Jodoh Tak Pernah Salah

Part 261 ~ Usaha Untuk Kesembuhan Egi



Part 261 ~ Usaha Untuk Kesembuhan Egi

0Part 261 ~ Usaha Untuk Kesembuhan Egi     

Matahari telah menampakkan cakrawalanya. Malam telah berganti dengan pagi. Gelap telah berganti jadi terang. Egi tidur meringkuk bak seorang bayi dengan air mata yang telah mengering. Kemarin hari terberat dalam hidupnya. Semalam Egi menangis melampiaskan perasaannya. Ia menangis dengan suara pelan agar Clara tak mendengarnya dari kamar sebelah.     

Egi meregangkan tubuh dan mengucek mata. Ketika ia bangkit waktu sudah menunjukkan jam sembilan pagi. Untung saja hari ini weekend jadi ia tidak panik. Jika hari biasanya Egi bangun telat maka dipastikan akan telat ngantor.     

Egi melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Di depan wastafel ia mencuci muka dan menatap dirinya di cermin. Wajahnya penuh luka lebam. Dalam satu hari sudah dua orang menghajarnya. Tubuhnya remuk dan ngilu di beberapa bagian.     

Lo sangat menyedihkan Egi!     

Lo kacau!     

Lo udah mengecewakan tante Ira.     

Egi frustasi, menjambak rambutnya dan menangis tersedu-sedu. Cukup lama Egi berdiam diri dalam kamar mandi. Setelah itu dia memutuskan untuk pergi keluar kamar. Clara sudah bangun dan sedang menata makanan di atas meja. Clara tidak bisa masak namun dengan bantuan youtube dia bisa memasak nasi goreng.     

"Kamu udah bangun?" Sikap Clara bak seorang istri yang memasak untuk suaminya. Clara menata nasi goreng dan coklat panas.     

"Ini aku udah berdiri di depan kamu." Egi menyembunyikan kesedihannya.     

"Duduk Gi!"     

"Kamu bikin apa?"     

"Nasi goreng dan coklat panas," jawab Clara bangga. Ini untuk pertama kalinya ia pergi ke dapur dan memasak.     

Egi memicingkan mata melihat makanan di atas meja. Sulit percaya jika Clara yang membuatnya. Bisa juga nyai badas memasak. Setahu Egi masak air saja Clara hangus.     

"Kamu nggak percaya jika aku yang bikin?" Clara tahu jika Egi tak percaya jika ia yang memasak. Clara kemudian duduk dan makan bersama Egi.     

"Sulit percaya cewek manja kayak lo akhirnya ke dapur juga." Egi mengambil sendok dan mencicipi makanannya.     

Wajah Egi sumringah memakan masakan Clara. Ini sangat enak dan Egi ingin nambah.     

"Sulit dipercaya jika ini buatan kamu." Mata Egi tak berkedip menatap Clara.     

"Enak?" Tanya Clara penasaran.     

"Enak Ra, buktinya aku nambah. Sering-sering aja masak kayak gini Ra, aku suka."     

"Sering-sering?" Clara memicingkan mata memaknai ucapan Egi. "Kalo sering-sering kamu dan aku nikah. Emang mau nikah sama aku?" Clara mencandai Egi sembari tertawa renyah.     

"Aku mau aja, asal si David enggak hajar aku kayak semalam."     

"Egi kalo ngomong tu dipikirin dulu. Untung aku nggak baperan kayak dulu. Kalo bercanda kira-kira dong."     

"Hmhmhm, maaf jika aku salah ngomong." Egi tertunduk lesu setelah menghabiskan makanannya. Entah kenapa ia keberatan jika Clara bertunangan dengan David. Jika Clara bertunangan dengan David siapa yang akan membimbingnya kembali ke kodrat? Egi sadar jika Clara yang selalu berada disampingnya ketika susah dan senang. Egi tak ingin lagi bodoh menyia-nyiakan wanita itu.     

���Gapapa kok. Kamu serius dengan ucapanmu tadi malam?"     

"Ucapan yang mana?"     

"Kamu akan membuktikan jika gay bisa straight. Bukannya itu yang kamu bilang semalam sama David? Cowok yang dipegang omongannya Gi."     

Mata Egi memendar melihat sekelilingnya. Apartemen Clara sangat besar dan mewah. Apartemennya memiliki dinding kaca yang menampakkan pemandangan kota. Satu set sofa mewah berada di tengah ruangan. Disampingnya ada rak kaca berisi botol-botol minuman. Clara mengoleksi botol wine dari seluruh dunia, Lalu ada jam besar klasik yang sangat langka. Di dunia hanya tiga buah dan Clara memilikinya satu.     

