Jodoh Tak Pernah Salah

Part 67 ~ Jangan Mengajariku



Part 67 ~ Jangan Mengajariku

0"Berhenti!" Bara melarang Dian pergi.     

Dian tersenyum licik, sepertinya usaha menggertak Bara berh Dian bersorak dalam hati karena usahanya berhasil.     

"Siapa yang menyuruh kamu pergi?"     

"Aku yang memutuskan pergi bos," balas Dian berbalik menatap Bara. Ia memasang senyum manis seolah tak terjadi apa-apa.     

"Sebelum aku memerintahkan pergi kamu tidak boleh pergi."     

"Baiklah bos. Aku tidak akan pergi,", kata Dian berbalik dan duduk di depan Bara.     

Mereka bertatapan dalam hening. Tak ada yang saling bicara. Cukup lama Bara dan Dian saling diam.     

"Jangan pernah berpikir jika aku tidak ingin balas dendam pada bajingan itu. Aku begini karena perbuatan dia," ujar Bara buka suara.     

"Bagaimana aku tidak berpikir ke arah sana bos. Bos menikmati orientasi bos dan memiliki kekasih pria, sementara aku malah trauma dengan masa lalu dan tidak bisa menjalin hubungan dengan laki-laki lain."     

"Dian kamu bukan tidak bisa menjalin hubungan dengan laki-laki lain, tapi kamu yang tidak buka hati karena kamu mencintaiku," balas Bara dingin dan menakutkan.     

Dian melongo dan tak bisa berkata-kata. Tenggorokannya kering dan tiba-tiba ia tak bisa bicara. Kenapa dalam situasi seperti ini Bara malah mengungkap perasaannya.     

"Kamu tahu jika cintamu tak akan terbalas karena aku seorang gay. Dekat denganku adalah caramu mencintaiku. Aku tahu kamu sangat membenci Egi, tapi Egi sumber kebahagiaanku. Aku bahagia bersamanya dan tak pernah aku rasakan selama ini. Sejak peristiwa pahit itu terjadi aku bisa tertawa dan bahagia setelah bertemu dengan Egi."     

Dian mengepalkan tangan karena geram, tak suka mendengar kata-kata Bara.     

'Egi sumber kebahagiaanku'.     

"Bos jika disuruh memilih. Bos memilih Ibu Ranti atau Egi?" Tanya Dian. Ia hanya mengetes Bara. Apakah mamanya lebih berharga daripada Egi.     

"Jangan pernah memintaku memilih antara mama dan Egi. Aku tidak bisa memilih. Mereka berdua sangat berarti untukku."     

"Andai Ibu Ranti tahu bos seorang gay..Apa yang akan terjadi dengan beliau?" cecar Dian tak mau kalah.     

Bara geram dengan satu sentakan kuat, ia mencekik Dian dan menyandarkannya ke dinding.     

"Jangan pernah mengancamku Dian," ucap Bara geram.     

Dian mencoba melepaskan diri dari cengkraman Bara. Cekikan Bara membuat ia sudah bernapas. Tenaga Bara sangat kuat hingga membuatnya lemas.     

Bara melepaskan Dian setelah membuat Dian lemas kehabisan napas. Dian segera mengambil napas dengan rakus menetralkan paru-paru. Memang susah berurusan dengan pria gay bucin. Nafsu mengalahkan akal.     

"Kenapa tidak segera membunuhku bos?" Sindir Dian menatap Bara tajam. Matanya memerah menahan emosi.     

Emosi tertahan membuatnya menangis dan mata memerah. Lagi....lagi Egi menang di atas segalanya. Pria kemayu bak cowok Korea itu telah meracuni otak Bara sehingga tidak bisa berpikir rasional.     

"Kau yakin inginku bunuh?" celetuk Bara mencibir."Kau tidak sayang dengan keluargamu?"     

"Aku yakin," jawab Dian mantap. "Aku bahkan sudah mati sejak lima belas tahun yang lalu. Kamu yang menghalangiku bunuh diri. Mungkin jika kamu tidak mencegahku waktu itu, aku sudah tenang di sisi Tuhan dan tak perlu hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Sungguh nasibku malang," ucap Dian meratapi nasib.     

"Kau lebih beruntung dari korban pemerkosaan lainnya. Kamu bisa survive dan menjadi sosok yang baru. Kamu jangan meratapi nasib seolah-olah hanya kamu yang jadi korban pemerkosaan."     

Dian melambaikan tangan ke udara,"Berhenti bicara pemerkosaan itu. Aku tidak mau mendengarnya. Aku benci kamu, bos. Disini aku berusaha untuk mengembalikan kamu ke jalan yang benar. Aku hanya ingin kamu straight. Menjadi pria lurus yang mencintai wanita. Aku tak peduli kamu sembuh berkat Dila atau aku, yang penting kamu bisa hidup normal," balas Dian emosi.     

