Arrogant Husband

Bukankah Dia?



Bukankah Dia?

0Hari demi hari pun berlalu, Alisa mencoba untuk kembali seperti dulu. Ia berusaha untuk tak bersedih berlarut-larut. Kini, wanita itu baru saja menuruni anak tangga dan mampir sebentar menuju ke dapur.     

"Nyo–nyonya," ujar mereka terkejut melihat Alisa di dapur.     

"Ada perlu apa, Nyonya? Biar kami siapkan."     

"Tidak. Tidak usah. Aku tak inginkan apa-apa. Kalian kembalilah lanjut bekerja." Alisa menunggui mereka. Ia ingin melihat pekerjaan pelayan-pelayannya di dapur.     

Mungkin, dengan seperti ini, ia bisa sedikit melupakan kesedihannya. Memandangi pelayan yang silih berganti untuk menyiapkan makan siang. Sang suami telah bekerja mulai hari ini, karena Alisa yang menyuruhnya. Padahal Saga ingin libur dulu dan menemani dirinya di rumah.     

Alisa pun berjalan menuju ke ruang tamu. Ia berpapasan dengan Anton. Pria itu terlihat menyapanya.     

"Nyonya, syukurlah keadaan Anda sekarang bertambah baik. Saya sangat senang melihat Anda seperti ini."     

"Ini semua berkat Saga. Dia yang menyuruhku untuk tak berlarut-larut dalam kesedihan. Dia sangat yakin, di balik semua rasa kehilangan kami, Tuhan pasti punya rencana yang indah," ucap Alisa.     

Anton mengangguk-angguk mendengar jawaban Alisa. Wanita itu berkata benar. Suami istri itu sedang diuji oleh Tuhan, dengan kehilangan seorang anak. Tentu saja, masih ada perasaan sedih yang mendalam.     

Alisa permisi pada Anton karena dirinya hendak duduk di sofa ruang tamu. Ia harus melakukan sesuatu agar tak terus melamun dan mengurung diri di dalam kamarnya.     

Wanita berparas cantik nan manis itu telah duduk di sofa. Memandangi setiap perabotan pecah belah yang tertera di sana. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, seolah baru pertama kali berada di rumah ini.     

"Ibu dan ayah sayang padamu, nak. Dan, ternyata Tuhan lebih sayang denganmu." Alisa tersenyum sambil mengelus perutnya yang tak ada lagi sang anak di dalam.     

"Kami berdua sudah ikhlas, kalau memang ini yang terbaik." Alisa menghirup udara sekuat-kuatnya dari hidung, untuk menenangkan jiwanya.     

***     

"Pak, pak ...."     

Ada yang memanggil Saga di ruang kerjanya sambil membawa sesuatu. Namun, pria itu ternyata melamun.     

"Ah, iya?" Saga tersadar karena merasa bahunya ditepuk pelan.     

"Ini proposalnya, pak." Sambil menyerahkannya pada Saga.     

"Iya, terima kasih. Maafkan aku tadi sempat melamun."     

"Tidak apa-apa, pak."     

Berita tentang keguguran sang istri sudah tersebar di kantornya. Semua karyawan turut berbelasungkawa. Saga sangat mengapresiasi bentuk dukungan dari mereka. Pria itu kemudian mempersilakan karyawannya untuk segera ke luar.     

"Huuftt!" Saga menyandarkan tubuhnya di kursi kerja. Pria itu membuang napas panjang.     

Harusnya sekarang ia berada di rumah bersama dengan Alisa, tapi sang istri yang menyuruhnya untuk kembali bekerja lagi. Saga hanya ingin memastikan keadaan Alisa yang sampai sekarang masih belum stabil. Terkadang sang istri melamun, kemudian tiba-tiba menangis saat teringat dengan sang anak.     

Saga ingin membawa Reva ke kantor polisi, menggugat masalah ini ke ranah hukum, tapi Alisa tak ingin masalah ini dibawa ke sana. Alisa hanya berkata, bahwa biar Tuhan lah yang membalas semuanya.     

"Aku yakin, kau wanita yang sangat kuat. Perlahan-lahan kita berdua pasti bisa bangkit kembali."     

Saat ini, ia dan Alisa masih dalam tahap untuk bangkit dari keterpurukan. Memang tidak mudah untuk pasangan suami istri seperti Saga dan Alisa, yang mengalami takdir memilukan ini.     