"Kenapa kamu melihat sekeliling?"     

"Apartemen ini terlalu besar buat kamu tinggal sendiri."     

Clara tersenyum manis, "Aku jarang kesini Gi. Masih tinggal sama mama dan papa. Apartemen ini hanya untuk investasi saja. Oh ya, apa rencana kamu ke depan?"     

"Tentu akan berubah menjadi laki-laki yang lebih baik seperti keinginan tante." Wajah Egi sendu ketika bercerita.     

"Kenapa wajah kamu sedih gitu?"     

"Entah aku bisa apa tidak." Egi putus asa dan menyerah.     

"Bara saja bisa pasti kamu juga bisa."     

"Bara ada Dila yang membimbingnya Ra. Aku siapa?" Egi sedikit emosional. "Aku tak punya siapa-siapa di dunia ini kecuali tante Ira. Tante akan menerima aku jika aku telah straight dan punya calon istri."     

"Aku," jawab Clara kelepasan.     

"Lalu bagaimana dengan pertunangan kamu dengan David."     

"Aku akan menolak pertunangan itu."     

"Bagaimana dengan papa kamu?"     

"Papa akan menyetujuinya asal aku bahagia."     

Egi bangkit mendekati Clara dan memeluk wanita itu dengan erat. "Makasih Ra."     

"Tidak perlu berterima kasih Egi."     

Egi melepaskan pelukannya dan mencium kening Clara. Wanita itu sangat terharu dengan perubahan sikap Egi. Baru kali ini Egi melakukannya dengan tulus dan penuh kasih sayang.     

Ucapan Dila benar ternyata Egi akan membutuhkannya. Untung saja dia mau bekerja sama sehingga keinginannya bersama Egi dan laki-laki itu normal akan terwujud. Clara ingin berterima kasih pada Dila. Melepaskan demi meraih cinta Egi.     

"Aku tidak tahu mulai dari mana?" Egi membelai pipi Clara.     

"Kita mulai dari awal. Yang penting diri kamu dulu."     

"Maksudnya?" Egi kebingungan.     

"Apa fokus utama kamu saat sekarang?"     

"Aku ingin straight."     

"Apa itu keinginan dari dalam diri kamu?"     

Egi tak menjawab dan masih bimbang. Ia melakukan semata-mata karena permintaan Tante Ira agar ia diberi maaf dan tak dibuang dari keluarga. Egi sangat menyayangi tantenya sehingga apapun permintaan tantenya akan dikabulkannya.     

"Kamu diam berarti kamu tak berniat untuk straight," ucap Clara dengan nada kecewa.     

Clara menjauh dari Egi dan duduk di ruang tengah sembari menonton televisi. Film ini sudah dipersiapkan Clara untuk mempengaruhi psikis Egi. Film yang sedang tayang menceritakan seorang gay terkena HIV. Ketika ia sakit tak ada satupun teman-temannya yang datang melihat, bahkan kekasihnya sendiri meninggalkannya dan tak peduli. Disaat penyakitnya semakin parah hanya keluarga yang peduli padanya.     

Egi ikut menonton bersama Clara, matanya berembun menyaksikan film itu sampai habis. Pada akhirnya tokoh utama mati dalam keadaan yang mengenaskan. Padahal selama hidupnya teman-teman satu komunitas gay saling mendukung dan menguatkan. Namun akhirnya mereka akan sendiri dan hanya keluargalah yang setia mendampingi.     

Clara melirik Egi yang sedang mengelap air mata. Gadis itu mengulas senyum. Andai dari dulu dia kenal dengan Dila mungkin sudah lama Egi sembuh. Pantas saja Bara bisa sembuh dengan cepat. Cara Dila membimbing Bara berbeda dengan yang lainnya. Tanpa penghakiman dan cibiran. Tanpa perlu memaksa untuk sembuh, tapi menggiringnya secara perlahan-lahan seperti yang ia lakukan sekarang.     

Clara teringat kata-kata Dila, "Gay seperti Egi tak punya keinginan untuk sembuh. Dia bisa kita sembuhkan tapi tak bisa terang-terangan. Harus ada faktor pemicunya dia ingin sembuh. Jika dugaan kita tidak salah maka tante Ira bisa menjadi pencetus Egi untuk kembali straight. Bara sembuh karena ada keinginan dari dalam hatinya dan aku tinggal memberi dukungan dan bimbingan. Jika Egi gay karena trauma masa kecil kita bisa bawa dia hipnoterapi menghilangkan memori peristiwa itu dan memberikan sugesti jika gay itu salah dan menyimpang hingga dia punya keinginan kuat untuk sembuh."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.