cinta dalam jas putih

Eccedentesiast



Eccedentesiast

0"Fa, dimana Erin? " Karin terlihat begitu gusar ketika tidak mendapati sahabatnya itu dalam jangkauan pandangannya.     

"Tadi aku lihat ke arah sini " Rafa pun ikut merasakan hal yang sama, dia menjadi lebih panik karena tidak ingin jika sahabatnya itu menjadi sakit hati melihat pemandangan yang indah ini.     

"Apa Dion dan filla masih disini? " Tanya karin, kedua matanya pun masih terus memperhatikan ke arah dua sejoli itu.     

"Memangnya ada kak Dion disini? "     

Tiba-tiba suara Erin muncul dari belakang mereka.     

Karin dan Rafa seketika berbalik, dan mendapati sosok Erin yang berdiri dihadapan mereka.     

"Kamu dari mana? " Pertanyaan Karin pada Erin dengan nada geram, dia menarik tubuh Rafa agar merapat padanya untuk menghalangi dion dan filla yang berada di belakangnya.     

Dahi Erin berkerut, "aku dari tadi disini! "     

"Disini.. " suara Karin memelan, dia saling bertatapan dengan Rafa. Karena kepanikan membuat mereka tidak dapat melihat Erin yang memiliki tubuh ekstra berada tidak jauh dari tubuh mereka.     

"Katanya ada kak Dion! " Erin mencoba memisahkan tubuh Karin dan Rafa yang berdekatan, dengan cepat kedua matanya menangkap kedua sosok yang dibicarakan oleh sahabatnya Karin dan Rafa.     

Senyuman lebar terlihat di wajah Erin dan lalu dia berjalan ke arah filla dan Dion yang sedang memilih parfum.     

"Kak, Erin mau ngapain? " Rafa bertanya dengan wajah ketakutannya.     

Karin menarik nafasnya dalam-dalam, dia sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan ketika Erin dengan sengaja menghampiri filla dan Dion.     

"Ketahuan jalan berdua ya..! " Suara Erin mengejutkan filla dan Dion.     

Filla membalas dengan senyuman malu dan wajahnya yang memerah, sedang Dion begitu memperlihatkan wajah panik yang memucat melihat Erin dengan senyumannya menghampiri mereka.     

Dion malu karena kebohongannya kali ini terbongkar dengan cepat oleh Erin.     

"Kamu ada acara dengan siapa, Rin? " Tanya filla dengan suara lembutnya.     

"Ibu kanita " jawabnya, "dia sedang menunggu di restoran di lantai satu bersama Axel dan kak Aline, kamu mau ikut bergabung? "     

Filla tersenyum kecil, "lain kali saja, aku sudah kelelahan sudah ditemani kak Dion berkeliling dan membeli beberapa barang "     

"Wah, sayang sekali " Erin mengerucutkan bibirnya, matanya kali ini menoleh ke arah Dion yang sedari tadi hanya terdiam.     

"Kak, Dion kenapa diam saja? Lagi sariawan yah? " Erin bertanya pada Dion dengan wajahnya yang masih sama, penuh dengan keceriaan dan penuh rasa percaya diri.     

Senyum di wajah Dion terlihat begitu dipaksakan, "tidak, hanya terkejut saja bertemu denganmu disini! "     

Erin tersenyum, "sayang sekali kamu tidak bisa ikut, fil. Sepertinya aku harus segera ke lantai satu, ibu kanita pasti sudah menunggu. "     

Lalu Erin menoleh ke arah filla, "kita jalan sama-sama nanti ya, fil. Saya harus pamit dulu sekarang! " Dibalik semua kata-katanya yang penuh ketegaran itu menyimpan sesuatu hal yang menyesakkan, sehingga Erin begitu ingin cepat-cepat pergi dari hadapan mereka.     

"Ya " jawab filla pendek dan tanpa ekspresi apapun, terlebih ketika Erin melewatinya dengan cepat setelah berpamitan.     