"Kamu tidak perlu berusaha keras mengembalikan aku ke kodrat. Ini hidupku bukan hidupmu!"     

"Setidaknya kamu juga bisa survive seperti aku," teriak Dian lantang. "Kamu menyembuhkan aku, tapi kamu sendiri masih sakit. Kamu abnormal, kamu gay. LGBT perbuatan tercela yang dilaknat oleh semua agama. Tak ada tempat untuk LGBT seperti kalian. Kalian hanya sampah masyarakat dan tak ada tempat untuk LGBT seperti kalian. Tak ada kisah LGBT berakhir manis, semua berakhir buruk."     

Bara tak berkutik, ia terduduk mendengar ucapan Dian yang emosional. Selama lima belas tahun bersama, baru kali ini Dian bicara sangat kerasl dan berani mengutarakan isi hatinya.     

"Apa kamu ingin berakhir di rumah sakit dengan mengidap penyakit kelamin. Ingat kedua orang tuamu. Bagaimana hancurnya hati mereka ketika mengetahui anak laki-laki mereka satu-satunya dan pewaris tunggal seorang gay. Orang tua mana pun tak ingin memiliki anak yang menyimpang. Pasti mereka mengira telah mendapatkan karma atas perbuatan mereka di masa lalu. Sementara kedua orang tua kamu orang baik Bara. Mereka tak pantas menerima semua ini. Aku berusaha keras seperti ini hanya ingin balas budi karena kamu telah berusaha menyembuhkan aku dari penyakit mental lima belas tahun lalu. Jika aku survive kamu juga bisa. Kenapa kita tidak sama-sama bangkit. Songsong masa depan dan hidup normal. Aku berjanji akan pergi dari sisi kami jika kamu telah kembali ke kodrat."     

Bara menangis, selama ini ia berusaha tegar dan tampak bak singa. Hatinya gerimis mengingat kedua orang tuanya. Apa yang terjadi dengan Herman dan Ranti jika akhirnya tahu bahwa ia seorang gay. Tak hanya dikucilkan keluarga, tapi ia akan kehilangan segalanya. Tak mudah bagi Bara, disisi lain ia bahagia dengan Egi dan menikmati hidupnya.     

"Tanyakan hatimu bos. Kamu dulunya pria normal. Teori yang mengatakan LGBT itu bawaan genetik tidak benar. Jangan percaya teori orang Barat. Mereka tak memiliki agama. Kehidupan mereka terlalu bebas. Sebagai seorang muslim kita berpegangan pada Alquran dan hadits. Allah melaknat LGBT dan memberikan hukuman yang berat untuk pelakunya."     

"Jangan menceramahiku, jika kamu mau ingin memberi pengajian silakan pergi di masjid," balas Bara murka. Telinganya panas mendengar ocehan Dian.     

"Ternyata hidayah itu datang pada orang-orang terpilih," balas Dian bangkit dari tempat duduknya.     

"Percuma aku bicara panjang lebar, tapi bos tidak peduli. Sungguh malang nasib Pak Herman dan Bu Ranti. Keturunan mereka akan berhenti pada bos."     

"Aku akan memberikan mereka cucu."     

Dian tergelak tawa mencemooh,"Mimpi kali bos bisa punya anak. Anak sama siapa? Bersama Dila? Yakin bisa punya anak dengan Dila kalo kalian tidak pernah bercinta? Atau punya anak dengan Egi? Yakin pisang sama pisang bisa punya anak?"     

"Teknologi sudah canggih. Kami bisa memiliki anak dari program bayi tabung."     

"Oh ya? Sperma bos, lalu sel telur siapa yang akan dibuahi? Apa Egi sudah punya sel telur? Apakah dia punya?" Sarkas Dian. Mulut Dian benar-benar pedas kali ini.     

"Sel telur istriku."     

"Bos jika anda dan Egi bisa punya anak tanpa bantuan medis dan punya anak secara alami baru akan mengakui LGBT itu tidak menyimpang. Apa bos bisa membuktikannya padaku? Punya bayi dengan Egi dengan proses alamiah."     

"Omong kosong macam ini Dian. Kau sedang berusaha mengolok-olok aku?"     

"Aku tidak mengolok bos. Jika LGBT lazim coba buktikan jika LGBT bisa punya anak secara alami."     

Bara tertegun dan tak bisa menerima tantangan Dian. Bara merasakan kepalanya mau pecah. Kebenaran dari Dian tak bisa diterima oleh akal sehatnya. Nafsu telah mengendalikan akalnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.