Jodoh Tak Pernah Salah

Part 268 ~ Beri Dia Kesempatan



Part 268 ~ Beri Dia Kesempatan

0"Iya ini lagi dengerin Dil."     

"Aku hanya butuh sendiri. Menenangkan jiwa dan pikiranku uni. Pulang ke rumah akan jadi masalah makanya aku kesini. Apa salahnya sesekali menginap disini? Sejak aku membelinya belum pernah tidur sehari pun disini. Hanya membeli perlengkapan rumah ini."     

"Gapapa investasi Dil. Apa Bara memberikan kamu waktu untuk sendiri?"     

"Tidak. Dia ingin aku kembali padanya."     

"Berikan dia kesempatan karena dia layak mendapatkannya."     

"Aku hanya butuh waktu uni untuk menata hatiku. Aku ingin dia mengerti, tapi dia selalu memaksakan egonya padaku."     

"Dan memaksa kamu hingga kamu keramas?"     

"Maksudnya uni?"     

"Memaksa kamu berhubungan intim?" Tembak Naura dengan bahasa vulgar.     

"A-anu," jawab Dila ambigu dan salah tingkah.     

"Anu kamu juga menikmatinya bukan?" Goda Naura mentertawai Dila.     

"Uni, aku malu." Dila menutup wajahnya.     

"Habis bertengkar hubungan suami istri lebih hot Dil." Naura lagi-lagi memancing Dila.     

"Uni porno. Ganti topik dong. Aku tidak ingin membicarakannya lagi."     

"Apa kamu tidak pernah mencintai Bara?"     

Dila terdiam tak bisa menjawab pertanyaan Naura. Ia pun bingung dengan hatinya. Perasaan apa yang tengah ia rasakan pada sang suami.     

"Jika tidak bisa jawab diam saja. Uni tidak akan memaksa kamu." Naura beranjak ke dapur dan kembali membawa dua piring kwetiau goreng seafood.     

"Makanlah untuk mengisi tenaga. Bukankah tadi habis tempur dengan Bara?" Naura kembali mencandai sang adik ipar.     

"Uni," cebik Dila merengek seperti anak kecil. Dila memakan kwetiau yang disodorkan Naura.     

"Enak sekali uni. Kapan uni bikin?"     

"Ketika uni menunggu kamu. Daripada bengong uni beli bahan di supermarket depan."     

"Terima kasih uni. Ini enak sekali."     

"Sama sama." Naura memberikan senyum terbaiknya. "Dila uni sudah bicara dengan bagian keuangan masalah kerja sama antara bank MBC dan rumah sakit Harapan. Sejak rumah sakit diambil alih oleh Pak Zico, beliau ingin mengganti bank yang selama ini kerja sama dengan rumah sakit. Kesempatan bagus untuk bank MBC melakukan kerja sama dengan rumah sakit kami."     

"Jika boleh tahu kenapa rumah sakit diambil alih?"     

"Kabarnya sich pemilik lama berhutang sama Pak Zico.     

"Baiklah kapan Pak Zico bisa ditemui? Aku dulu yang buat janji dengan beliau, jika ada kesepakatan maka aku akan membawa kepala cabang dan salah satu direksi untuk bersilaturahmi dengan beliau."     

"Bagus jika kamu membawa kepala cabang dan direksi. Pak Zico merasa disegani."     

"Jika boleh tahu umur Pak Zico berapa? Jadi aku tahu bagaimana bersikap dengan beliau."     

"Masih muda Dila. Empat puluh lima tahun."     

"Muda banget sebagai seorang pemilik rumah sakit Harapan."     

"Pak Zico baru saja bercerai dengan istrinya."     

Dila membulatkan matanya dan menghentikan kegiatan makannya. Dila berkacak pinggang di depan Naura.     

"Maksud uni apa?" Dila marah namun hanya berpura-pura tak sungguh-sungguh."Ampun bos," pinta Naura pura-pura takut.     

"Uni rese ah."     

"Kali aja gitu. Kenapa Bara didiemin? Suami kamu ganteng dan berkharisma lo."     

"Uni naksir gitu?" Dila mencibirkan lidahnya.     

"Sembarangan kalo ngomong." Naura mencubit pipi Dila yang mulai tembem.     

"Semoga pertemuan besok dengan Pak Zico berjalan mulus uni. Dengan adanya kerja sama MBC dan rumah sakit Harapan. Gaji pegawai rumah sakit akan pindah ke kami. Lalu pendapatan rumah sakit akan dipindahkan ke bank kami. Naik pesat target pencapaian dana kami uni." Dila bersorak riang.     

