Jodoh Tak Pernah Salah

BaraDila 3



BaraDila 3

0Pagi ini semua bersuka cita menyambut kedatangan Dila dan anak-anak. Ainil sudah mempersiapkan sarapan spesial menyambut menantu dan para cucunya. Dila terharu mendapati sikap Ainil yang begitu manis.     

"Bunda jangan repot-repot." Dila menyentuh tangan Ainil.     

"Tidak ada yang repot disini Dil. Kami bahagia dengan kedatangan kamu. Bara akan waras jika kamu ada di sisinya." Ainil malah meledek anak tirinya.     

"Jadi selama ini Bara tidak waras bunda?" Dila terkekeh ikut meledek sang suami.     

"Hmmmm." Tegur Bara pada keduanya, tapi tetap saja ibu dan istrinya semakin senang meledeknya.     

"Suami mana yang tidak gila ditinggalkan istri secantik dan semanis ini." Bara menggenggam tangan Dila.     

"Gombalnya mulai." Rere ikut menggoda Bara meski ia sedang menyuapi Leon makan. Rere ikut bahagia melihat kakak tirinya berkumpul dengan istri dan ketiga anaknya.     

"Jangan iri ya istri KW." Bara balik meledek Rere.     

"Kenapa kok istri KW?" Herman menatap Bara dan Rere bergantian.     

"Gini lo pa." Rere tersenyum menatap pasangan bucin di depannya. "Ada orang yang ngaku aku istrinya dia selama di KL. Trus ada orang yang pura-pura hilang ingatan di depan istri. Mau bikin cemburu. Nah gayung pun bersambut. Istri beneran jadi cemburu. Malah iseng goda istri benaran buat poligami."     

Bara mencebik. Menundukkan kepala karena tak sanggup melawan Rere. Herman dan Ainil pun terkekeh melihat interaksi mereka.     

"Apa mau susu," pinta Shaka pada Bara. Segera Bara memberikan susu untuk sang anak.     

"Shaka sudah baikan dengan Apa? Bukannya berantem." Rere tak henti-hentinya menggoda Bara.     

"Kata Ama enggak boleh melawan orang besar. Berdosa."     

"Kalo lawan orang kecil boleh."     

"Ya boleh. Shaka lawan Shakel boleh," ucap Shaka polos. Bara gemas sendiri melihat anaknya. Ia elus kepala keduanya dan mendaratkan ciumannya.     

"Sudah…sudah… Sarapan itu ga boleh ribut." Ainil menengahi mereka.     

"Hai bos, hai Dila," sapa Dian bersama Alana dan Zico. Mereka baru kembali dari Bandung mengunjungi orang tua Dian.     

"Lagi hamil Dian?" Sapa Dila menatap perut buncit Dian.     

Rere dan Bara buang muka melihat kedatangan Dian. Mereka kecewa dan marah karena telah dibohongi.     

"Om Bara Bere ini siapa?" Tanya Alana menatap triplets bergantian.     

"Alana berapa kali papi bilang? Jangan panggil om Bara Bere. Panggil om Bara aja." Zico menegur putrinya.     

"Maaf om." Alana tertunduk lesu.     

"Salim sama semuanya." Titah Zico pada Alana. Gadis kecil itu menyalami orang di rumah satu persatu.     

"Shaka."     

"Shakel."     

"Salsa."     

Triplets malah memperkenalkan diri pada Alana. Gadis kecil itu kebingungan. Ia melirik Zico dan Dian. "Mereka siapa?"     

"Itu anaknya om Bara." Dian menjelaskan seraya mengelus kepala sang anak.     

"Yuk Dian, Zico, Alana yuk sarapan," ajak Ainil ramah. Wanita paruh baya itu mempersilakan ketiganya duduk. Tak lupa memberikan piring. Ainil memasak lontong Surabaya.     

Hanya ada keheningan di meja makan. Tak ada perbincangan. Bara dan Rere memalingkan wajah ketika Dian menatap mereka.     

"Bara, Rere. Kita harus bicara." Cegah Dian pada keduanya ketika beranjak menuju lantai dua.     

"Kayaknya enggak ada yang perlu dibicarakan deh Teh," ketus Rere memandang Dian tak suka.     

"Ada." Desak Dian mendekati keduanya. Dian sudah sulit berjalan karena perutnya semakin membuncit. Kandungannya sudah sembilan bulan. Hanya menunggu waktu kelahiran sang jabang bayi.     

Bara, Rere dan Dian bicara di ruang kerja Bara. Hanya ada mereka bertiga. Hanya ada keheningan dan kesinisan kakak beradik. Mereka kecewa dengan Dian. Wanita itu sudah mengetahui keberadaan Dila selama ini tapi malah bungkam. Terang-terangan mengaku masih menyayangi Bara.     

