Ciuman Pertama Aruna

IV-77. Rasa Basah Rerumputan



IV-77. Rasa Basah Rerumputan

0Mata gadis itu sontak melebar, 'Bagaimana dia tahu?' benaknya bertanya-tanya tentang kalimat yang diucapkan oleh pria yang detik ini berjalan melewati dirinya.     

Lelaki bermata biru tak lagi membalik tubuhnya. Dia terus berjalan menuju pintu, yang dengan spontan dibuka oleh salah satu ajudannya sembari menundukkan wajah. Sang tuan menghilang dibawa langkahnya dengan menyisakan tanda tanya hebat di kepala Syakilla.     

Pria dengan aura dingin dan misterius itu tahu, gadis yang masih duduk di kursi dengan segala pemikirannya, suka berada di rumah ini. Dia bahkan mendorongnya untuk menikmati hal tersebut.     

"Nona, anda harus kembali ke ruangan anda," orang-orangnya juga punya gaya bicara yang formal, dan seolah memberi rasa aman.     

..     

"Kapan aku bisa keluar melihat taman di luar?" Syakilla menagih pernyataan yang baru diucapkan tuan bermata biru.     

"Setelah penghuni rumah ini tertidur," gadis itu mengangguk ketika mendengar penjelasan pria tersebut, "Nanti, saya akan mengetuk pintu. Pastikan anda terjaga," ajudan yang tadi pagi terlihat begitu mengerikan tatkala membantu tuannya mengancam Gibran dan orang-orangnya, kali ini terlihat sangat bertolak belakang, terlebih mengamati pelayanan yang dia berikan.     

Membuka pintu untuk Syakilla dan menutupnya dengan begitu tenang, walaupun telinga gadis itu mendengar tangan ajudan tersebut memutar kunci diluar sana. Tanda dirinya dikurung.     

***     

"Makan yang banyak," Mahendra meletakan salmon di atas piring Aruna.     

"Aku sudah mirip sapi gemuk yang dimanja pemiliknya. Dan, kau mengatakan, aku harus makan lebih banyak lagi?" manik mata coklat membulat lebar, memberi tatapan penuh pada suaminya. Raut wajahnya menunjukkan dia tak terima dengan salmon di atas piringnya.     

"Satu kali lagi," ucapnya memohon, yang spontan mendorong perempuan hamil itu cemberut.     

"Dokter bilang, baby sangat sehat," kilah Aruna, masih enggan menyantap ikan yang mengandung asam lemak omega-3 rantai panjang, yakni EPA dan DHA. Protein, vitamin B kompleks, potasium, selenium, dan Antioxidant Astaxanthin, yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Terlebih dikonsumsi oleh ibu hamil.     

"Tapi, mommy-nya butuh lebih banyak energi untuk menyangganya," Aruna melihat Mahendra meletakan sikunya lebih maju di atas meja. Lelaki itu sudah memutar tubuh dan memberinya sebuah garpu dengan ujung potongan daging salmon. Awalnya, dia berjanji potongan itu terakhir. Selebihnya, Aruna tak lagi mengingat, apakah dia sudah memasukan lima suapan atau enam. Bisa jadi lebih dari itu.     

Diberi makan terlalu banyak, Aruna merasa tubuhnya menjadi berat dan sepertinya dia sudah begitu mengantuk.     

"Sayang, aku menyiapkan kamar di lantai pertama," Mahendra berujar selepas mengamati ekspresi kantuk Aruna. Mendorong maju kursinya untuk memberi jalan perempuan yang sudah berdiri dan bersiap meninggalkan meja makan.     

Aruna spontan menolehkan wajahnya, "Kamar kita sudah sangat nyaman," ini bentuk protes atas ketidak setujuaannya.     

"Tapi tidak dengan naik dan turun tangga ketika perutmu kian besar," Mahendra menatap intens bola besar di tubuh istrinya. Jelas, dia akan semakin membesar mengingat ukurannya yang tak sesuai dengan bulannya.     