"Setidaknya rumah sakit Harapan memiliki dana sekitar tujuh puluh lima milyar di berbagai bank. Dengan pindahnya gaji pegawai maka mereka bisa melakukan pinjam konsumtif dan angsuran kreditnya dipotong dari gaji bulanan mereka. Kerja sama yang bagus, target dana tercapai, kredit pun tercapai." Dila memicingkan matanya membayangkan hari esok.     

"Jangan lupa traktir uni jika kalian jadi kerja sama. Uni ada andil disana merekomendasikan bank MBC pada bagian keuangan."     

"Uni Naura memang yang terbaik," kata Dila mengecup pipi Naura.     

"Apaan sich kamu." Naura menghapus bekas ciuman Dila karena wajahnya jadi berminyak. Dila tak mengelap sisa minyak di bibirnya sehingga menempel di pipi Naura.     

"Kamu sengaja ya Dila?"     

"Menurut uni?" Dila tersenyum kecut.     

"Uni pulang dulu ya. Udah mau malam, nanti uda Iqbal cari uni. Pesan uni jangan lama-lama. Kasihan Bara. Berilah dia kesempatan."     

"Akan aku pikirkan."     

******     

Dian belanja bulanan di supermarket. Ia sedang memilih aneka sayuran dan jamur di rak bahan makanan. Tinggal seorang diri di kota ini tak menyurutkan niatnya untuk memasak. Semenjak tinggal di Padang Dian sangat hobi memasak walau ujung-ujungnya masakannya dimakan sendiri. Aneka masakan Padang nan lezat memacunya untuk bisa memasak. Untung Ranti mau mengajarinya sewaktu masih hidup. Kemampuan Dian memasak makanan Padang patut di acungi jempol.     

Ketika sedang sibuk memilih paprika hijau dan merah dering ponsel menghentikan kegiatannya. Ternyata Alvin yang menghubunginya.     

"Halo," kata Dian bahagia. Sejak mengatakan siapa dia pada Alvin perasaannya menjadi lebih lega dan bisa menerima kehadiran anak itu. Terapi DMT yang dijalaninya berkat saran Fatih memberikan dampak yang bagus untuk kejiwaannya.     

"Assalamualaikum mami bukan halo." Alvin mengingatkan sang ibu. Sebagai anak pesantren tentunya Alvin sangat alim.     

"Walaikumsalam Alvin," jawab Dian merasa malu. Sudah sering sang putra mengajarinya. Dian jadi malu sendiri, anaknya lebih paham agama daripada dia.     

"Kok bisa nelpon mami? Bukannya di pesantren enggak boleh pegang handphone?"     

"Lagi di rumah ayah dan ibu," kata Alvin. Remaja itu tetap memanggil Rahman dan Asti dengan sebutan ayah ibu karena sudah terbiasa. Sulit untuknya mengubah panggilan jadi kakek dan nenek.     

"Pantes kamu bisa telepon mami."     

"Mami lagi apa mi?"     

"Ini lagi belanja di supermarket."     

"Mami masak?     

"Iya. Kenapa?"     

"Mami tinggal sendiri ngapain masak?"     

"Lebih sehat."     

"Mi, aku tinggal sama mami gimana?"     

"Kok kamu mau tinggal sama mami?"     

"Biar mami enggak sendirian lagi. Bilang aja aku adek mami jika para tetangga tanya. Aku khawatir mami sendiri. Apalagi kita liat bajingan itu waktu mamanya om Bara meninggal. Aku khawatir sama mami. Aku takut dia berbuat jahat sama mami."     

Dian menangis karena terharu. Anak yang ia sia-siakan selama empat belas tahun sangat menyayayanginya. Dian merasa berdosa karena telah berlaku zalim pada Alvin.     

"Mami kok diam? Jangan bilang mami nangis lagi?"     

"Mami banyak dosa sama kamu nak." Dian menangis haru tak peduli jika orang-orang melihatnya disana.     

"Udah lupakan mami. Waktu itu mami terlalu kecil melahirkan aku."     

"Kamu terlalu cepat dewasa. Seharusnya mami yang mengerti kamu bukan sebaliknya."     

"Biarkan aku saja mi. Ini terlalu berat mami enggak bakal kuat," ucap Alvin menggombal seperti Dilan.     

Dian tertawa dibalik tangisannya. Dalam situasi seperti ini Alvin masih bisa menghiburnya. Dian menyesali kenapa mengabaikan malaikat kecilnya sekian lama.     

Seseorang laki-laki yang menguntit Dian sedari tadi ikut menangis melihat air mata wanita itu tumpah. Pria itu penasaran kenapa Dian bisa menangis namun ia enggan bertanya. Jangankan bertanya, menampakkan diri dia tidak mau. Memastikan keadaan Dian baik-baik saja itulah prioritasnya saat ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.