Ciuman Pertama Aruna

IV-76. Tamu Khusus



IV-76. Tamu Khusus

0Bianca mendorong tubuh Tiara, menatapnya dengan tatapan kemarahan. Lekas berjalan keluar, ketika pintu lift terbuka. Dia membenci bisikan gadis tersebut. Sebab, dia tahu, dirinya bukan malaikat yang bisa berlapang hati dan tahan dengan kalimat-kalimat bujukan yang sudah pasti dapat dia duga, buruk adanya. Jadi, bisa saja dirinya terpengaruh.     

Menghembuskan nafas panjang, Bianca merapikan dirinya sebelum memasuki mobilnya. Dia perlu menuju sebuah tempat. Gadis tersebut tengah memikirkan suatu cara yang paling cepat untuk menyelesaikan masalahnya. Kakaknya pernah bekerja di perusahaan Djoyo Makmur Group, oleh sebab itu, dia merasa perlu berkonsultasi dengannya.     

Bonus yang Bianca harapkan dengan konsultasi tersebut ialah, mungkin saja kakaknya masih memiliki solusi dengan pengetahuannya tentang budaya kerja perusahaan Djoyo Makmur Group. Sehingga, jalannya menyelesaikan mandat CEO Tarantula bisa lebih mudah.     

Menatap jalanan di luar jendela mobilnya, salah satu dari kalimat Tiara memasuki pikirannya. Ini sangat menyebalkan. Tapi, apa tujuannya berada di perusahaan ini? Ayahnya melarang dan menjelaskan tentang bisnis yang tidak sehat, yang selama ini dijalankan oleh Tarantula.     

Bianca berdebat hebat dan berakhir dengan tatapan tak menyenangkan yang dia dapatkan dari ayah Adam, tiap kali gadis tersebut pulang kerja. Namun, dia selalu pura-pura semua baik-baik saja.     

Setelah berseberangan pendapat dengan ayah Adam, hal yang perlu Bianca tunjukkan adalah berusaha bertahan untuk menjadi yang terbaik di perusahaan Tarantula. Namun, sekarang pikirannya jadi terombang-ambing. Untuk apa itu semua?.     

Gadis tersebut berusaha kembali mengenali misi pribadinya. Dan, berujung pada lelaki bermata hitam pekat yang diam-diam dia kagumi atas kedewasaan serta ketenangannya sejak masa kecil mereka.     

Sayangnya, Bianca tak pernah tahu bawa Gibran sudah memiliki tunangan. Kini yang tersisa sekedar dia tak ingin ayah Adam melihatnya gagal, terlebih selepas ketidakpatuhan yang dia pertaruhkan melalui jalan ini.     

"Kak Angga, apa yang harus aku lakukan?" komunikasi Bianca dengan kakaknya.     

"Minta para provokator menghentikan aksinya," suara berat di ujung sana menyahut dengan tenang.     

Namun, tidak dengan gadis yang tengah merasa dirinya dalam masalah, "Sudah. Sudah Heru lakukan. Masalahnya, mereka tidak ingin melakukan klarifikasi,".     

"Tentu saja mereka tidak akan mau menjilat ludah sendiri," –mengakui kesalahan– Adam tampak berpikir, selebihnya dia menyerahkan sebuah nomor handphone seseorang yang bisa memberi saran untuk adiknya.     

Seseorang dengan jabatan tertentu di DM Group. Dan, saran lainnya, yakni menemui perwakilan demonstran. Memberikan sebuah kesepakatan terkait penawaran bergabung dengan Tarantula. Dan, bisa dipastikan, hal ini akan menjadikan perusahaan tersebut -Tarantula- bagaikan malaikat penolong bagi para pekerja di lapangan yang tengah butuh kepastian.     

***     

[Nona, anda terlalu banyak memberi saya pertanyaan. Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan bagi saya untuk menjelaskan. Terlebih, menjelaskannya menggunakan chatting ini, tidak akan membantu anda] Aruna mendapatkan pesan balasan dari Vian. Perempuan tersebut menjadi gundah karenanya.     

