Ciuman Pertama Aruna

IV-75. Memainkan Siasat



IV-75. Memainkan Siasat

0Kihrani Menggeleng dengan mata yang yang tak lepas dari pemuda di atas ranjang. "Aku mencintaimu," Vian kembali berucap lebih tegas.     

Hening.     

"Hai! Aku tidak sedang bercanda," Vian bersuara lebih keras. Sebab, gadis di hadapannya menatapnya kosong. "Aku serius! Aku suka padamu. Aku mencintai—"     

"Buum!" pintu ditutup dengan gerakan cepat dan menelan gadis tersebut.     

Vian membanting tubuhnya di ranjang dan menghentakkan lengannya. Sesaat kemudian, rasa sakit menghantam dadanya. _Bekas luka sialan!_ Pemuda tersebut lupa dengan hal itu. Merasa perilakunya kali ini terlampau bodoh, dia memutar otaknya. Meraih handphone yang tak jauh dari tempatnya berbaring. Pikirannya melayang menuju sosok nona muda Djoyodiningrat yang akan selalu dituruti gadis yang kini entah pergi kemana, setelah mendengar pengakuannya.     

[Nona, saya tahu anda butuh dukungan saya. Mohon maaf, saya tidak bisa basa-basi. Saya punya syarat kecil. Dan, saya harap, anda berkenan membantu saya] harap-harap cemas Vian mengirim pesan tersebut.     

[Sebutkan. Akan aku penuhi] sepertinya, perempuan di ujung sana juga tak suka basa-basi. Pria ini mengumbar senyuman di tengah-tengah ruangan yang sunyi, matanya menyipit dan membentuk garis lurus.     

[Saya membutuhkan perawat. Dan, saya mau, anda mengirimkan ajudan baru anda yang manis itu untuk saya] bukan hanya Vian yang tersenyum. Di ujung sana, Aruna ikut tertawa kecil.     

..     

"Apa yang lucu?" Mahendra terdapati menanggalkan jam tangan. Dia meletakkan benda tersebut pada salah satu meja.     

"Vi—" hampir saja memberi informasi, yang tak seharusnya Aruna menyebutkan namanya, "Vintage! Bagaimana kalau foto selanjutnya menggunakan tema itu? Dan, aku mau kau ikut," dia mengganti tampilan layar handphonenya dengan laman konsep maternity.     

Mahendra mendekat. Masih dengan gerakan membuka kancing-kancing baju di dadanya, pria tersebut ikut duduk di dekat istrinya. Meraih handphone Aruna, sesaat kemudian memberi tahu dengan ekspresinya. Mengerut, lalu menggelengkan kepala, "Aku suka konsep bunga tadi pagi,".     

Aruna ingat betul bagaimana photo preweddingnya dulu dilaksanakan di danau seputar rumah induk, dengan tema utamanya adalah seorang gadis yang berada diantara kumpulan bunga baby breath, termasuk bunga-bunga lain dengan corak warna-warni yang indah. Pria dengan mata biru cemerlang tersebut punya sisi yang berbeda, dan itulah sebabnya, Mahendra mengharapkan tema itu di ulang untuknya.     

"Kau tak pernah berubah," Aruna mengamati Mahendra yang mulai berselancar menggunakan handphonenya. Pandangan matanya ikut intens, hingga dia menyadari ada sesuatu yang tak tepat pada kancing di ujung lengan baju suaminya. Kancingnya sudah terlepas. Sepertinya, lepas secara paksa. Tak hanya itu, manik mata coklat itu mendapati sebuah noda merah disana. Jelas itu bercak kecil yang nyata, yang mendorong tangan mungil untuk menyentuhnya.     

Mengetahui gerakan penasaran istrinya, Mahendra mengikuti arah manik mata coklat tersebut, "Aku mandi dulu," lelaki bermata biru bangkit dan tampak sengaja mengambil langkah lebar-lebar untuk menghilang dari hadapannya.     

[Aku akan mengirim Kihrani untukmu. Beri tahu aku, krisis apa yang terjadi di perusahaan suamiku? Siapa keluarga Diningrat? Dan, mengapa kau bisa tertembak?!] Lugas, sebab tak mampu menahan rasa penasarannya.      