Karin dan Rafa yang berjalan di belakang erin memandangi Rafa dan Dion yang masih berdiri ditempat awalnya. Lirikan sinis rafa begitu terlihat jelas ke arah filla dan sepertinya filla pun menyadarinya, dia tahu rafa tidak menyukai tindakannya kali ini.     

Dan ajaib, tiba-tiba kedua pupil mata filla memutar menanggapi lirikan sinis dari rafa dan senyuman miringnya pun muncul.      

Dia dengan cepat menyembunyikan senyumannya itu ketika Dion menoleh ke arahnya, wajah cantik dan anggun dia perlihatkan Pada Dion.     

"Mari kita makan.. " Erin segera duduk di kursinya menghadapi makanan yang telah tersedia di atas meja.     

Dia melahap makanan miliknya dengan begitu cepat, dalam waktu sekejap makanannya telah habis. Setelah beberapa menit dalam lamunannya dia tersadar.     

"Aku ke toilet sebentar " lalu dia beranjak dari duduknya dan segera melangkahkan kakinya menjauhi rekan-rekannya.     

Nita telah menarik kesimpulan bahwa ada yang lain dari sikap Erin saat ini, dibalik senyuman yang diperlihatkan itu seperti dibuat-buat untuk menutupi sesuatu.     

"Ada apa? " Nita lalu memutuskan untuk bertanya pada karin.     

Karin lebih mendekat, "tadi kami bertemu dengan Dion, kalian tahu dengan siapa dia kesini? "     

Ucapannya pelan yang hanya bisa didengarkan oleh rekan-rekannya, "dia bersama filla! "     

Aline memelototkan kedua matanya, "kurang asem ya itu laki-laki! "     

Nita yang telah mengetahuinya sedari tadi hanya terdiam, dia tidak dapat berbuat apapun karena menurutnya Dion berhak pergi kemanapun dengan siapapun. Karena saat ini hubungannya dengan Erin hanya sebatas pertemanan saja.     

"Aku terus terang saja tidak suka sama filla! " Cetus Aline, "aku merasa senyum dan sikap lemah lembutnya itu palsu! "     

"Aline, tidak boleh seperti itu! " Nita menyela ucapan aline yang seolah-olah menuduh filla tanpa tahu kebenarannya terlebih dulu.     

"Mungkin mereka hanya kebetulan saja bertemu disini " dia mencoba memberikan asumsi positif tentang staf barunya itu.     

"Tapi Erin sepertinya baik-baik saja tadi ketika menegur kak Dion dan filla " Rafa ikut menanggapi.     

"Justru tadi itu Erin ajak filla untuk makan bersama disini, tapi filla menolaknya " dia kembali melanjutkan ucapannya.     

Nita tersenyum lega bukan karena menertawakan keadaan Erin, melainkan jiwa besarnya yang menerima apa yang sudah Dion dan filla lakukan padanya.      

Erin, satu rekan kerjanya yang memiliki sifat periang itu harus menyembunyikan rasa sedih dihadapan semua teman-temannya dengan senyumannya.     

"Ibu " panggil Erin ketika dia telah selesai dari toilet.     

"Ada apa? " Suara Nita yang lembut dan penuh kesabaran itu bertanya pada Erin, kedua matanya tidak pernah lepas dari sosok Erin.     

"Apa aku boleh memesan makanan dan minuman lagi? "     

"Erin! " Semua teman-temannya begitu serempak memanggil namanya. Disaat seperti ini dia hanya memikirkan makanan saja.     

Nita memberikan isyarat kepada semua dengan gelengan dan kedipan matanya agar membiarkan Erin meluapkan kekesalannya itu.     

"Kamu pesan saja "      

Tangan Nita mengusap lembut pundak Erin dengan lembut.     

Erin tersenyum lebar, dengan segera satu tangannya dia lambaikan ke arah pekerja restoran.     

"Aku pesan ini dengan level paling pedas, minuman yang ini satu, lalu yang ini satu, dan aku mau cemilan ini dua.. "      

Jari-jarinya dengan cekatan menunjuk makanan yang paling menggiurkan di matanya.     