Turut menyiapkan makan malam untuk Mahendra, Aruna belum bisa melepaskan perhatiannya pada kancing yang terlepas dan sebuah percikan noda di ujung lengan kemeja suaminya.     

Duduk di kursi sendirian, sebab para anggota keluarga sudah menyelesaikan acara makan malamnya. Mahendra yang tak kunjung datang, membuat Aruna meminta salah satu asisten rumah induk atas nama Tika untuk memanggil suaminya.     

Ketika asisten tersebut mengatakan bahwa tuannya sudah tidak ada di kamarnya, Aruna meminta Tika menanyakan kepada asisten-asisten lainnya ke mana Mahendra pergi. Kenyataannya, lelaki tersebut tidak keluar dari rumah, melainkan berada di suatu tempat yang ada di lantai tiga.     

Aruna mengerutkan keningnya, lantai tiga berisikan beberapa kamar yang rata-rata dihuni para pekerja rumah induk, termasuk ajudan-ajudannya. Mungkin dia tengah menemui Herry, pikirnya.     

Tidak mau ambil pusing, ketika perempuan tersebut memutuskan makan terlebih dahulu. Namun, sesaat sebelum tangan mungil itu membuat gerakan menyendok makanan, Tika kembali mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Aruna seperti sebuah rahasia yang tidak boleh didengar yang lain.     

"Seorang tamu sedang menginap di lantai tiga. Kabarnya, ini tamu khusus. Hanya para ajudan lelaki tertentu yang boleh menjamu tamu tersebut," Aruna lekas menoleh dan menatap mata Tika ketika gadis itu mengangguk-angguk, meyakinkan bahwa informasi yang dia bawa merupakan berita yang akurat.     

"Dia, seorang pria?" Aruna meyakinkan diri dengan pertanyaannya. Bagaimana tidak? Sebab, hanya ajudan laki-laki tertentu yang boleh melayaninya.     

"Sayangnya, tidak nona. Dia perempuan muda, dengan telapak tangan kiri pergelangan tangannya dibalut kain gips," kedua alis Aruna lekas menyatu. Rasa penasarannya membuncah tinggi. Sebelum dia sempat mencari tahu, lelaki bermata biru datang dengan lesung pipinya yang mengembang, menggores sempurna sudut wajahnya.     

Tika terlihat buru-buru menjauh. Sebelum benar-benar pergi, Aruna meminta asisten tersebut memanggil Susi.     

..     

Sebuah ketukan menyadarkan Syakilla. Gadis itu buru-buru keluar dari kamar mandi, mengganti pakaiannya dan membuka pintu. Lelaki yang tadi dia jumpai mengabarkan bahwa dirinya ditunggu oleh tuannya.     

Syakila dibawa menuju ruangan khusus, di mana lelaki dengan mata biru cemerlang terlihat duduk nyaman di atas sofa. Kaki kirinya menumpu pada kaki kanan. Sebuah telepon pintar dia mainkan yang kemudian diletakkan, selepas matanya menemukan putri Baskoro tersebut masuk dan berdiri di hadapannya.      

"Silakan duduk," suaranya berat dan paruh. Syakilla banyak mendengar cerita tentang tuan di hadapannya, dimana Gesang banyak sekali memujinya. Pemuda tersebut bilang, dia pernah dihajar karena terlalu 'nakal', sehingga pria itu marah dan kemarahannya begitu mengerikan. Akan tetapi, dia -Gesang- selalu mengakhiri tawa ketika menceritakan kisah tersebut.     

Selebihnya, kekasih yang kini entah dimana keberadaannya itu akan mendeskripsikan tentang ekspresi dingin, tegas, kecerdasan, dan keuletannya. Termasuk kedekatannya dengan tiap-tiap anak buahnya dan mengatakan bahwa dia sangat hangat di balik pembawaannya yang dingin.     

Syakilla merasakan itu detik ini. Pria di hadapannya masih belum bicara. Dia menatap sekilas dirinya -Syakila-, kemudian menggerakkan tangannya, meminta seorang ajudan mendekatinya.     

Mahendra berbicara dengan nada rendah, sehingga tak bisa didengar oleh gadis di hadapannya. Sedangkan ajudan lain —selain yang tidak diajak bicara tuan bermata biru tersebut, hanya berdiri tenang tanpa suara.     