***      

Tarantula Grup.     

"Sejauh apa kakakku ikut andil dalam bisnis Tarantula, apakah yang dikatakan Gibran benar?" Rey menyusul Heru hingga ruang kerjanya.      

"Diamlah! Aku sedang malas membahasnya," balas Heru ketus. Tampak seorang perempuan yang juga sekretaris pribadinya sedang menempelkan handuk hangat secara hati-hati di ujung bibirnya yang berdarah.     

"Aku bertanya karena aku merasa terancam oleh kakakku, dia pembuat onar. Satu-satunya keberuntungannya, adalah dia terlahir lebih dahulu daripada aku. Mami dan Daddy sudah menyerah padanya, tapi mereka tak akan mampu melawannya ketika dia meminta bagiannya sebagai putra Barga. Aku yang membesarkan Barga. Dan, aku tak ingin kerja kerasku diambil olehnya," sebuah monolog yang membuat mata Heru melebar.      

"Jadi, kau tak akan berpihak pada kakakmu sendiri?" pertanyaan Heru memancing gelengan kepala dari lawan bicaranya.     

"Aku lebih bersyukur ketika dia masuk bui," jawab Rey begitu tegas. Namun, Heru tampaknya masih menaruh curiga pada adik Key yang kini menjelma sebagai pesaingnya. Merebut gedung yang di bangun atas sumbangan terbesar keluarga Atmodjo, keluarganya.      

"Setiap pangeran dalam kerajaan, akan bersaudara hanya sampai mereka remaja. Dan, ketika dia telah dewasa, kebanyakan dari mereka lebih senang untuk saling menghancurkan. Aku punya alasan untuk menyingkirkan kakakku. Sebab Selama ini aku sudah bekerja keras untuk keluargaku, dan dia tak berhak sepeser pun. Sangat menyenangkan menjadi sepertimu yang lahir sebagai putra satu-satunya di keluarga,".     

Heru merasa sangat senang mendengar rentetan pengakuan Rey yang to the point. "Aku sudah kehabisan rencana menyingkirkan kakakmu. Saat ini, dia menjadi tangan kanan pimpinan dewan,".     

"Paman Rio?" pertanyaan tersebut penuh penekanan.     

"Ya," suara Heru lelah, "Sudah cukup," dia mengusir asistennya. Perempuan tersebut menunduk ringan, sebelum mundur, lalu keluar ruangan.     

"Apa kau yakin?," Rey masih tak percaya, "Secepat itu?".     

"Kakakmu punya karakter bawaan yang kian terasah setelah keluar dari bui, dan betapa Rio mengaguminya. Mafia? Apa orang seperti Key layak di didik sebagai mafia?" Rey kehilangan kata mendengar kalimat tersebut. Jelas, Key punya sisi itu. Tak perlu dipertanyakan lagi. Yang tidak dimengerti Rey adalah seserius apa paman Rio mendidik key?.     

Pria yang menjadi ketua dewan tersebut telah mendidik putranya sendiri, dan ia sering mengeluh sebab Gibran selalu menolaknya. Jika putra Tarantula yang dipilih paman Rio adalah Key, maka, mimpi buruknya sudah dekat dengan kenyataan. Putra pertama Barga tersebut bisa saja merebut sebagian besar warisan keluarga yang selama ini Rey pupuk melalui kerja kerasnya.     

Hanya ada satu kandidat penerus dewan pada tiap-tiap keluarga yang tergabung dalam Tarantula. Dan, Rey menginginkan dia lah yang menjadi orang tersebut, bukan kakaknya.     

Dia lah kandidat terbaik dan terkuat selama ini, sampai kakaknya yang sialan itu keluar dari bui dan tiba-tiba saja ikut serta pada rapat para dewan yang sangat tertutup dan eksklusif.     

"Kakakmu yang menyandera orang-orang Djoyo Makmur grup, hingga keluarga Djoyodiningrat melepas tiga proyek pembangunannya yang spektakuler itu. Aku tak mengerti, apa yang terjadi dan bagaimana dia memulainya. Dia mencuri start dari kita," Heru memukul meja di hadapannya. Matanya penuh kemarahan.     