Aruna terlihat seperti seorang perempuan hamil yang mengandung bayi satu bulan lebih besar dari ukuran normal. Nafasnya kadang kala terdengar berat dan dia lebih sering terlihat lelah. Sebaik apapun dokter-dokter menjaganya, dia tetap kesulitan dengan hipertensinya. Dan, sering kedapatan membengkak pada bagian kaki, di pagi hari.     

"Aku bukan orang sakit, aku hanya hamil," nampaknya, perempuan ini tak menyukai cara Mahendra menatapnya dengan ekspresi khawatir yang berlebih. "Hanya naik dan turun tangga satu lantai saja, kau pikir, aku tak akan bisa melakukannya?".     

Mahendra menggeleng. Tanpa berucap lagi, pria tersebut kemudian membawa istrinya menuju pintu yang berada pada satu lorong dengan kamar utama rumah ini. Kamar tetua Wiryo dan oma Sukma.     

"Ini kamar mommyku dulu. Dan, di samping kamar ini, ada pintu kecil yang terhubung dengan sebuah kamar lain," Aruna melihat Mahendra memundurkan satu kakinya dan telunjuknya mengarah pada sebuah pintu yang tak jauh dari tempatnya berdiri. "Itu kamar masa kecilku," kalimat ini terhembus lirih.     

"Benarkah?" dia mendongakkan wajahnya, berusaha mencapai pandangan Mahendra. Perempuan hamil itu berpikir, suaminya akan tersenyum selepas mengenalkan kamar masa kecilnya. Sayangnya, bukan itu yang terlihat. Manik mata biru cemerlang menampakkan kekosongan dan raut wajah datar tersaji di hadapannya. Ada duka di sana, Aruna tahu itu.     

"Sepertinya, lantai dua lebih baik. Aku setuju," mendadak kesimpulannya berubah. Sempat, manik mata biru itu mengamati handle pintu ukir berbentuk bulat yang terbuat dari kayu coklat indah, bahkan lebih indah dari gagang pintu milik kamar tetua Wiryo.     

Perempuan hamil itu berharap, pria di sampingnya akan memutar gagang pintu tersebut. Kenyataannya, Mahendra merangkul pundak mungil istrinya dan bergerak menjauhi lorong tersebut, lalu berakhir memasuki kamar mereka sendiri di lantai dua.     

"Tempat ini terbaik, banyak kenangan indah di sini. Sepertinya, aku tak boleh menanggalkan keberuntunganku," Aruna tak bisa mengabaikan ungkapan Mahendra yang terdengar gurauan. Caranya berucap dan berubahnya keputusan secara mendadak, membuatnya bertanya-tanya. Lelaki bermata biru yang hidup bersamanya, bahkan menumbuhkan benih di perutnya adalah pria yang diliputi banyak misteri.     

Bahkan, ketika lampu-lampu pada kamar meredup dan menjadi temaram. Aruna tidak mendapatkan jawaban ketika dia bertanya, "Hendra, apa aku boleh melihat kamar masa kecilmu?".     

Mahendra kian mendekat, mendekap kepala Aruna dan memberi kecupan di pipi, berikutnya memilih menutup matanya dan tidur.     

***      

Untuk pertama kalinya, setelah tahun-tahun yang terasa berat, dia merasakan udara segar pegunungan. Sejuk mendamaikan.     

Dan, untuk pertama kalinya juga, dia merasakan kakinya basah terkena embun dari rerumputan. Di antara taman dan pohon-pohon yang menjulang, hanya ada pagi yang terlalu gelap dan seorang pria yang berdiri jauh di belakang.     

Pria itu pengawasnya. Gadis ini menoleh, lalu pemuda yang berada di belakang sana berjalan mendekat. Warna kulitnya yang lebih gelap hampir tertelan malam, yang kemudian kian jelas ketika jarak mereka semakin dekat. "Apakah rumah ini di pegunungan?" dia kemarin dibawa ke tempat ini, namun tak dapat mengingat dengan pasti. Sebab, terlalu larut merasakan ketegangan duduk satu baris di mobil tuan muda pemilik rumah megah yang menyuruh dirinya untuk menikmati suasana, seperti saat ini yang dia lakukan.     