"Eh, bu! " Cetus aline pada Erin yang telah selesai memesan makanan, "lapar banget apa kesurupan hantu kera sakti yang di kurung di gua ratusan tahun? "     

"Iya, rin " Karin ikut menanggapi, "nyebut, rin. Nyebut... "     

"Jangan bergaduh deh, ibu saja yang mau bayarin aku tidak banyak komentar. Jangan suka jadi teman yang panjulita! Pandangannya julid sealam semesta "     

Perkataan erin itu membuat semua rekan-rekannya tertegun tidak dapat berkata apapun lagi, dia telah memperlihatkan bahwa saat ini hanya makanan saja yang dapat mengerti dirinya yang lain end.     

Lagi-lagi Nita hanya tersenyum dalam gelengan kepalanya, dia sudah seperti menjadi wanita yang paling tertua di perkumpulan ini yang memiliki banyak anak dengan karakter berbeda dan unik.     

"Sepertinya aku punya waktu satu jam lagi " Nita berucap seraya melihat ke arah jarum jam ditangannya.     

"Kita kan belum keliling mall bu.. " Karin merengek.     

"Iya " Aline mendukung perkataan Karin.     

"Iya, bu " Rafa pun menjadi peserta terakhir yang menyuarakan dukungannya.     

Nita tersenyum, "mungkin lain waktu kita agendakan acara jalan-jalan, satu jam lagi dokter yoga selesai praktek jadi sebelum dia pulang kerumah aku harus sudah berada di rumah.. "     

"Nah, kak Aline harus mencontoh itu dari ibu kalau nanti sudah menikah dengan pak aditya! " Celetukan Erin itu membuat wajah Aline seketika memerah, semua orang yang mendengarnya bengong dan lupa untuk menutup mulut mereka.     

"Ibu itu wanita sukses, dia bisa mengelola karirnya dan kehidupan rumah tangganya. Dia pandai memposisikan dirinya sebagai istri yang baik, walaupun berkumpul seperti ini menyenangkan dia tetap mengingatkan dirinya untuk berada di rumah ketika dokter yoga selesai bekerja! " Pembicaraan Erin mulai tidak terarah dia berkata kemanapun dia mau. Itu semakin memperlihatkan kegalauan yang tengah di alaminya, dia tidak dapat menangis di hadapan semua orang jadi dia hanya bisa meluapkannya dengan kata-katanya.     

Walaupun setiap perkataannya meluap-luap dia selalu mengakhirinya dengan suapan makanan yang dipesannya tadi ke dalam mulutnya. Itu membuat rekan-rekannya tidak berfokus pada sakit hati yang dialaminya tapi lebih pada setiap suapan makanan yang masuk kedalam mulutnya.     

"Pelan-pelan nanti kamu tersedak " ucap nita memperingati Erin yang melahap makanannya dengan begitu cepat.     

"Kalau sedang makan tidak boleh sambil bicara, anak kecil saja tahu masa kak Erin tidak tahu! " Axel ikut mengomentari tingkah erin.     

Semua teman-temannya terlihat menahan tawanya mendengar ucapan Axel yang membuat Erin berhenti mengunyah.     

Erin memperlihatkan wajah sedihnya, "kamu belum seusia kakak sih, kalau nanti Axel sudah merasakan jatuh cinta pasti akan tahu perasaan yang kak Erin alami sekarang ini! "     

Axel tidak menggubris karena dia tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Erin, dia hanya masih fokus pada ponselnya.     

"Yah,, aku malah dicuekin! " Cetus Erin pelan, dia sedih setelah Axel mengomentari sikap kekanak-kanakannya dia malah tidak bergeming mendengarkan alasan erin.     

"Jangan sampai perutmu sakit karena harus memaksakan diri mengikuti perasaanmu yang sedang emosi " Nita kembali mengingatkan Erin.     

