil?" dia bertanya pada dirinya sendiri. Sebab, Mahendra tahu, istrinya tak akan berani berkata-kata.     

Mengamati Aruna sesaat, kemudian menarik tali piyama yang dia kenakan. Tarikannya lebih kuat ketika Mahendra semakin tak bisa menahan gejolak, hingga ujung pengait baju tidur itu terputus.     

Bangkit dari pembaringan. Aruna berusaha mengangkat tubuhnya hingga setengah terduduk, ketika pria di hadapannya melepas jubahnya lalu mengibaskan di sisi ranjang. Jubah itu terlempar sembarangan.     

Mendekati wajah dengan raut bersalah, dimana kedua belah matanya tak berani menatapnya. Mahendra segera menangkap bibir perempuan tersebut, meraup sebanyak-banyaknya seperti diburu oleh waktu. Tubuh mungil dengan perut mengembung berakhir terbaring di atas ranjang dan terpental, sebab dorongan lelaki bermata biru.     

Meluruskan kaki istrinya, Mahendra bergerak ke atasnya, lalu mengapitnya dengan dua pahanya yang kokoh. Namun, tidak sampai menindih perutnya.     

Sedangkan di sisi lain, perempuan yang mendapatkan ciuman intens dari suaminya merasa nafasnya habis dan tersengal-sengal. Dia mencoba mendorong dada bidang di atas tubuhnya untuk meminta waktu menghirup nafas. Kenyataannya, pria dengan gejolak yang membuncah itu malah menangkap kedua lengannya. Mengunci pergelangan tangan di sisi kanan dan kiri kepalanya.     

Melepas sentuhan kuatnya di bibir mungil, lalu perlahan-lahan turun ke leher. Nafasnya berhembus panas di tengah rasa dingin ruangan. Detik berikutnya, sebuah sesapan yang membuat seluruh tubuh perempuan hamil memanas.     

"Kali ini, kau melanggar batasan yang aku tetapkan. Aku akan memberimu hukuman," kalimat ini berhembus tajam sebelum rasa panas berikutnya hadir di atas permukaan kulitnya pada seputar dada.      

Aruna menyadari tubuhnya merespon setiap tindakan Mahendra dengan sangat baik, bahkan lebih dari sebelumnya. Mungkin ini pengaruh dari hormon ibu hamil. Detik ini, wajahnya memerah seperti tomat. Rasa terbakar yang dihasilkan oleh sentuhan-sentuhan dari suaminya, membuatnya menggigit bibir kuat-kuat supaya dia tidak meloloskan desahan yang berlebih.     

Pagi itu, Mahendra membawanya terbang ke awan lalu dirinya jatuh terbawa kelelahan. Ini hukuman yang menyenangkan, pikirnya. Walaupun dia merasa tubuhnya letih luar biasa, Aruna tahu, suaminya bermain dengan aman. Dia datang dari belakang.     

***     

"Kemana istri mu?," Mahendra melirik sumber suara dan mendapati pria tua memangku koran, lalu melipatnya. Sama seperti yang dilakukan kakeknya, dia menanggalkan portal bisnis pada layar smartphonenya.     

"Perempuan hamil membutuhkan waktu istirahat lebih banyak, bayinya sangat lincah dan membuatnya sulit tidur," alasan klasik yang dibuat, tampaknya belum memuaskan lawan bicaranya.     

Pria paruh baya tersebut menarik ringan piring di hadapannya, lalu meraih sendoknya ketika dia memilih berhenti mengamati cucunya, "Saham kita mencapai kuartal terburuk,".     

"Saya akan segera membereskannya," Mahendra menahan nafas sesaat. Nafsu makannya hilang. Memilih meraih smartphonenya lagi, dan detik berikutnya, kembali mengamati grafik-grafik yang awalnya berada pada titik jenuh kemudian menurun. Selama kakeknya menjadi presiden Direktur Utama, hal tersebut belum pernah dialami Djoyo Makmur Group. Walaupun merangkak lambat, perusahaan tersebut selalu berada di trend terbaik.     

Dan, ketika Mahendra menjabat sebagai CEO, grafik tersebut mencapai eksponensial tertingginya. Akan tetapi hari ini tak ada lagi eksponensial, yang tersisa adalah sebuah penurunan yang hampir bisa dikatakan anomali lebih dalam tiga dasawarsa terakhir.     

