Ciuman Pertama Aruna

IV-74. Senior Kekanak-kanakan



IV-74. Senior Kekanak-kanakan

0"Jangan bilang kau marah barusan, karena calon istrimu di bawa  Mahendra," Gibran menegang mendengarkan kalimat yang diujarkan Rey. Seluruh penghuni ruangan saling memandang.     

"Benarkah?" Bisik lirih Oliver pada Nakula yang samar, tetapi masih bisa terdengar.     

"Aku tak mau ada dewan Tarantula yang tahu, cukup kita saja," suara Gibran ketika cukup menenangkan diri.     

"Jadi, hanya karena Syakila kau memaki ku barusan?" Heru merasa bodoh, dia bahkan tertawa ringan. "Aku tidak mengerti, sungguh. Yang aku lakukan lebih dari benar. Biarkan saja pihak DM group mengambilnya. Lagi pula, dia ingin mati —bukan?" tawanya kian keras, "Fokus saja menghancurkan sahamnya. Itu yang terbaik dan yang diinginkan para dewan,".     

Rey bangkit dari duduknya. Dia tahu, Gibran menunjukkan ketegangan yang amat sangat terlihat. Dan, tanpa peringatan, pria tersebut langsung meninju wajah Heru hingga membuatnya tersungkur di lantai.     

Gibran hendak meraup Heru kembali. Tapi, kini pria tersebut lebih waspada. Dia bangkit, lalu mendorong putra pertama Rio dengan sepenuh tenaga hingga membuatnya jatuh di lantai.     

Pria dengan rambut hitam pekat yang gusar, berdiri dalam waktu sebentar. Lalu, kembali mendekati Heru dan sebuah hantaman hampir saja berhasil diciptakan, andai Rey tidak menyelinap di antara keduanya.      

Para perempuan di ruangan itu sempat menjerit kecil ketakutan. Tak ingin keributan terjadi lebih dari ini, Oliver dan Nakula lekas memegangi tubuh Heru, selepas dia mendorong Rey untuk menyingkir.     

Kini, Heru berada dalam dekapan Nakula dan Oliver ketika Gibran meminta Rey menggeser keberadaannya, "Menyingkirlah! Aku tak akan memukulnya," pemuda dengan mata hitam pekat itu menodongkan jari telunjuknya ke wajah putra Atmodjo, "Jangan kau pikir, aku tidak tahu hal yang sama juga kau lakukan. Kau sengaja mencari perhatian para dewan Tarantula, sebab takut bersaing dengan Key. Kau takut Tiara-?,"     

Mata Gibran melirik putri Salim, "Apa kau tak tahu Tiara? Bagaimana Key menjalankan pekerjaannya sekarang? Dia diandalkan para dewan, bahkan tiap saat meeting bersama mereka. Maka dari itu, dia tak lagi terlihat mengganggumu. Jika kau punya kesempatan memilih, pikirkan ulang seberapa potensialnya Key dibanding lelaki yang detik ini menggunakan segala cara untuk mencari perhatian dewan Tarantula," bukan sekedar Heru yang membulatkan matanya lebar-lebar. Hal yang sama juga terjadi pada Rey.     

Tangan Heru mengepal tapi bukan untuk membalas tinju Gibran. Pemuda itu melangkah menuju pintu keluar. "Jika kau masih ingin berada di perusahaan ini, lakukan apa yang aku katakan atau kita berakhir sebagai musuh," suara Gibran melontarkan ancaman, dan hal tersebut cukup mencengangkan bagi mereka yang mendengarkan.      

Heru sempat berhenti sekian detik oleh ujaran yang dilontarkan CEO sekaligus pewaris Diningrat tersebut, lalu kembali berjalan menuju pintu dan membantingnya. Di sisi lain, Rey yang masih tidak yakin dengan monolog Gibran sebelumnya, memilih menyusul perginya putra Atmodjo.     

Gibran terduduk lelah, selepas dia menunjukkan sisi lainnya yang mencengangkan. Dia tak menyukai dirinya detik ini. Terlihat kacau dan tak bisa mengendalikan diri. Sorot matanya penuh emosi tak terbaca, ketika bibirnya berkata lirih, "Pergilah jika kalian menginginkan itu," dan satu persatu penghuni ruangan keluar. Menyisakan Bianca yang berdiri di hadapannya.     