Prioritasnya tetap Alisa. Saga sama sekali tak memikirkan kedua orang tuanya karena mereka masih saja menanamkan rasa kebencian di hati pada sang istri. Padahal, istrinya itu sama sekali tak ingin bermusuhan. Namun, Alisa yang sekarang sudah hilang rasa simpati dan kepercayaan pada mereka, membuat semuanya berubah.     

Apa pun keputusan yang Alisa ambil, maka Saga akan mendukungnya. Ia tahu, kedua orang tuanya masih menginginkan Reva di dalam keluarga Herlambang. Namun, percayalah itu semua tak akan pernah terjadi.     

Anggap saja, ini adalah hukuman bagi Bu Angel dan Pak Surya karena telah berbuat jahat pada Alisa. Mereka berdua tak menganggap menantu mereka sendiri dan malah mendukung wanita lain untuk bersama dengan Saga.     

"Entah sampai kapan, ibu dan ayah bersikap seperti ini? Andai saja, mereka berdua tak membohongiku dan berpura-pura baik dengan Alisa, maka sekarang aku akan menemui mereka di rumah." Ternyata, Saga merasa rindu pada kedua orang tuanya di rumah.     

Ia dan kedua orang tuanya memang hidup terpisah rumah, karena Saga ingin mandiri melakukan aktivitas apa pun. Sang ayah–Pak Surya sudah memberikan semua aset perusahaan pada dirinya untuk dikelola. Maka sekarang, perusahaan itu makin bertambah maju dan pesat di tangannya.     

Saga tak lupa dengan jasa kedua orang tuanya, tapi di saat seperi ini, ayah dan ibunya memang bersalah. Mereka tak menerima Alisa dengan baik sebagai menantu.     

Saga akhirnya merasa bosan berada di dalam ruangan kerja, hingga ia pun memutuskan sebentar lagi akan segera pulang ke rumah. Pria bertubuh tegap nan tampan itu menatap jam yang melingkar di tangannya. Sudah pukul dua siang ternyata.     

Rasa rindunya pada Alisa membuatnya ingin segera pulang ke rumah. Bersama wanita itu, hatinya merasa tenteram. Di saat-saat seperti ini, memang mereka berdua harus selalu bersama. Tanpa membuang waktu lagi, Saga melangkah ke luar dan menuju ke parkiran.     

***     

Alisa sampai tertidur di sofa ruang tamu. Tak ada yang berani mengganggu kenyamanan wanita itu. Sudah cukup lama, Alisa berada di sini.     

Akhirnya, istri dari Saga itu perlahan terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap, menatap ke sekeliling. Ia menguap sesekali. Alisa baru sadar, bahwa dirinya sudah cukup lama di sini dan sampai tertidur.     

Alisa meregangkan otot-otot tubuhnya. Kemudian, wanita itu bangkit perlahan dari sofa ruang tamu. Saat hendak menuju ke tangga, ia mendengar suara deru mobil. Bukan suara deru mobil Saga, tapi siapa?     

Terpaksa, Alisa berjalan dengan perlahan menuju ke pintu depan untuk melihat siapa yang tengah datang. Ia melihat Anton sedang melarang orang itu untuk masuk ke dalam. Namun, orang tersebut ingin tetap masuk dan menemui Alisa katanya.     

Saat sudah berada di ambang pintu, Alisa kemudian bertatapan dengan orang itu. Ternyata seorang pria yang datang. Ia merasa pernah bertemu dengan pria ini.     

"Anton, bisa tinggalkan kami berdua sebentar?" suruh Alisa pada Anton.     

"Baiklah, Nyonya." Anton pergi dari hadapan mereka.     

Alisa tak ingin mengajak pria itu untuk masuk ke dalam. Mereka berbicara di luar seperti ini saja.     

"Hai, Alisa," ujar pria itu sambil tersenyum.     

"Kau? Kau siapa? Aku merasa tak asing dengan wajahmu." Alisa mencoba mengingat-ingat.     

"Memang, kau tak asing dengan wajahku. Dan, seterusnya, akan sering bertemu."     

"Apa maksudmu?" tanya Alisa yang berkerut kening.     

Ia mencoba mengingat-ingat lagi dengan wajah pria di depannya saat ini.     

'Ah, bukankah dia ....'     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.