"Aku akan cari tahu seberapa jauh sepak terjang kakakku. Selebihnya, kita pikirkan lagi," Rey bangkit dari duduknya. Pemuda ini merasa perlu bergerak cepat sebelum kakaknya benar-benar berhasil merebut hati pimpinan dewan -Rio-.     

"Rey, aku minta tolong padamu." Heru menghela nafas, "Gibran. Aku belum pernah melihatnya semarah itu. Apa kau bisa membantuku? Aku tak mau berurusan dengannya." dia butuh mediasi dengan tepat. Gibran bukan orang yang mudah marah dan dia tetap putra Rio yang berkuasa. Dia biasa berbuat segalanya, dan pria yang kini terduduk lesu tersebut cukup tahu diri.     

"Penuhi permintaannya. Setelah itu, mari kita pikirkan cara lain untuk menghentikan kakakku," ucapan Rey ketika dia hendak melangkah menuju pintu.     

Merasa belum terima, Heru berujar, "Tapi—"     

"Gibran bisa menyingkirkanmu, sekali dia mengatakan kinerja mu buruk. Para dewan lebih mempercayainya dari pada kita dan yang lain," lugas, beginilah cara Rey Barga ketika berbicara.      

"Sial!" Heru mengumpat lirih.      

Rey meninggalkan ruangan pria yang detik ini terlihat frustasi, tepat ketika Tiara hadir di antara mereka.     

"Heru. Key. dia memasang orangnya di sekitar apartemenku. Aku tak bisa pulang, apa yang harus aku lakukan?" suaranya terdengar gelisah.     

Heru tampak berpikir sejenak, sebelum berujar, "Sementara, pulang ke rumah keluargamu," saran pria tersebut.     

"Itu pilihan terburuk. Aku tidak mau," gadis itu mengeluh menyadari rumah keluarganya penuh aturan dan hanya kakaknya —Intan, yang sanggup menghadapi ayahnya. Pria tua penuntut.     

"Atau kau ingin orang-orangku baku hantam dengan Key?" Suara Heru meninggi, dan sesaat berikutnya keduanya terdiam. Key tak bisa dilawan. Sebab putra sulung Barga terlalu berbahaya detik ini. Tiara bersedekap. Ia menunjukkan ekspresi kesal sebelum ia keluar dengan langkah kakinya yang penuh penekanan.     

"Key? Siapa yang lebih menguntungkan?" perempuan ini memikirkan ucapan Gibran, seiring langkah kakinya meninggalkan ruang kerja kekasihnya -Heru-. Putri Salim membutuhkan saham lebih besar untuk keluarganya. Heru, si putra tunggal Atmodjo memenuhi kriteria itu. Tetapi, Key Barga kini punya posisi yang lebih menguntungkan.     

"Kau sudah dua kali melewatkan pintu lift," Bianca membangunkan lamunan Tiara. "Apa yang sedang kau pikirkan?".     

Sempat terhenyak, Tiara mengikuti langkah Bianca memasuki pintu lift, "Aku sedang memikirkan nasibmu." gadis dengan bajunya yang konsisten menggoda tersebut, selalu punya cara membuat lawan bicaranya mengernyit.     

"Pikirkan nasibmu sendiri," balas Bianca. Tangannya menjulur, memencet tombol pada lift.     

"Kau yakin tak ingin mendengar masukan ku, barbie?" dia tersenyum jahil, senyum sehari-harinya. Tiap saat menyebalkan, "Kau punya kesempatan mendekati Ken mu dalam situasi seperti ini. Katakan saja, kau kesulitan meredam para pekerja lapangan. Otomatis gadis naif Gibran itu—," suara Tiara berbisik merdu, "–tersingkir sesaat," mencondongkan wajahnya ia mendekati telinga Bianca "Aku tahu, kau cerdas. Sayangnya cerdas saja tidak cukup untuk memenuhi keinginan kita. Kadang, kita perlu memainkan sebuah siasat."                                                                          


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.