"Memangnya siapa dion sampai membuat kamu menyakiti diri sendiri? " Dia melanjutkan ucapannya dengan memberikan Erin pertanyaan, "seharusnya kamu meyakinkan diri kamu sendiri kalau disini yang harus menyesal adalah Dion, bukan kamu. Sayang sekali jika kehidupanmu harus didampingi oleh seseorang yang sudah jelas terlihat tidak jujur, kamu seharusnya bersyukur Tuhan sudah memperlihatkannya sekarang ini sebelum hubungan kalian lebih jauh lagi.. "     

"Kamu punya aku yang akan mendukungmu jika kamu tidak memilih Dion " Aline memegang tangan Erin.     

"Aku juga " dan kali ini rafa yang memegangi tangannya, diikuti oleh karin.     

"Kejujuran terkadang menyakitkan, tetapi lebih baik daripada hidup kita palsu! " Karin memberikan semangat pada sahabat paling imut.     

"Kamu pasti dapat yang lebih dari dion, kamu itu cantik dan imut! " Aline memberikan pujiannya pada Erin.     

Erin memajukan bibirnya, "pasti mau bilang kalau cantik dan imutnya dilihat dari sedotan di atas menara Eiffel! "     

Perkataan erin itu sontak saja membuat semua teman-temannya tertawa, dia tidak akan pernah merasakan sakit hati jika memiliki sahabat yang begitu mengerti dirinya seperti sekarang ini. Dan mereka pun tidak pernah membicarakan kejelekan orang lain ketika berkumpul seperti ini, membuat Erin merasa berada di dalam kumpulan orang-orang paling baik.     

"Aku memang marah karena kak Dion berbohong, padahal aku sama sekali tidak mempermasalahkan jika dia akan pergi dengan filla " ucapnya sambil tersenyum, "dia berhak berjalan dengan siapapun karena disini hanya aku saja yang menyukainya, karena aku tidak mau hubungan aku dan filla nanti jelek. Kita rekan kerja satu ruangan, jadi lebih baik aku memilih sahabat saja.. "     

"Kamu hebat sekali.. " puji Karin.     

Ketiga sahabatnya itu memeluknya bersamaan.     

"Selain tubuhmu yang lebar, hatimu juga sangat lebar! Luas dan pemaaf, aku bangga punya sahabat sepertimu! " Ucap aline.     

"Kak Aline niat gak sih memuji aku? " Erin mencucutkan bibirnya, "suka bawa-bawa body Erin yang memukau semua mata orang-orang memandang! "     

Meskipun begitu mereka tetap tertawa, menertawakan kesedihan yang tidak berhasil hinggap di hati Erin hanya karena seorang laki-laki.     

"Semoga kompaknya kita selalu terjaga, nanti kita ajak sasya, tina dan lula juga " ucap Nita, dia lagi-lagi melihat ke arah jam di tangannya yang menunjukan pukul setengah lima sore.     

"Seperti aku harus pamit duluan, setelah membayar makanannya aku harus cepat-cepat pulang.. "     

"Aku bantu bawakan buku yang Axel beli! " Erin segera beranjak dan kedua tangannya begitu kuat membawa sepuluh buku yang Axel beli tadi.     

"Terima kasih " nita tersenyum lebar ke arah erin yang mau membantunya membawakan buku Axel.     

"Terima kasih ibu, karena tadi makanku banyak sekali apa boleh aku menggantinya setelah gajian nanti? "     

Nita tertawa kecil, "tidak apa-apa, lain waktu ajak juga filla dan yang lainnya. Kita berkumpul di satu tempat supaya kita tetap kompak "     

"Siap, bu " Erin tersenyum lebar, "terima kasih juga nasehatnya.. "     

Nita tersenyum, "kamu sudah hebat tanpa aku berikan nasehat pun, cintai dirimu sendiri sebelum kamu memutuskan untuk membagi cintamu dengan orang lain.. "     

"Sepertinya aku harus berhenti mengejar sesuatu yang sudah mengecewakanku, akan lebih baik seperti ini saja. Kami kan hanya sahabat! "     

Senyuman nita muncul ketika satu tangannya memberikan usapan di pundak Erin, dia mencoba mentransferkan energi semangat pada rekannya itu. Memastikan padanya bahwa dunia belum berakhir jika dia harus mendapatkan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Erin harus menganggap ini sabgai sebuah perjuangan yang ketika mati satu pasti tumbuh seribu.     