"Aku turut berduka atas kejadian yang menimpa Syakilla," gadis itu menatap Gibran yang sekedar mengangguk ringan, "Akan aku pastikan permintaan kakak selesai hari ini juga." dia bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu.     

"Bianca," panggil Gibran, sebelum gadis itu benar-benar menghilang.      

"Iya?" gadis itu berbalik dan bertemu mata dengan Gibran.     

"Maafkan ucapanku tadi,"     

"Tak apa. Aku tahu, kakak sedang kacau." dan, Bianca pergi selepas menutup pintu perlahan-lahan.      

***     

Ruang rawat inap rumah sakit Salemba.     

[Nona, apa maksud anda?] ini adalah pesan Vian untuk Aruna. Sebuah pesan yang diiringi dengan foto bunga Seruni putih.      

[Syukurlah anda sudah sanggup mengirim pesan untuk saya. Artinya, anda sedang menuju pemulihan. Selamat berjuang!. Tak perlu khawatir, saya hanya ingin anda segera sehat. Dan, tentu saja kita harus bertemu ketika anda sehat nanti] balasan panjang Aruna, membuat dahi Vian sedikit mengerut.     

"Bomb, eh Kihran, apakah menurutmu, aku dekat dengan nona Aruna?" pertanyaan yang unik.     

"Entahlah. Tunggu! Kenapa kau bertanya padaku? Hal-hal seperti itu, mana mungkin aku tahu." Sekali lagi pria rapuh di atas ranjang tersebut sangat sulit dipahami.      

"Aku hanya bertanya, jangan sewot," Vian melirik box makanan yang dibawa Kihrani, yang belum sempat dia buka.      

"Kau mau?" tanya Kihrani, selepas mengamati arah pandangan Vian.     

Dengan ringan, Vian mengangguk. Mendorong gadis berambut hitam panjang membuka hati-hati barang bawaannya. Sepaket makanan dan buah-buahan, "Apakah itu juga dari nona?".     

"Sebagian," balas Kihrani, "Yang ini buatanku. Sederhana, tapi aku rasa kau akan menyukainya," menunjuk sebuah wadah makan yang berisi bubur dengan bulatan-bulatan coklat serta warna merah dan hijau di dalamnya. Dan, diberi kuah santan serta gula merah sebagai pelengkap sajian tersebut.     

"Apa itu? Boleh aku mencobanya?" Kihrani mengangguk, "Oh, ini bubur?" Vian tampak berpikir sejenak, "Ahh' aku lupa namanya?" dan, dia menyerah setelah mencoba mengingat-ingat apa nama makanan tersebut.     

"Bubur Candil, atau Jenang Grendul," lengkap Kihrani, ketika Vian menambahkan bantal untuk menyokong punggungnya     

"Kau membuatnya sendiri?" dia bertanya penuh perhatian.     

"Iya. Hanya ini yang aku bisa," Kihrani membawanya hati-hati dan kian mendekat pada Vian. Gadis itu duduk di dekat pemuda yang berusaha keras mencari posisi bersandar yang nyaman.     

Bulatan-bulatan coklat menggoda bercampur dengan mutiara merah dan hijau yang terlihat cantik, mendorong Vian kembali bertanya, "Apakah itu, yang warnanya hijau?" suaranya terdengar antusias.      

"Cendol," sahutnya ringan.     

"Oh, begitu,"      

"Aku tak punya waktu banyak. Jadi, kubuat saja panjang-panjang seperti ini" Kihrani tersenyum canggung. Gigi putihnya berbaris rapi ketika Vian bertautan mata dengan gadis itu.     

"Apa kau tahu?, aku bahkan lupa tahun berapa terakhir menikmati makanan ber-sup santan semacam ini," Vian memberi tahu dan terlihat tidak sabaran untuk mencobanya.     

"Benarkah?" gadis itu berhati-hati mengangkat tangannya dan mendaratkan telapak tangan berujung sendok tersebut pada Vian. Ini sangat canggung dan asing. Keduanya lebih banyak bertengkar daripada berkomunikasi baik-baik sebagai teman.     