"Lebih tepatnya lereng bukit," Syakilla kembali mengembara, memuaskan matanya dalam gelap yang menuju pagi. "Ketika fajar terbit, anda harus kembali ke kamar anda," kalimat perintah yang terdengar sopan ini, tak mengganggu kesenangan yang dilakukan gadis tersebut.     

"Ya. Aku paham," Syakilla melanjutkan langkahnya menyusuri rasa basah rerumputan dan udara segar.     

"Ikut aku!" tiba-tiba kesenangannya terusik. Ajudan itu mencengkeram tangannya, dan menemukan dirinya berakhir pada semak-semak tanaman di balik pohon. "Rundukkan kepalamu," dia memberi instruksi dengan berbisik.     

Melihat ajudan itu mengendap dan mengintip sesuatu dari balik pagar tanaman, Syakilla turut menelusuri arah tatapannya dan dia menemukan dua orang perempuan. "Nona Aruna?".     

"Dia mencarimu, dia tahu kau ada di sini," penyataan ajudan itu menghadirkan kerutan di dahi Syakilla. Suaranya meyakinakan, sebuah keyakinan penuh yang menjadikannya menoleh ke beberapa sudut, mencari cara melarikan diri dari semak ini.     

"Mengapa aku tidak boleh menemui nona Aruna?" Sejujurnya, Syakilla bingung. Buat apa dia harus disembunyikan dari perempuan hamil yang detik ini berjalan ke sana ke mari bersama seorang asistennya?. Jelas, dia mencari sesuatu atau memastikan penglihatan.     

Tanpa mengalihkan perhatian dari caranya mengawasi nona nya serta asistennya, ajudan itu menjawab, "Tuan menutup beberapa hal dari istrinya, salah satunya tindakannya menyekap mu,".     

"Aku bisa berbohong kalau aku datang kemari untuk dijamu, bukan disekap," kenyataannya, dia tak seperti seorang tahanan, "Aku bisa bekerja sama dan dipercaya,".     

"Masalahnya, dia perempuan muda yang diliputi rasa penasaran. Dan, pendiriannya cukup kuat saat menginginkan sesuatu. Kau tak akan mampu lari dari pertanyaan-pertanyaannya yang halus tapi penuh makna dan menjebak," Herry menarik gadis itu untuk merayap bersamanya, menyusuri pohon demi pohon, menjauhi lokasi keberadaan Aruna.     

..     

Manik mata coklat terus mengembara, mengawasi sudut taman yang gelap ketika Aruna berujar, "Kau yakin melihatnya di sini Tika?,".     

"Sesuai perintah nona, saya mengawasi kamar itu semalaman. Beberapa menit lalu, saya mendapati Herry keluar membawanya. Saya sangat yakin, dia berada di taman ini bersama Herry, sebelum saya memanggil anda," Tika menjelaskan dengan nada hati-hati.     

"Aku tidak mengerti, kenapa suamiku harus memiliki ajudan seperti Herry?!," Aruna mendesah, sesaat sebelum membalik langkahnya menuju pintu rumah induk yang terbuka, "Dulu, aku menyukai kesetiaannya. Sekarang, aku benar-benar jengkel olehnya," perempuan bermata coklat ini mengikat lebih kuat piyama ibu hamil yang dia kenakan.     

'Siapa perempuan itu? Kenapa Susi juga tak mau membantuku?' benaknya terus bertanya, selama langkah kakinya menyusuri lorong menuju kamarnya. Hingga perempuan tersebut tak sadar, ada manik mata biru yang memandangnya awas.     

"Sayang," suara berat itu mengembalikan Aruna pada kesadaran.     

Manik mata coklat membulat lebar, sesaat sebelum bibir mungilnya berujar, "Hendra??"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.