"Ibu dijemput dokter yoga? " Tanya Erin ketika mereka sampai di area parkir.     

"Sama pak itor, tapi tadi karena pak itor menolak untuk ikut makan siang jadi aku minta dijemput jam setengah lima disini! Kasihan kalau harus menunggu lama "     

Nita memutarkan pandangannya ke seluruh area parkir, dengan barisan mobil-mobil yang begitu banyak.     

Dia teraneh melihat mobil milik yoga yang dia sangat ingat menghampirinya yang tengah berdiri bersama Axel dan Erin.     

"Kan aku bilang juga apa " bisik Erin, "pasti dijemput dokter yoga, ibu kan bikin kangen semua orang! "     

Nita tertawa kecil mendengar ucapan Erin, dia terkejut melihat sosok yoga yang keluar dari mobil. Disambut oleh pelukan putra kecilnya.     

"Sudah selesai kumpul-kumpulnya? " Tanya yoga pada Erin.     

"Sudah dokter " jawab Erin malu, "maaf dokter kami culik ibu kepala tadi, karena cuma ibu yang bisa mengerti dan memberikan nasehat baik untuk masalah kami.. "     

Yoga tertawa kecil mendengar perkataan erin tentang Nita, "iya memang sifat bawaan itu tidak pernah bisa dihilangkan.. "     

Bola matanya melirik ke arah Nita yang berdiri disampingnya tersenyum tipis dalam gelengan kepalanya.     

"Aku simpan buku Axel dimana,bu? "      

Lalu kedua mata yoga beralih ke arah tumpukan buku yang Erin bawa.     

"Buku Axel semua? " Tanyanya pada Nita.     

Nita menganggukan kepalanya seraya tersenyum sebagai jawabannya.     

Yoga mengambil alih buku-buku yang dipegang oleh Erin, dan menyimpannya di kursi belakang dimana Axel telah terduduk.     

"Ya ampun gula murni banget sih dokter yoga! " Cetus Erin ketika melihat yoga yang membukakan pintu mobil untuk istrinya itu, dia yang melihat tindakan pimpinannya pada istrinya itu merasakan tindakan manis seorang laki-laki.     

"Axel membeli banyak buku sebanyak itu? " Yoga ingin memastikan bahwa buku itu milik Axel.     

"Iya " jawab Nita, lalu satu tangannya memegangi tangan yoga. "Maaf ya, kalau sudah berkumpul aku selalu lupa waktu. Jadi harus jemput kita disini.. "     

Yoga tertawa kecil, "aku yang terlalu cepat pulang, karena memang sengaja ingin menjemput kalian. Praktek pun tidak konsentrasi karena terus saja memikirkan axel yang pasti akan selalu menyusahkanmu dan buktinya dia membeli buku sebanyak ini! "     

Nita tertawa kecil, "kalau mau bilang ingat aku juga tidak apa-apa! "     

Wajah yoga seketika memerah mendengar ucapan Nita, tawanya kemudian muncul. Dia memang sedari tadi memikirkan axel yang pasti akan membuat gerak Nita terbatas ketika berkumpul bersama teman-temannya. Tapi hal yang lebih besar adalah ketakutannya ketika wanita disampingnya itu pergi tanpa dia dapat mengawasinya, walaupun keputusan Nita membawa Axel adalah untuk menghindari prasangka buruk darinya.      

Karena dia telah cukup memiliki trauma dengan membiarkan istrinya tidak pergi bersamanya, dia hanya ingin satu kali saja kehilangan wanita yang dicintainya...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.