"Kau tidak akan menyelesaikan apapun dengan menyandera gadis itu," manik mata biru kembali melirik pria paruh baya yang memasukkan sarapan ke dalam mulutnya. Ada rasa tertekan di dadanya.     

"Aku baru mengerti, kenapa banyak orang mempercayai mitos tentang dinding dan lantai di rumah ini bisa membisikkan rahasia kepada keluarga Djoyodiningrat," ini adalah sarkas yang diterbitkan lelaki bermata biru. Semacam tidak ada satupun yang bisa Mahendra tutupi dari kakeknya, termasuk istrinya, seseorang yang baru bergabung jadi bagian keluarga Djoyodiningrat.     

"Caramu sangat—," pria paruh baya itu menghentikan kalimatnya, kemudian meletakkan sendoknya, "Tidak layak disebut cucuku," mengambil sapu tangan, lalu membersihkan bibirnya yang sesungguhnya tidak ada sisa makanan apa pun yang mengotori bibir tersebut. Hanya sebuah habit, semacam tindakan kesopanan.     

"Saya tahu anda akan membencinya, tapi anda sudah berjanji tidak akan ikut campur apapun yang saya lakukan," Mahendra sama seperti pria yang menjadi lawan bicaranya, mereka selalu punya daya yang kuat terhadap argumentasinya sendiri.     

"Pahamilah bahwa pilihanmu tidak substansial," kalimat ini terdengar seperti penghinaan. Sejujurnya, itu adalah logat bicara tertua.     

"Mengapa anda mengatakan upaya saya tidak substansial?. Kenyataannya, dari semua masalah ini, titik temunya pasti satu. Permusuhan yang diwariskan turun temurun," berbicara dengan nada yang dibuat sedatar mungkin, walaupun di dalam dadanya tengah bergemuruh. Dia tahu kondisi grafik itu sesuatu yang cukup memprihatinkan untuk sebuah perusahaan yang selalu berada di puncak kejayaan.     

"Jadi, kau tidak membutuhkan masukkan dariku sama sekali?" pertanyaan tertua Wiryo membuat lelaki bermata biru menoleh dan menatapnya. "Apa yang kau lakukan tidak menjawab keresahan apa pun," Mahendra terdiam seribu bahasa dan mencoba mencerna kalimat implisit yang disampaikan kakeknya.     

'Keresahan?' Dia berfikir sejenak untuk mengkonfirmasi kata-kata kakeknya.     

"Keresahan yang terjadi pada detik ini adalah kesalahan kita mengambil proyek di luar koridor, bukan?" Mahendra bertanya-tanya. Sejujurnya, pada dirinya sendiri, bukan kepada kakeknya, "Tentu masalah yang diwariskan, itu yang menjadi titik temunya?" kembali dia mengutarakan argumentasinya.     

Wiryo Terlihat mengerutkan keningnya. "Andai kata itu titik temunya, ketika kau menjadi CEO dan pria kuno ini menjadi presiden direkturnya, mana mungkin ada pencapaian sebesar itu?" Mahendra kecurian kata. Tak ada satupun yang bisa dia bantah. Masa-masa sebelum ini tak pernah ada yang namanya penurunan, walaupun permasalahan sengit yang diwariskan selalu menghantui setiap saat.     

"Hendra, sayang, aku punya informasi bagus," perempuan hamil berjalan dengan kecepatan yang paling dia bisa, memecah kebekuan yang terjadi, bahkan membuat dua laki-laki di meja makan tersebut mengerut.     

"Nona," Ratna terkejut bukan main. Sigap mendekati nona nya. Membalik tubuh istri tuannya, lalu berbisik. 'Nona, penampilan anda sangat berantakan'.     

"Benarkah?" Aruna bahkan tak menyadari hal tersebut, ketika perempuan itu terlalu antusias dengan informasi yang hendak dia sampaikan pada Mahendra. Dia menarik nafasnya, selepas menyentuh rambutnya yang terlihat berantakan. Memutar kepalanya, dan berujar "Maaf, " lalu berjalan pergi secepat mungkin dan berteriak hebat ketika sampai pada cermin di kamarnya.     

Dia mengenakan piyama ibu hamil dan rambutnya, tak ubahnya bulu rambut singa yang mengembang. Lehernya masih ada sisa sesapan suaminya, dimana sesapan-sesapan itu tak tertutupi oleh baju tidur yang dia kenakan. "Mati aku!!,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.