Ketika usai bercakap-cakap dengan salah satu ajudannya, Syakila kembali mendengar suara beratnya, "Saya berharap, anda tidak tertekan berada di kamar anda".     

Syakila buru-buru menggeleng. Tempat itu lebih baik dari pada kamar tamu yang kadang dia manfaatkan sebagai tempat tinggal di rumah keluarga Diningrat. Walaupun gadis itu tahu, ruangan itu tidak akan sama jika disejajarkan dengan ruang tahanannya di rumah tersebut.     

Kamar putra Rio tetap lebih mewah. Anehnya, Syakilla merasakan kedamaian di kamar baru pemberian tuan di hadapannya, dari pada ruangan milik tunangannya tersebut.     

"Saya tidak mau membuat Anda tertekan. Saya akan memberi anda izin keluar kamar, hanya saja, pada jam tertentu. Saya tidak ingin anggota keluarga saya menemukan anda, terutama istri saya. Jadi, anda hanya boleh keluar di jam-jam yang sudah dipastikan aman untuk keluar ruangan. Terutama malam hari, saya beri anda kesempatan menikmati beberapa tempat di rumah ini," tidak terlihat mengintimidasi, kalimatnya menggunakan bahasa yang formal dan baku, selebihnya dia cukup sopan.     

Sekali lagi, Syakila menjadi bingung sesaat. Gadis itu —entah bagaimana pemikirannya, memutuskan mengeluarkan handphonenya. "Anda tidak ingin menyita benda ini?".     

Mahendra tersenyum kecil. Tak sampai membuat matanya yang cemerlang menyempit. Hanya sebuah senyuman yang lebih terlihat sebagai ekspresi geli.      

"Siapa pun yang kau hubungi, tidak akan bisa berbuat banyak setelah mereka mendengar jika kau berada di rumah induk kami," kalimatnya terdengar sombong, tapi itu seperti layak dia ucapkan.     

Syakilla merasa bodoh seketika saat dia memutuskan mengeluarkan handphonenya. Ternyata, benda tersebut sengaja dianggap enteng oleh lelaki di hadapannya.     

"Bagaimana kalau saya memberitahu pihak berwajib, dan rumah anda di datangi mereka?" sekali lagi, kalimat tersebut mengundang ekspresi geli di wajah Mahendra. Bahkan, dia tertawa ringan.     

"Apa kau tidak tahu, mengapa keluargaku secara turun-temurun begitu pandai menjalankan mega bisnis?," Syakila menggelengkan kepalanya. Dan, dia mendapatkan ekspresi kesombongan yang naik sekian level dari sebelumnya. "Karena kami pandai menilai orang. Terlebih, gadis sepertimu," seiring dengan percakapan di antara mereka, kalimatnya tak lagi terdengar formal. Mahendra seolah melempar umpan, bahwa gadis di hadapannya harus berhati-hati.     

Tergelitik oleh kalimat 'gadis sepertimu', Syakilla memberanikan diri bertanya. "Seperti apa saya terlihat?" tatapannya kembali jatuh mengamati. Dan, kali ini, tertangkap mengintimidasi. Dingin dengan bumbu senyum miring yang tertangkap menyebalkan.     

"Aku pernah menangani gadis yang diam-diam ingin melarikan diri dari dunianya," dia membicarakan tentang kelakuan mengakhiri hidup, "Gadis semacam itu adalah," mata biru cemerlang itu melirik sisi kanan. Artinya, Mahendra tengah mengingat suatu kejadian di masa lalu, "Sosok individu yang didalamnya dihuni oleh jiwa frustasi, rusak, dan—" dia tak melanjutkan kalimatnya, dan memilih berdiri dari duduknya. Syakilla mengikuti gerakan pria di hadapannya, gadis tersebut mengharapkan kalimat penuh. "Dan, aku tahu, kau menyukai suasana baru. Nikmati saja rumah induk kami sebisa mungkin,".     

Mata gadis itu sontak melebar, 'Bagaimana dia tahu?'     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.