Kihrani selalu mengalihkan pandangannya ketika dia menyodorkan sendoknya. Bertolak belakang dengan pemuda yang konsisten mengganggunya, dengan sengaja menatapnya sambil melempar senyuman aneh di wajahnya.      

"aku mengerti sekarang, mengapa Thomas selalu melihatmu dengan tatapan berbeda?".     

"Aku tak ingin kita berdebat, hentikan gurauanmu jika kau ingin sendokku tidak berhenti,".     

"Tidak. Aku sedang memujimu. Bukan menghinamu," sekilas mereka bertautan mata dan Kihrani lekas berpaling, "Dia, em' " tiba-tiba, kata-katanya berhenti. Sejujurnya, gadis di hadapan pemuda itu penasaran dan mengharap penjelasan. "Apa kau juga menyuapi dia seperti ini?" kalimatnya berbelok. Bukan lagi menceritakan Thomas, Vian malah menanyakan perilaku canggung yang terjadi di antara mereka.      

"Tidak," Kihrani tak tahu, betapa bahagianya Vian mendengar kata 'tidak' dari gadis di hadapannya. "Lukanya, di kaki. Jadi, aku lebih banyak membantunya membersihkan diri daripada membantunya makan,".     

"Apa kau membantunya mandi? Kau mengelap tubuhnya? Dadanya? Kau melihat tubuhnya?" Pernyataan lugas dan berapi-api. "Argh!" Vian mendapati sendok di tangan Kihrani mendarat di keningnya.     

"Kau itu! Hah!" dia meletakkan kasar mangkuk yang masih tersisa bubur, di atas nakas. Kihrani sangat malu, pria di hadapannya benar-benar keterlaluan. Menanyakan sesuatu yang vulgar dan membuatnya merasa sangat buruk.      

"Kenapa kau selalu saja membuatku merasa— ahh' sudahlah!" gadis ini mengamati sekeliling, mencari keberadaan tasnya. Berjalan mendekat, dan lekas meraihnya.     

"Apa kau ingin pergi?? Tunggu-tunggu.  Jangan lakukan itu," Vian ingin bergerak tapi tak bisa.      

"Aku akan memanggil yang lain untuk menjagamu," Tanpa menoleh, Kihrani berjalan menuju pintu. Dia lelah menjaga pria yang selalu ingin ribut dengannya.     

"Apa kau akan datang lagi?" sempat berhenti sesaat dan terlihat berfikir. Akhirnya, Kihrani memilih membuka pintu tanpa menjawab pertanyaan Vian.      

"Aku bilang berhenti, Kihran, Aw!" Vian terlalu banyak bergerak. Berusaha menghentikan Kihrani yang hampir menutup rapat pintu kamarnya. Dia meraih bantal di punggungnya dan melemparkannya pada nakas, sehingga benda-benda di atas tempat itu jatuh berserakan dan membuat gadis di balik pintu dengan celah sekian centi terjingkat.     

"Aku tidak mengerti denganmu!" Pintu kamar inap di buka lebar, sampai bunyi benturan hadir begitu keras. "Kenapa kau selalu membully ku?!" menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kihrani merasakan kepalanya mendidih mendapati pria di atas ranjang menarik bibirnya lurus dan memberinya ekspresi bersalah mengada-ada. "Boleh aku tanya sesuatu?" Mendengar ini, Vian mengangguk, "Kenapa kau selalu bertindak kekanak-kanakan di hadapanku? Bukankah, kau senior yang dihormati?" menghela nafas dalam-dalam ketika pemuda di atas ranjang tak kunjung menjawab.     

"Aku minta maaf, kali ini aku sedang tak berminat bermain-main denganmu." Kihrani menatap bantal yang tergeletak di lantai dan benda-benda berjatuhan. Bahkan, semangkuk makanan buatannya. "Aku panggil petugas kebersihan. Semoga cepat sembuh," mengangkat bahunya, gadis ini melangkah mundur.     

"Aku, em' menyukaimu," Vian mengumpulkan nyalinya. Sedangkan, Kihrani menatapnya aneh. Pria tersebut terlalu banyak bercanda. Jadi, mungkin ini adalah gurauannya yang lain.     

Kihrani Menggeleng dengan mata yang tak lepas dari pemuda di atas ranjang. "Aku mencintaimu," Vian kembali berucap lebih tegas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.