"Apa yang mau teteh bicarakan? Rasanya tidak ada yang harus kita bahas." Rere buka suara. Benar-benar muak dan eneg dengan sikap wanita itu. "Teteh terlalu ikut campur dalam kehidupan pribadi kami."     

"Dengarkan aku dulu Re. Semua tak seperti dugaan kamu."     

"Lalu apa maksud kamu dengan menyembunyikan keberadaan Dila dan anak-anak? Jawab aku!" Bara menatap tajam pada Dian. Jika saja tak ingat peran Dian dalam hidupmu mungkin Bara sudah lepas kontrol.     

"Bos. Dengarkan aku dulu. Bos belum begitu pulih. Jika aku membuka rahasia ini di waktu yang tidak tepat bisa jadi akan terjadi peradangan yang akan membahayakan bos. Dokter Demir bilang tidak boleh membebani dan membuat bos stress. Apa bos tidak akan stress jika tahu masa lalu buruk seperti mantan gay?" Dian bicara dengan napas tersengal-sengal. Efek hamil membuatnya cepat letih dan baperan.     

Bara diam, tak memberikan tanggapan. Meski pun tindakan Dian demi kebaikannya namun dimatanya tetap salah. Tak seharusnya kaki tangannya itu menyembunyikan fakta besar tentang kehidupannya.     

"Masalah kamu Re. Jika aku buka mulut dari dulu bisa jadi Dino sudah tahu keberadaan Leon. Teteh hargai keputusan kami tidak memberi tahu tentang Leon pada Dino. Jika aku lakukan dari dulu mungkin kamu sudah ketar-ketir Leon diambil Dino. Apa yang aku ucapkan kemarin hanya sekedar ucapan. Aku tak berniat mengungkapkannya. Aku tahu kamu sakit dengan semua ini. Kamu ingin menolong dia, tapi kamu malah terjebak dan melahirkan anak Dino. Aku pernah berada di posisi kamu. Aku tahu apa yang kamu rasakan."     

"Posisi kita berbeda teteh. Setidaknya aku menjadi ibu yang baik untuk anakku bukan ibu yang buruk seperti teteh. Membenci anak sendiri. Melampiaskan kebencian pada anak yang tidak berdosa." Rere memborbardir Dian. Uneg-uneg di dalam hati ia ungkapkan begitu saja.     

Dian menangis mendengar ucapan Rere. Menyadari kesalahannya di masa lalu. Tidak mengakui siapa Alvin dan melampiaskan kemarahan dan kebencian pada anak itu.     

"Untuk ke depannya jangan memperlihatkan wajah kamu di depan aku lagi. Aku kecewa padamu. Orang yang kuanggap adik dan aku lindungi ternyata menggunting di dalam lipatan."     

Menggunting dalam lipatan adalah peribahasa orang Minang yang artinya orang dekat yang kita percaya ternyata berkhianat.     

Lagi…Dian terhenyak. Air matanya menetes tanpa ia sadari. Tubuhnya merosot di lantai.     

"Begitu benci kalian padaku? Aku melakukannya demi kalian. Jika aku tidak peduli mana mungkin aku kirim Jimmy dan tim untuk melindungi kalian dari serangan pembunuh Ananya. Jika aku tidak melindungi Rere sedari dulu mungkin dia sudah mati dibunuh orang-orang pangeran Ahmed. Mungkin aku harus mengatakan kejujuran pada kalian. Aku melindungi Rere karena bos sangat menyayanginya. Bukan uncle Mutu yang membantu kamu ketika kabur dari KL, tapi orang-orangku. Jika hanya mengandalkan uncle Mutu sudah dari dulu kalian mati. Kamu, Tia dan uncle Mutu."     

"Jangan berbohong teteh." Rere tersedak mendengar penjelasan Dian.     

"Aku tidak akan berani berbohong demi bayi dalam kandunganku."     

"Jangan bawa bayi dalam kandungan kamu Dian. Anak itu tidak tahu apa-apa." Bara meradang. Matanya membuat ketika melihat darah membasahi lantai. Bara kaget lalu mendekat, merangkul tubuh Dian.     

"Dian kamu tidak apa-apa?" Mata keduanya membulat. Rere berlari memanggil Zico. Pria itu kaget melihat istrinya pecah ketuban. Zico menggendong Dian dan membawa istrinya ke runah sakit.     

"Bang, teteh Dian pecah ketuban bukan karena kita bukan?" Rere merasa bersalah.     

"Tidak." Bara menggeleng.     

*****     

Kisah Rere dan ayah kandung Leon aku up di cerita baru. Bara dan Dila tetap tampil menjadi pasangan bucin di kisah Rere. Mau tahu up di aplikasi mana? Silakan japri aku di IG @vivibarbara1708 dan WA 081368349768     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.